| 63 Views
Ketar-ketir Narasi Menyesatkan PPn 12%

Oleh : Ariefdhianty Vibie
Pegiat Literasi Islam, Bandung
Meskipun klaim resmi pemerintah mengenai kenaikan PPN 12% hanya terhadap barang mewah saja, namun fakta di lapangan, kenaikan ini justru tetap berimbas pada banyak barang dan jasa secara umum. Ini juga terjadi lantaran informasi simpang siur, sehingga berimbas pada ekspektasi inflasi dan dampak psikologis para pelaku usaha sebelum kenaikan pajak berlaku. Akibatnya, sebelum diumumkan secara resmi, banyak pelaku usaha yang sudah lebih dulu mengantisipasi kenaikan PPN dengan menaikkan harga barang dan jasa.
Diketahui, Presiden Prabowo menghendaki agar tarif PPN yang berlaku untuk barang/jasa non mewah adalah 11%, bukan 12%. Namun, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru yang dikeluarkan Kemenkeu memilih mengatur bahwa tarif dasar PPN yang berlaku adalah 12%. Meskipun, pada akhirnya, Prabowo dengan jelas menyatakan pada tanggal 31 Desember 2024 bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah.
“Memang ada faktor pengali atau DPP [Dasar Pengenaan Pajak] nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual sehingga hasil akhir nilai PPN yang dipungut [untuk barang non mewah] tetap 11%, alias PPN tidak mengalami kenaikan tarif. Tetapi, peraturan ini menimbulkan keresahan di masyarakat. Beberapa perusahaan retail terlanjur memungut PPN 12%,” kata Misbakhun, Ketua Komisi XI DPR (bisnis[dot]com, 06/01/2025)
Negara-negara yang menganut sistem kapitalisme sebagai landasan ekonominya, menerapkan kebijakan pajak sebagai sumber penerimaan negara. Pajak sebenarnya merupakan kontribusi wajib dari masyarakat kepada negara yang kemudian akan digunakan untuk kepentingan umum. Selain itu, pajak juga menjadi alat untuk mendistribusikan kekayaan. Pajak juga dianggap sebagai alat untuk mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas ekonomi. Namun sebenarnya, penerapan pajak yang fleksibel dinilai sangat sulit karena membutuhkan kebijakan politik yang rumit terkait dengan perubahannya. Akibatnya, masyarakat kesulitan untuk memahaminya karena seringkali aturan pajak dianggap begitu kompleks. Terlebih ketika pajak tidak digunakan sebagaimana mestinya, yakni untuk kepentingan umum dan malah dikorupsi oleh pejabat, masyarakat semakin enggan membayar wajib pajaknya. Tentunya ini merupakan hal problematik yang terjadi di dalam negara kapitalisme manapun.
PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sendiri merupakan salah satu jenis wajib pajak yang dianggap bebannya merata kepada semua kalangan. Baik masyarakat kelas kaya maupun miskin terkena beban ini. Begitu juga dengan semua jenis usia, pekerjaan, dan status masyarakat, tidak dilihat apakah anak kecil, dewasa, ataupun orang tua renta juga terkena wajib PPN ketika membeli barang atau jasa tertentu.
Di saat daya beli melemah, ketidakpastian ekonomi, serta tingginya harga kebutuhan pokok, kebijakan kenaikan pajak ini justru semakin mencekik masyarakat. Bukannya semakin meringankan beban hidup, pemerintah malah menambah penderitaan.
Tentu masyarakat ketar-ketir merespon kenaikan tarif pajak yang berlaku tahun 2025 ini. Pasalnya, di tengah kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, justru pemerintah seperti melempar tangga kepada masyarakat yang sedang terjatuh, seperti ungkapan peribahasa Indonesia, “sudah jatuh tertimpa tangga”. Beban masyarakat pun bertambah berkali-kali lipat. Sebagai konsumen tertinggi, kelas menengah terus terbebani iuran-iuran dari pemerintah. Walhasil daya beli pun semakin menurun. Banyak para pengamat berpendapat kelas masyarakat menengah akan berkurang dan berubah menjadi kelas miskin.
Padahal klaimnya, kenaikan pajak tersebut jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan adalah bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, menjaga inflasi rendah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Lantas, mungkinkah kenaikan pajak ini bisa membawa kemajuan sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam landasan hukumnya?
Tidak ada kemungkinan bagi negara ini untuk maju selama masih berpegang teguh pada sistem demokrasi kapitalisme. Jurang antara si kaya dan si miskin justru semakin jauh dan melebar. Masyarakat tidak bisa berharap pada rezim sekarang yang jelas-jelas menyatakan mendukung keberlanjutan dari rezim sebelumnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya masyarakat sadar bahwa sistem demokrasi kapitalisme hanya akan membawa kesengsaraan dan nestapa saja. Tidak cukup sekedar mengganti pemimpin, melainkan mengganti sistem pada sistem shahih yang diturunkan oleh Allah SWT, yaitu Sistem Islam Kaffah.
Dalam Islam, pajak memang bisa diambil dari masyarakat. Hanya saja perbedaannya begitu mencolok dari sistem kapitalisme. Dalam Islam, pajak hanya bisa diambil jika kas Baitul Mal, sebagai lembaga keuangan negara, benar-benar kosong, sehingga negara tidak mampu membiayai kebutuhan masyarakat. Begitu juga ketika negara berada dalam keadaan darurat, itu pun diambil dari orang yang mampu saja dan tidak dari masyarakat keseluruhan. Karena pada landasan syariatnya, hukum mengambil pajak dari masyarakat adalah haram. Sehingga ketika negara mengambil pajak selain dari kondisi tersebut, maka hal itu adalah bentuk kezaliman.
Islam juga sudah menetapkan 12 pos pendapatan negara, yaitu pendapatan dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; jizyah (pungutan dari non muslim yang tinggal di negara Islam); harta milik umum; harta milik negara; ‘usyur (harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri); harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara atau harta hasil kerja yang tidak diizinkan syarak; khumus barang temuan dan barang tambang; harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris; harta orang-orang murtad; dharibah; dan harta zakat (Abdul Qadim Zallum (2003), Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah).
Oleh karena itu, pajak bukanlah sumber pendapatan utama negara. Apalagi hasil pemerasan terhadap masyarakat yang sudah terhimpit kehidupannya. Jelas, Allah menentang orang-orang yang zalim dan berbuat kerusakan. Sudah saatnya masyarakat memperjuangkan sistem Islam yang datang dari Allah SWT. Selain sudah terbukti menjadi adidaya selama 13 abad menaungi masyarakat dengan kesejahteraan, ini juga sebagai bentuk ketaatan muslim kepada Rabbnya sebagai konsekuensi keimanan. Dengan begitu, Islam sebagai rahmatan lil ’alamiin akan terwujud segera.
Wallahu’alam bishowab.