| 282 Views
Kurikulum Berganti, Solusi?

Oleh : Yani Suryani
Pendidik & Pegiat Literasi
Indonesia merupakan negara yang sering melakukan perubahan kurikulum setelah kemerdekaan didapat pada tanggal 17 Agustus 1945. Kurikulum dimulai tahun 1947 (Rentjana Pelajaran 1947) hingga tahun pascapandemi pada tahun 2022 yang dikenal dengan sebutan Kurikulum Merdeka. Saat ini Kurikulum Merdeka sedang diterapkan di semua lembaga pendidikan.
Kurikulum menurut Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 (satu) ayat 19 (Sembilan belas) Sisdiknas adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Artinya semua kegiatan yang ada di sekolah itu merupakan kurikulum, berikut tujuan dan semua proses pembelajarannya.
Sebelum Kurikulum Merdeka, kita mengenal 2013 atau yang dikenal dengan K.13. Kurikulum 2013 (K-13) Menekankan pada pendidikan karakter, pengembangan kompetensi siswa dalam sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Berfokus pada integrasi mata pelajaran yang relevan dengan kehidupan nyata. Pembelajaran lebih aktif dengan model tematik integratif di sekolah dasar. Kurikulum Merdeka (2021–sekarang) Lebih fleksibel dan berfokus pada pengembangan potensi siswa sesuai dengan minat dan bakat. Mendorong pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning).
Perubahan merupakan sebuah keniscayaan, untuk itu maka perubahan kurikulum pun merupakan sebuah hal yang wajar, karena boleh jadi perubahan sudah melewati tahap evaluasi dan penyesuiaan dengan perkambangan zaman. Perubahan kurikulum ini menunjukkan dinamika pendidikan di Indonesia yang terus berkembang mengikuti tantangan dan kebutuhan di setiap masa.
Kabinet Merah Putih pun sudah membuat Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pendidikan di bawah kepemimpinan Menteri Abdul Mu'ti mencakup beberapa kebijakan penting untuk lima tahun ke depan. Di antaranya, akan ada evaluasi terhadap program-program pendidikan yang sedang berjalan, seperti Kurikulum Merdeka, zonasi dalam penerimaan siswa baru, serta potensi kembalinya Ujian Nasional. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan program tersebut relevan dengan kebutuhan saat ini dan efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Kurikulum Merdeka pun bisa diprediksi akan ada perubahan.
Artinya evaluasi terhadap kurikulum merdeka akan dilakukan. Akan ada kemungkinan perubahan baik itu sedikit maupun banyak. Dengan perubahan yang terjadi maka timbul pertanyaan, sebenarnya apakah tujuan dari perubahan ini? Bukankah melihat dari tujuan pendidikan nasional di Indonesia adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Lalu apakah beriman dan bertakwa akan bisa terwujud jika saat ini pilar yang memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan justru memberikan peluang dengan kebijakannya yang dapat menjauhkan dari kata beriman dan bertakwa. Misalnya saat ini judi online yang sedang merebak dan terjadi dari data yang tercatat, penggunanya ada juga dari kalangan pelajar dan terpelajar. Ada sebuah video yang beredar bahwa situs judol yang berjumlah 5000 masih disisakan 1000 oleh pemerintah dengan tidak dihapus malah akan dibina. Artinya lewat satu hal saja yaitu judol dapat diduga pemerintah kurang serius dalam memberantas dan malah masih memberikan peluang pada judol ini untuk mendapatkan dana berupa pajak. Padahal apapun itu judi dalam Islam sudah pasti keharamannya.
Namun apa jadinya jika kurikulum itu selalu berganti disetiap pergantian kabinet, tidak dibarengi dengan kebijakan yang mampu menopang pada substansi pada pendidikan itu sendiri. Bukankah melalui pendidikan kita menorehkan sebuah asa adan tujuan agar manusia memiliki adab yang tinggi. Hingga peradaban yang tinggi akan muncul karena baiknya pendidikan dan berjalan beriringan antar komponen.
ini artinya belum ada sinergitas antara tujuan yang ingin diharapkan dengan kebijakan yang diambil oleh penyelenggara negara. Belum lagi konten-konten berbau syahwat yang begitu mudah untuk diakses oleh para pelajar menambah daftar perusakan moral. Yang lagi-lagi pemerintah masih belum maksimal dalam menangani konten berbasis syahwat tersebut. Bahkan saat ini banyak pelajar yang terindikasi melakukan pergaulan bebas akibat terkontaminasi ide kebebasan.
Jika pemerintah menetapkan tujuan pendidikan yang mulia, namun pada sisi lain tidak dibarengi dengan kebijakan yang menuju ke kemuliaan apa jadinya dengan negara tercinta ini. Islam memang tidak dianut oleh semua warga negara, namun jika aturan Islam mampu memanusiakan kenapa tidak jika aturan itu kita pergunakan untuk mengatur dan dalam sejarahnya, dengan Islam mampu memuliakan manusia.Wallahua’lam