| 176 Views
Korupsi : Akar Masalah dan Solusi Islam

Oleh : Lesi
Aktivis Muslimah
Selama dua periode kepemimpinan Jokowi (2014-2024), Indonesia tidak mampu membuktikan perubahan yang signifikan terkait masalah korupsi. Bahkan ditangkapnya pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri dan 78 orang pegawai KPK menjadi bukti sulitnya memberantas korupsi di negara ini. Paling mutakhir korupsi dalam tata kelola timah selama 2015-2022 yang bernilai sekitar Rp 271 triliun.
Banyak pakar melakukan analisis mengenai perilaku korupsi. Seperti menurut Erika Evida, berdasarkan analisisnya terhadap pendapat para pakar peneliti korupsi seperti Singh, Merican, Ainan, sebab-sebab terjadinya korupsi ada tiga faktor yakni: Pertama, gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban, dan sebagainya. Kedua, budaya warisan pemerintahan kolonial. Ketiga, sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara tak halal, tak ada kesadaran bernegara, serta tak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Adapun di Indonesia ada KPK (berdasarkan UU No 32/2002) yang mempunyai misi memberantas korupsi. Ada juga BPK dan Bawasda, lembaga pemeriksa dan pengawas keuangan untuk mencegah korupsi. Dibuat juga berbagai undang-undang untuk memberantas korupsi, seperti UU no 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU no 20/2001 tentang perubahan atas UU no 31/1999, dan UU No 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Bagaimana hasilnya? Boleh dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum memuaskan. Indonesia sudah berkali-kali menjadi juara negara paling korup di Asia.
Adapun hambatan utama memberantas korupsi di Indonesia yakni DPR sendirilah yang berusaha mengurangi kewenangan KPK melalui upaya DPR menggodok Revisi UU KPK No 30/2002. Misal, kewenangan melakukan penuntutan yang selama ini dimiliki KPK, hendak dihapuskan oleh DPR (lihat pasal 1 ayat 3, pasal 6 bagian c, pasal 7 bagian a; Draft Revisi UU KPK No 30/2002). Penegak hukum juga menghambat pemberantasan korupsi. Contoh, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah tidak mengumumkan status tersangka Bupati Karanganyar Rina Iriani kepada publik.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan hambatan utama pemberantasan korupsi berpangkal dari ideologi yang ada, yaitu demokrasi-kapitalis. Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi panutan dalam masyarakat kini yang berkiblat kepada Barat.
Korupsi juga dipengaruhi oleh faktor lainnya yakni lemahnya karakter individu (tak tahan godaan uang suap), begitu juga adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyarakat serta faktor penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.
Dalam pandangan syariah Islam, korupsi termasuk perbuatan khianat (tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu menggelapkan harta, yang memang diamanatkan kepada dirinya). Orangnya disebut khâ`in (Lihat: Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 31).
Pada dasarnya, faktor utama penyebab korupsi adalah ideologi. Maka, langkah paling penting dilakukan menghapuskan pemberlakuan ideologi demokrasi-kapitalis. Lalu, diterapkan syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya berlaku di negeri ini. Penerapan syariah Islam akan efektif membasmi korupsi, baik terkait pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).
Secara preventif, ada enam langkah mencegah korupsi. Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah serta berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah al-Anfal ayat 27 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian. Padahal kalian tahu.”
Di antara sekian banyak amanah, yang paling penting yakni amanah kekuasaan. Rasulullah Sabda Rasulallah SAW, “Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).
Lalu terkait profesionalitas dan integritas, Rasulullah bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat” (HR Bukhari).
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Rasul SAW mencontohkannya. Tidak ada yang meragukan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, tatkala Rasul mengutus Muadz ke Yaman menjadi ‘âmil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu Rasul bersabda kepada Muadz, “Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu (TQS Ali Imran [3]: 161). Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu” (HR at-Tirmidzi dan ath-Thabarani).
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Nabi SAW bersabda, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tetapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Jika tak punya istri, hendaklah dia menikah. Jika tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan” (HR Ahmad).
Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara karena hukumya haram. Rasul SAW bersabda, “Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian gaji untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulûl” (HR Abu Dawud dan al-Hakim).
Tentang hadiah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran” (HR Ahmad).
Kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab ra. biasa menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Jika Umar mendapati kekayaan seorang wali atau 'âmil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46-47).
Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama.
Adapun secara kuratif, membasmi korupsi dilakukan dengan penerapan sanksi hukum yang tegas dan tanpa tebang pilih. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdurrahman al-Maliki, dalam bukunya, Nizhâm al-‘Uqûbât, halaman 78-89), dalam Islam hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zîr, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim/penguasa. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan seperti teguran dari hakim; bisa berupa penjara, pengenaan denda atau pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhîr); bisa hukuman cambuk; hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman ta’zîr ini disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan.
Jelaslah, pemberantasan korupsi hanya akan berhasil dalam sistem Islam. Sebaliknya, mungkin mustahil terwujud dalam sistem sekuler seperti sekarang ini. Maka, upaya penerapan dan penegakan syariah Islam di negeri ini secara menyeluruh dan total harus segera diwujudkan.