| 39 Views

Kompleksitas Personal Guru VS Kualitas Generasi

Oleh : Ummu Alvin
Aktivis Muslimah

Keberadaan guru sangatlah penting untuk mencerdaskan anak bangsa dan membentuk generasi masa depan yang tangguh yang bermental pejuang, guru juga adalah ujung tombak pendidikan, bisa dikatakan tidak ada seorangpun bisa mencapai keberhasilan tanpa andil dari seorang guru. Sudah selayaknya jika keberadaan guru ini mendapat apresiasi dan dukungan dari penguasa. 

Pada peringatan Hari Guru Nasional tahun ini 2024, yakni yang ke-30 tahun, mengusung tema " Guru Hebat, Indonesia Kuat ", tema ini dipilih untuk menggambarkan bagaimana peran guru hebat yang mendedikasikan waktunya untuk mendampingi dan membina generasi muda Indonesia dalam membangun Indonesia jadi bangsa yang kuat. 

Mirisnya nasib guru di negeri ini masih tidak menentu, pengabdian guru masih ternoda dengan berbagai masalah,mulai gaji yang tak memadai, kesejahteraan juga hanyalah ilusi, hingga maraknya kriminalisasi terhadap guru yang sejatinya mereka hanya ingin mendisiplinkan anak didiknya sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap muridnya namun berakhir dengan dilaporkan ke pihak berwajib oleh orang tua murid. 

Disisi lain guru hari ini juga banyak yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan profesinya, diantaranya ada yang menjadi pelaku bullying, kekerasan fisik bahkan kekerasan seksual, hingga menjadi terlibat judol, hal ini tentu sangat berpengaruh pada pelaksanaan tugasnya sebagai pendidik generasi, terlebih lagi guru adalah sosok yang digugu dan ditiru oleh murid-muridnya. 

Optimalisasi peran guru sangatlah penting untuk membentuk generasi emas yang berkualitas namun karena banyaknya persoalan yang dihadapi oleh para guru ditambah minimnya adab murid terhadap guru, buah dari sistem pendidikan yang mengadopsi asas sekularisme dan nilai-nilai liberalisme, akibatnya lahirlah generasi yang berkepribadian rusak, yang jauh dari akidah Islam, terlibat pergaulan bebas bahkan menjadi pelaku kriminalitas, kualitas generasi emas yang itu diharapkan hanya sekedar hayalan. Tidak optimalnya guru dalam tugasnya akan berimbas pada output pendidikan. 

Gagalnya negara dalam menyejahterakan guru sebagai pemilik ilmu yang mendidik calon pemimpin bangsa adalah akibat penerapan kapitalisme dengan sekularisme sebagai asasnya. Alhasil, guru dipandang hanya sebagai sekadar profesi. Kapitalisme juga menjadikan materialisme sebagai acuan sehingga segala sesuatu dilihat secara materi. Pemilik ilmu tidak lagi dipandang sebagai orang yang perlu dihormati. Hanya mereka yang punya kedudukan dan uang yang berhak dijunjung tinggi. 

Lebih lagi, perpaduan materialisme dengan liberalisme mengakibatkan hilangnya pendapatan negara dari pos pengelolaan SDA. Keuangan dari pos tersebut justru masuk ke kantong para kapitalis, sedangkan pendapatan utama negara hanya mengandalkan dari pajak. Jadilah negara “tidak punya banyak uang” untuk mengapresiasi profesi seorang guru.

Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna sangat menghormati ilmu. Apalagi kepada guru, kedudukan mereka sangat tinggi dalam Islam. Bahkan, Islam mengatur adab seorang murid kepada gurunya. Akan halnya guru, Islam tidak memandang profesi ini sebatas pekerjaan, melainkan mereka berperan sebagai pencetak generasi pemimpin sehingga sangat dimuliakan dan wajib dihormati.

Untuk memberikan penghargaan yang besar sekaligus agar para guru bisa fokus mendidik calon pemimpin bangsa, Islam mewajibkan negara memberikan penghargaan yang layak. Sebagai gambaran, pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, guru digaji hingga 15 dinar/bulan (1 dinar = 4,25 gram emas) per bulan. Mengacu harga emas saat ini (November 2024, ed.), yakni 1 gram emas adalah Rp1,513 juta, maka gaji guru Rp 96 453 750 juta per bulan.

Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, penghargaan bagi orang berilmu pun sangat besar. Gaji guru kala itu mencapai 1.000 dinar/tahun. Khalifah juga memberikan gaji dua kali lipat bagi pengajar Al-Qur’an. Bahkan, ketika pengajar atau ilmuwan menghasilkan buku, mereka akan mendapatkan penghargaan sesuai berat buku tersebut (dalam dinar). Ini adalah bukti bahwa Islam sangat menghargai ilmu dan orang yang berilmu.

Dengan nominal tersebut, para guru tidak perlu lagi mencari pekerjaan sampingan, apalagi Khilafah telah mencukupi semua kebutuhan pokok rakyatnya. Alhasil, para guru bisa fokus mendidik sekaligus mengembangkan ilmunya.

Islam juga punya konsep sendiri dalam mengelola keuangan, yakni melalui baitulmal. Pemasukan baitulmal berasal dari jizyah, fai, kharaj, ganimah, dan pengelolaan seluruh SDA. Semua pemasukan tersebut akan dikelola oleh negara untuk mengurusi kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk gaji para guru.

Dukungan penuh negara ini akan menjadikan guru hidup sejahtera. Negara juga aman karena generasi muda para calon pemimpin bangsa akan dididik dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, mereka menjadi pelajar yang berkepribadian Islam, yaitu punya pola pikir dan sikap Islam. Ketika sudah lulus, mereka akan mempraktikkan ilmunya agar bermanfaat di tengah masyarakat.

Wallahu a'lam bish showwab.


Share this article via

29 Shares

0 Comment