| 29 Views

Komersialisasi Ibadah Haji

Oleh: Fadillah Noviantika
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Ibadah haji adalah rukun Islam yang mulia, menjadi impian jutaan kaum Muslimin di seluruh dunia. Setiap tahun, jutaan umat Islam menunaikan panggilan suci sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala. Namun, di tengah kesakralan ibadah ini, muncul ironi yang memilukan. Haji kini tak lagi sepenuhnya menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah, tapi mulai berubah menjadi ajang komersialisasi dan bisnis berskala besar, bahkan diatur dengan standar ala korporasi.

Antrean berangkat haji yang demikian panjang ternyata tidak menyurutkan semangat umat Muslim untuk melaksanakannya dan hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Kondisi yang sama juga terjadi di negara-negara ASEAN, bahkan beberapa negara, lama antreannya jauh di atas Indonesia. Malaysia menempati posisi pertama yaitu 120 tahun, kedua Singapura 34 tahun, dan ketiga Indonesia yaitu 20 tahun.

Haji, Ibadah atau Komoditas?
Masyarakat Indonesia nampak antusias dengan inovasi dari dunia perbankan soal dana talangan haji yang biasa disebut dengan “qardl” atau pinjaman. Nasabah kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Pada dasarnya, naik haji itu tidak wajib hukumnya atas orang yang belum mempunyai isthitha’ah (kemampuan).

Allah Ta’aala berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam,” (TQS Ali Imran [3]:97).

Di Indonesia, masalah pengelolaan haji kerap menjadi sorotan. Mulai dari persoalan kuota yang terbatas, antrean panjang hingga puluhan tahun, pembengkakan biaya haji (BPIH), hingga isu investasi dana haji yang mengundang tanda tanya besar. Semua ini menunjukkan, pengelolaan haji hari ini lebih menyerupai urusan korporasi ketimbang amanah ibadah. Bahkan, Kementrian Agama (Kemenag) sempat meyebut penyelenggaraan haji 2024 dihadapkan pada tantangan finansial, seiring lonjakan biaya yang tidak sebanding dengan nilai manfaat yang tersedia.

Menteri Agama Suryadharma Ali (Periode 2009-2014) menyatakan tidak setuju jika seseorang menunaikan haji menggunakan dana talangan, termasuk pula melalui Multi Level Marketing (MLM) karena tidak memenuhi syarat syar’i.

Pengelolaan Haji dalam Sistem Kapitalisme
Seharusnya, haji dijalankan sebagai amanah besar, bukan komoditas bisnis. Namun faktanya, pengelolaan haji kini sudah seperti mengelola pasar: siapa yang mampu membayar lebih, bisa berangkat lebih cepat. Sementara rakyat biasa harus pasrah menunggu giliran hingga 30-40 tahun ke depan. Belum lagi munculnya haji furoda dan haji khusus yang biayanya selangit, membuka peluang ketimpangan sosial dalam ibadah yang seharusnya mempersatukan semua lapisan umat

Ironisnya, negara justru tidak sungguh-sungguh menyelesaikan akar masalahnya. Sebaliknya,
negara hanya bersikap sebagai operator teknis, bahkan dana haji yang jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah justru dialihkan untuk investasi, dengan alasan agar nilai manfaatnya bertambah. Padahal, dana itu adalah amanah dari jutaan umat, yang seharusnya dijaga secara penuh, bukan dijadikan alat investasi yang rawan risiko dan kepentingan politik.

Sistem kapitalisme juga menjadikan negara-negara Muslim lemah dan bergantung. Arab Saudi, sebagai pengelola dua tanah suci, menetapkan berbagai kebijakan sepihak yang kerap memberatkan calon jemaah, seperti pembatasan usia, tarif visa yang mahal, hingga pembangunan infrastruktur mewah yang berujung pada kenaikan biaya akomodasi. Sayangnya, negara-negara Muslim lain, termasuk Indonesia, tak punya daya tawar menolak atau menegosiasi secara tegas. Semua tunduk dan menerima dengan alasan “mengikuti kebijakan pemerintah Arab Saudi”

Penutup
Sudah saatnya umat Islam menyadari semua problematika ini bermuara pada satu akar, tidak adanya institusi pemersatu umat yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Pengelolaan haji yang sarat komersialisasi bukti nyata bahwa umat Islam kehilangan kepemimpinan yang amanah dan bertanggung jawab. Kita tidak bisa terus membiarkan ibadah sebesar haji dikelola dalam sistem yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sudah saatnya umat Islam bangkit, menyuarakan perubahan hakiki, dan mengembalikan syari’ah dalam kehidupan. Hanya dengan itulah haji kembali menjadi ibadah yang murni, terjangkau, dan membawa berkah bagi seluruh umat.

Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…” TTQS al-Baqarah [2]:196).


Share this article via

6 Shares

0 Comment