| 63 Views
Krisis Kepercayaan, Kepada Siapa Umat Berharap?

Oleh: Ummu Adi
Aktivis Dakwah dan Pegiat Literasi
Akhir-akhir ini, kita dikejutkan dengan pemberitaan bahwa, Pemerintah menaikkan tunjangan beras dan bensin untuk anggota DPR periode 2024-2029.
Wakil ketua DPR Adies Kadir merincikan tunjangan beras naik dari Rp 10 juta per bulan menjadi Rp 12 juta per bulan, tunjangan bensin dinaikkan menjadi Rp 7 juta per bulan dari sebelumnya Rp 4-5 juta per bulan.
Menurut politikus Partai Golkar tersebut, kenaikan diberikan karena Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merasa iba terhadap Legislator. (https://www.tempo.co/politik/rincian-satuan-gaji-dan-tunjangan-anggota -dpr-berapa-biaya-telpon-mereka--2061776)
Wooow...Mungkin itu yang pertama kali melintas di kepala kita. Bagaimana tidak, dengan tunjangan beras Rp 10 juta per bulan saja, mestinya itu sudah lebih dari cukup.
Bila di asumsikan HET beras premium adalah Rp 15.400/kg, maka dengan Rp 10 juta, akan di dapatkan sekitar 649,35 kg atau setara dengan setengah ton lebih (bila sekarung memiliki berat 25 kg, maka dengan Rp 10 juta akan di dapatkan 616 karung). Lalu atas dasar apa Menteri Keuangan menaikkan tunjangan beras bagi anggota DPR menjadi Rp 12 juta per bulan? Bukankah ini akan melukai sebagian masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan?
Para pengamat menilai hal ini tidak layak, ditengah sulitnya ekonomi masyarakat dan tidak sepadan dengan kinerja DPR yang tidak memuaskan.
Adanya lonjakan harga di beberapa sektor perdagangan seperti sembako, terbatasnya lapangan pekerjaan, naiknya Pajak Bumi dan Bangunan di beberapa daerah ditambah dengan kebijakan yang tidak masuk akal seperti kenaikan tunjangan beras, tunjangan rumah, dan tunjangan lainnya, menunjukkan betapa sistem lebih berpihak pada segelintir elit penguasa yang menamakan dirinya "Wakil Rakyat." Semakin diperparah bahwa pajak pendapatan anggota dewan ditanggung negara, hal yang tak berlaku bagi masyarakat kebanyakan.
Meskipun saat ini segala tunjangan telah dibatalkan karena adanya demo besar-besaran diberbagai wilayah , tetapi tetap saja “pernah terjadi” kenaikan dan pemberian tunjangan kepada anggota dewan telah melukai banyak hati Masyarakat kecil.
Namun, inilah konsekwensi yang harus diterima oleh negara yang menjadikan demokrasi kapitalis sebagai sistem yang mengatur pemerintahannya. Sistem dengan orientasi materi ini menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang memberikan mandat pada wakilnya di parlemen untuk mengatur kehidupannya.
Alih-alih menyejahterakan, justru amanat yang di berikan dijadikan ajang untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri sendiri. Hal ini membuktikan bahwa kecerdasan manusia tidak akan mampu menilai atau menimbang apa yang baik bagi kehidupannya.
Kekuasaan dalam sistem demokrasi kapitalis digunakan untuk melindungi kepentingan segelintir orang yang memiliki modal besar (kapital).
Dalam sistem ini pula terbuka peluang untuk mengeruk kekayaan dengan kekuasaan yang di dapatkan dari kepercayaan rakyatnya, terlebih dengan kebebasan kepemilikan, yang dijamin penuh oleh penguasa, menjadi pintu masuk bagi para kapital untuk menciptakan kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Bagaimana Pandangan Islam?
Islam sebagai agama universal memandang kekuasaan adalah satu cara untuk mewujudkan syariat (aturan) Allah dalam kehidupan. Karena kekuasaan tertinggi (kedaulatan) hanyalah milik Allah.
Sebagaimana firmanNya dalam QS. Yusuf ayat 40
ان الحكم الا لله
Artinya: "Sesungguhnya Hukum itu milik Allah."
Dalam hal ini pemimpin bertugas memastikan bahwa aturan Allah berjalan sesuai maunya Allah. Amanah, bertanggung jawab dengan kepemimpinannya, memastikan terpenuhinya hak-hak umat dalam kebutuhan hidupnya, serta jaminan kesejahteraan.
Rasulullah Saw bersabda,
الامام رائع ومسعولون عن رعيته
Artinya: "pemimpin adalah pengurus, dan dia bertanggung jawab dengan apa yang di urusnya."
Peradaban Islam banyak melahirkan sosok pemimpin amanah selama beberapa abad. Sebut saja Umar bin Khatab. Beliau adalah Khalifah kedua setelah Abu Bakar dalam khulafaur Rasyidin. Kisah beliau yang rela memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang kelaparan, menunjukkan keikhlasannya sebagai pemimpin yang tidak ingin melihat rakyatnya tidur dalam keadaan lapar.
Begitu juga dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khalifah dari Bani Umayyah yang memimpin sejak 717-720 M ini dalam kitab Al Hidayah wa Al Nihayah di ceritakan, ketika Beliau sedang berbincang dengan anaknya tentang masalah agama, beliau mematikan lampu. Ketika di tanyakan oleh anaknya, mengapa lampunya harus dimatikan, beliau menjawab bahwa lampu tersebut di beli dari harta Baitul mal. Dan beliau tidak ingin membebani rakyat dengan biaya pribadi.
Selain itu di dalam system pemerintahan Islam dikenal istilah Majelis Umat. Bersama dengan pemerintah, Majelis Umat berperan dalam syura (bermusyawarah) untuk mencapai keputusan yang membawa kemaslahatan bagi seluruh pihak bukan untuk kepentingan golongan tertentu.
Majelis umat memiliki tugas dan wewenang untuk menyampaikan aspirasi, pendapat, dan masukan umat kepada penguasa (Khalifah), serta mengoreksi kebijakan penguasa yang dianggap keliru atau menyalahi aturan Allah. Mereka dipilih langsung oleh umat untuk mewakili berbagai kelompok dan wilayah, termasuk non-Muslim, untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil sudah berkesesuaian dengan syariat Islam. Mereka tidak menerima gaji karena memang bukanlah pegawai negeri. Akan tetapi jika ada kebutuhan untuk menunjang kinerja mereka, maka akan diberikan berupa santunan secukupnya atau kompensasi dan bukan gaji tetap, dengan pengelolaan anggaran di bawah wewenang khalifah dan Baitulmal.
Anggota Majelis Umat didorong oleh kesadaran akan amanah dan tanggung jawab di hadapan Allah, bukan untuk menuntut fasilitas atau memperkaya diri. Akan terus ada untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang dibangun dengan asas Aqidah Islam. Maka jelas menjadi wakil rakyat bukanlah jabatan professional.
Keberadaan Majelis Umat secara syar’i ditetapkan berdasarkan perilaku Rasulullah saw. dan para sahabat. Rasulullah saw. dalam urusan-urusan tertentu bermusyawarah dengan para sahabat besar. Beliau sering meminta saran dan pendapat mereka dalam urusan-urusan yang sifatnya mubah. Hanya saja, ada beberapa sahabat yang sering diajak bermusyawarah dan dimintai pendapat oleh Nabi saw. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman al-Farisi, Hudzaifah, dan lain sebagainya.
Karena itulah wajib bagi kita kaum muslimin,menerapkan Islam secara kaffah dan mengembalikan kembali kehidupan Islam di tengah-tengah umat, agar Islam menjadi Rahmat bagi seluruh alam. Aamiin.
Wallahu a'lam bish shawab