| 24 Views

Ketimpangan Pendidikan, Potret Suram Kapitalisme

Oleh: Lisa Aisyah Ashar
Pegiat Literasi

Kondisi mutu dan aksesibilitas pendidikan di Indonesia patut disorot kembali setelah data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan disparitas atau kesenjangan yang cukup tinggi pada beberapa wilayah. (KOMPAS.com, 5/3/2025)

Berdasarkan data yang dihimpun tahun 2024, mayoritas penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun memiliki ijazah SMA atau sederajat, tepatnya sekitar 30,85 persen.

Sementara itu, hanya 10,2 persen dari penduduk Indonesia yang menyelesaikan pendidikan di tahap perguruan tinggi. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menyoroti tingginya angka lulusan SD dan SMP. Jika dijumlah, angka ini melebihi total penduduk yang memegang ijazah SMA.

Sementara, rata-rata yang paling rendah ada di provinsi Papua Pegunungan yang hanya mencapai 5,1 tahun atau jenjang SD saja tidak lulus.

Ketimpangan Pendidikan Kapitalisme

Mutu pendidikan kapitalisme cukup memprihatinkan menunjukkan disparitas  dan ketimpangan pendidikan. Pasalnya, tahapan jenjang pendidikan Indonesia didominasi tahap Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Tak dapat dipungkiri meskipun adanya bantuan pemerintah melalui program beasiswa yaitu Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan berbagai program beasiswa lainnya tidak menutupi realita ketimpangan pendidikan Indonesia. Berbagai faktor yang menyebabkan hal tersebut diantaranya.

Pertama, ketimpangan dalam akses pendidikan. Hal yang paling mendasari dikarenakan faktor ekonomi. Gambaran mutu pendidikan hari ini yang masih berpegang pada asas sistem kapitalistik, sangat nihil akan menuai pendidikan yang berkualitas dan adil merata pada lapisan masyarakat. Sebab, hingga saat ini pendidikan dianut sistem kapitalistik berlandaskan materi sehingga hanya segelintir rakyat saja yang dapat mengenyam bangku pendidikan ke tahap lebih tinggi.

Pendidikan kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang nantinya mencetak generasi bangsa kepada industri dan mekanisme pasar. Sehingga tidak heran jika biaya pendidikan makin hari melonjak tinggi. Hal ini mengikis mimpi dan keinginan belajar anak bangsa dalam mengenyam pendidikan bagi kalangan masyarakat  menengah ke bawah.

Kedua, ketimpangan dalam fasilitas pendidikan. Keterbatasan fasilitas pendidikan kerap menjadi hambatan bagi anak-anak yang berada di desa terpencil. Infrastruktur yang sering tidak memadai seperti bangunan sekolah yang rusak, keterbatasan jumlah ruangan kelas, akses listrik yang terbatas dan akses jalan ke sekolah yang cukup jauh. Banyaknya berita-berita yang berseliweran memperlihatkan kondisi anak sekolah yang harus melalui jalan terjal bahkan ada yang harus melewati derasnya arus sungai untuk sampai ke sekolah.

Ketiga, tingginya tingkat ketidakhadiran guru. Ketidakhadiran guru menjadi hambatan dalam implementasi kurikulum nasional. Hal ini seharusnya menjadi sorotan pemerintah faktor apa saja menyebabkan para guru enggan hadir melaksanakan tugasnya. Sebagian besar tentu terjadi pada guru-guru honorer yang seringkali mengalami persoalan gaji yang sangat minim yang tidak sebanding dengan jasanya dalam mencerdaskan anak bangsa.

Disamping itu, minat generasi muda menurun untuk menjadi guru. Fokus pemerintah dalam merombak dan memperbaiki kurikulum agar relevan dengan kemajuan hari ini, tapi disatu sisi melupakan faktor lain yang menyebabkan ketimpangan pendidikan.

Selama pendidikan masih berpegang teguh pada sistem kapitalisme maka ketimpangan akan terus terjadi dan membunuh mimpi-mimpi melahirkan generasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sistem Pendidikan Dalam Islam

Pendidikan dalam Islam diposisikan sebagai hak dasar yang harus dipenuhi, baik dari segi sarana dan prasarana dijamin oleh negara secara menyeluruh tanpa memandang status masyarakat. Sebab, seorang pemimpin negara akan diminta pertanggungjawabannya dalam mengurus rakyatnya. Sebagaimana, Rasulullah Saw. bersabda, 

“Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”  (HR Bukhari dan Muslim)

Berbeda halnya dengan sistem Islam, dalam pendidikan sistem Islam tidak akan menjadikan pendidikan sebagai komoditas pasar dan industri sehingga membentuk pola pikir kapitalis berlandaskan pada materi semata, sebagimana sistem kapitalisme. Melainkan, sistem pendidikan dalam Islam berasas pada akidah Islam sehingga akan membentuk pola pikir dan pola sikap yang islami yang nantinya akan melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual dan spiritual.

Dalam negara Islam yaitu Khilafah seluruh pusat pembiayaan pendidikan di negara diambil dari baitulmal. Baitul Mal atau lembaga pengumpul dan penyalur harta dari kalangan umat Islam sudah berdiri sejak masa pemerintahan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam. Kebijakan tersebut kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin, seperti Abu Bakar Ash Shiddiq RadiyaAllahu ‘anha. Pada masa Abu Bakar RA, Baitul Mal difungsikan sebagai penyimpan kekayaan negara dan penyalur harta benda. Sumber keuangan Baitul Mal tersebut berasal dari zakat, upeti, rampasan perang, dan urusan kehakiman.

Fakta sejarah yang terjadi Di Cordoba, Spanyol, pada zaman itu masjid yang dilengkapi madrasah, dengan berbagai fasilitas pendidikan lainnya. Lembaga pendidikan telah menelorkan ulama sekaliber Al Qurthubi, As Syathibi, dan lain-lain. Tidak hanya ahli tafsir dan usul, akademi pendidikan di era Khilafah juga berhasil melahirkan para pakar di bidang kedokteran seperti Ali At Thabari, Ar Razi, Al Majusi dan Ibn Sina; di bidang kimia seperti Jabir bin Hayyan; astronomi dan matematika, Mathar, Hunain bin Ishaq, Tsabit bin Qurrah, Ali bin Isa Al Athurlabi dan lain-lain; geografi, seperti Yaqut Al Hamawi dan Al Khuwarizmi; historiografi, seperti Hisyam Al Kalbi, Al Baladzuri, dan lain-lain. (Dikutip dari abusyuja.com)

Bukti sejarah kegemilangan Islam dari masa ke masa seharusnya tak jadi buah bibir semata. Sebab, realitanya sistem pendidikan kapitalisme tidak akan sebaik dengan sistem pendidikan Islam.


Share this article via

11 Shares

0 Comment