| 78 Views

Ketika Sumber Daya Listrik Terbelenggu Liberalisasi

Oleh : Hamsina Ummu Ghaziyah
Pegiat Literasi

Sebanyak 22.000 rumah tangga di Jawa Barat (Jabar) belum teraliri listrik. Dedi Muliadi selaku calon gubernur (cagub) Jawa Barat menargetkan, dalam dua tahun pemerintahannya  seluruh warga Jawa Barat akan mendapatkan aliran listrik jika dirinya memenangi Pilkada Jabar 2024.

Dedi Muliadi menyampaikan hal tersebut saat menanggapi pertanyaan panelis dalam debat pilkada Jabar 2024, Sabtu (23/11/2024). Pertanyaan panelis merujuk pada program Jabar Caang (terang), yang meski sudah gencar disosialisasikan , tetapi hingga kini masih ada 22.000 rumah yang belum teraliri listrik.

Fakta lainnya, sampai triwulan I 2024 masih ada 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik. Jumlah ini turun dibandingkan akhir 2023 yang masih sebanyak 140 desa/kelurahan yang semua terletak di Papua belum teraliri listrik. Hal ini diungkapkan oleh kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P. Hutajulu

Tak bisa dimungkiri, kehadiran listrik di tengah masyarakat sangat berperan penting. Bayangkan saja, bagaimana jika kita hidup tanpa adanya listrik? Bahkan untuk membuat bahan makanan, elektronik, dsb.,  menggunakan listrik. Jadi, peran listrik tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari karena kebutuhan energi listrik menjadikan segala aktivitas masyarakat menjadi mudah.

Diketahui bahwa penggunaan listrik di Indonesia pada tahun 2023 terhitung sebanyak 99,79 persen rumah tangga yang telah teraliri listrik. Artinya, jumlah pelanggan listrik PLN pada tahun 2023 sebanyak 89.153.278 pelanggan. Sementara konsumsi listrik perkapita di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 1.337,25 GWh. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan konsumsi listrik perkapita bagi masyarakat.

Namun fakta demikian tidak sebanding dengan kenyataan yang ada di lapangan. Terbukti, masih ada beberapa Kepala Keluarga (KK) di Jabar dan beberapa desa/kelurahan di Papua masih belum mendapatkan layanan listrik. Kenyataan demikian adalah gambaran akan adanya salah kelola sumber energi di Indonesia. Dari fakta demikian pula bisa memberikan kita gambaran, mungkin saja masih ada wilayah atau desa di berbagai pelosok Indonesia yang belum merasakan pelayanan listrik dari negara.

Selama puluhan tahun, listrik dianggap sebagai sumber daya energi nasional sehingga pemerintah melalui PLN adalah pihak yang mengupayakan penyediaan dan pengambilan keuntungan dari listrik. Oleh karena itu, melalui Independen Power Produce (IPP) yang diketahui sebagai pembangkit listrik milik swasta yang dikenal sejak tahun 1990 turut melakukan kerjasama dalam menandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) atau Power Purchase Agreement (PPA) dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Dalam PJBL, PLN akan membeli listrik yang disepakati oleh IPP untuk disalurkan kepada masyarakat. Pertanyaannya, mengapa PLN harus membeli listrik dari pihak swasta sementara negeri ini memiliki limpahan sumber daya listrik yang bisa dikelola oleh negara?

Polemik salah kelola sumber energi listrik semakin menarik untuk dibahas. Pasalnya, pihak swasta dilibatkan dalam penyediaan listrik bagi masyarakat. Parahnya lagi, bentuk kerjasama ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan yang memperbolehkan pihak swasta untuk ikut serta dalam memasok kebutuhan listrik nasional. Disamping itu, Undang-Undang ini juga  melengkapi dan  memperkuat pegangan hukum IPP agar bisa berinvestasi di bidang energi. Maka semakin jelas sudah terbuka keran liberalisasi Sumber energi oleh swasta. terlebih lagi, dengan adanya UU 11/2020 tentang Cipta kerja yang memberikan kemudahan bagi para investor baik asing maupun lokal di bidang energi listrik.

Seperti yang kita ketahui, liberalisasi merupakan hasil dari penerapan sistem kapitalisme. Maka, tidak heran jika saat ini kita menyaksikan dominasi swasta terhadap pengelolaan hajat hidup masyarakat, sementara negara hanya sebagai regulator antara pihak swasta dan masyarakat. Karenanya, dominasi swasta dalam pengelolaan sumber energi listrik semakin diperkuat ketika Kementrian ESDM sebelumnya berencana membuka skema Power Wheeling dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET) di DPR untuk dibahas.

Untuk informasi, Skema Power Wheeling merupakan mekanisme yang mengizinkan pihak swasta atau Independen Power Produce (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung kepada masyarakat melalui jaringan transmisi PLN. Skema ini kemudian dinilai memicu privatisasi listrik oleh pihak swasta. Selain itu, skema ini dinilai menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) sehingga memungkinkan  pengusahaan listrik dimonopoli oleh PLN selaku Badan Usaha Milik Negara dan memungkinkan bagi pihak swasta untuk menjual energi listrik dipasar terbuka dengan mengikuti mekanisme pasar. Namun untungnya, Skema Power Wheeling pada akhirnya dicabut oleh pemerintah dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) setelah mendapatkan berbagai perdebatan dan penolakan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, dalam sistem kapitalisme sekuler, materi dan keuntungan merupakan asas yang wajib diraih sebanyak-banyaknya baik pihak korporasi swasta maupun asing. Maka, hal ini menjadi suatu keniscayaan bagi pihak swasta untuk mendapatkan keuntungan dari pengelolaan sumber energi listrik. Pihak swasta tidak akan melirik daerah-daerah pelosok atau terpencil untuk membangun sumber energi di sana karena pengadaan infrastruktur yang tidak mendukung serta perekonomian yang tidak menguntungkan bagi mereka. Maka, tak heran jika di sebagian wilayah seperti Jawa Barat maupun Papua masih sulit mendapatkan layanan listrik.

Inilah dampak dari liberalisasi tata kelola sumber energi yang memberikan dampak mahalnya tarif listrik sehingga masyarakat mau tidak mau harus mengeluarkan banyak biaya untuk mendapatkan layanan listrik. Padahal, beban masyarakat sudah begitu banyak sudahlah adanya kenaikan pajak, mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, belum lagi memenuhi kebutuhan hidup mereka baik sandang, pangan dan papan semuanya ditanggung oleh masing-masing individu. Sementara negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang memberikan keluasan bagi para kapitalis dalam pengelolaan sumber energi.

Dampak lainnya adalah pihak swasta diberikan kebebasan untuk mengelola dana berinvestasi di bidang energi listrik. Akibatnya, PLN selaku BUMN wajib membeli bahan baku dari pihak swasta dengan harga yang sangat mahal untuk didistribusikan ke daerah-daerah pelosok. Belum lagi keterbatasan pengadaan infrastruktur di daerah-daerah pelosok tersebut ketika pendistribusian sumber energi listrik.

Listrik merupakan kebutuhan penting yang wajib dipenuhi oleh negara. Namun hal ini tidak terwujud karena adanya liberalisasi tata kelola listrik pada sumber energi primer dan layanan listrik yang berorientasi pada keuntungan. Akibatnya, layanan listrik di daerah-daerah pelosok tidak begitu diperhatikan karena mahalnya biaya dan penyediaan hajat hidup masyarakat ini dilakukan oleh korporasi. Disisi lain, negara berlepas tangan dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dharuri rakyatnya. Bahkan rakyat sendiri memalak rakyatnya melalui tata kelola listrik yang kapitalistik ini.

Sementara dalam sistem Islam, permasalahan kebutuhan energi merupakan hak setiap warga negara yang harus dijamin ketersediaannya oleh negara. Konsep yang didasarkan bahwa kesejahteraan rakyat terletak atas terpenuhinya segala kebutuhan pokok individu termasuk didalamnya energi listrik. Hal ini merupakan tanggung jawab dan kewajiban negara, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
"Pemimpin manusia adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai tanggungjawab atas rakyat yang diurusinya". (HR. Muslim)

Dalam perspektif Islam, sumber daya energi termasuk dalam kepemilikan umum, yang mana batu bara merupakan bahan baku pembangkit tenaga listrik tersebut. Di satu sisi, batu bara termasuk barang tambang yang harus dikelola oleh negara dan pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada individu ataupun pihak swasta. Sebagaimana hadits Rasulullah saw., "Kaum muslim berserikat atas 3 hal yaitu air, Padang rumput,dan api" (HR Abu Daud).

Menurut An-Nabhani, yang dimaksud dengan api adalah sumber daya energi. Yang mana, jika tidak terpenuhi dalam masyarakat akan menimbulkan persengketaan dalam rangka mendapatkannya. Sehingga sumber energi ini tidak boleh dikuasai oleh individu ataupun swasta. Karena itu, Allah Swt. telah mengamanatkan kepada negara (Khilafah)untuk  mengelola sumber daya energi tersebut. Negaralah yang bertanggung jawab sepenuhnya dalam pengelolaan sumber energi. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator semata, tetapi sekaligus sebagai pengelola langsung dan mendistribusikan sumber energi listrik tersebut kepada masyarakat sampai ke wilayah-wilayah pelosok dan terpencil.

Adapun kebijakan negara Khilafah dalam memenuhi kebutuhan listrik rakyat melaui beberapa tahoan. Pertama, membangun infrastruktur di wilayah yang terpelosok dan terpencil. Kedua, membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai. Ketiga, mengelola bahan bakar secara mandiri. Keempat, mendistribusikan pasokan listrik dengan harga yang murah kepada rakyat. Kelima, mengambil keuntungan dari pengelolaan sumber energi listrik kemudian dikelola untuk memenuhi kebutuhan rakyat seperti halnya pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, dan papan. Dengan pengelolaan listrik yang disandarkan pada syari'at Islam, maka pemenuhan akan layanan listrik bagi seluruh rakyat akan mudah terpenuhi.

Wallahu A'lam Bishshowab


Share this article via

34 Shares

0 Comment