| 193 Views

Kenaikan PPN, Beban Atau Solusi Bagi Rakyat?

Oleh  : Umi Fahri

Pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, di tahun 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan program-program sosial. Peraturan ini seolah terdengar positif, akan tetapi justru  menambah beban rakyat. Bagaimana tidak, kebijakan ini sangat berpotensi terhadap beban perekonomian masyarakat, terutama bagi kelas menengah ke bawah.

Akankah kebijakan tersebut sebagai solusi, atau malah menjadi beban? Kenaikan PPN tentu akan mempengaruhi harga barang jasa, dan akan meningkatkan biaya hidup masyarakat. PPN adalah jenis pajak yang dikenakan kepada semua rakyat, tanpa membedakan tingkat penghasilan, sehingga beban yang ditanggung akan semakin berat apalagi bagi mereka yang berpenghasilan rendah, sehingga semua ini akan semakin memperburuk keadaan.

Dampak lain dari kebijakan ini adalah, semakin meningkatnya ketimpangan sosial di negeri ini. Dengan naiknya tarif PPN, tentu berpengaruh bagi kelas menengah ke bawah yang tertekan oleh inflasi, serta tingginya harga barang yang mempersulit mereka untuk bertahan.

Dalam laporan Bank Dunia disebutkan bahwa, pajak yang diterapkan tanpa mempertimbangkan ketidaksetaraan pendapatan dapat memperburuk kesenjangan ekonomi, dan juga menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan seperti ini akan berisiko semakin memperburuk ketimpangan antara yang kaya dan si miskin. Mungkin bagi mereka yang berpenghasilan tinggi tidak begitu berpengaruh, namun masyarakat dengan penghasilan rendah sangat terdampak signifikan atas kebijakan ini.

Inilah negara yang berlandaskan sistem kapitalis, di mana rakyatnya harus menghadapi berbagai aturan termasuk kenaikan pajak. Dalam sistem ini, pajak merupakan salah satu cara pemerintah untuk mengatur distribusi kekayaan, selain sebagai sumber penerimaan negara. Tarif Pajak yang lebih tinggi akan diterapkan pada individu dengan pendapatan tinggi, begitupun sebaliknya. Pajak juga dianggap sebagai alat untuk menjaga stabilitas ekonomi, dan mengontrol inflasi.

Kemudian sistem kapitalisme memberlakukan pajak dikenakan atas semua barang, transaksi dan juga jasa. Kebijakan seperti ini merupakan bentuk kekerasan dan penguasaan atas hak harta orang lain.

Semua itu sungguh sangat berbeda dengan penerapan sistem Islam di tengah-tengah masyarakat. Di dalam Islam, hukum asal menarik pajak dari rakyat adalah haram. Di bawah kepemimpinan Islam, penarikan pajak dilakukan apabila ada kondisi tertentu yang mengharuskan negara untuk mengenakan pajak pada rakyatnya. Sebagai contoh, jika keadaan harta di baitul mal tidak mencukupi kebutuhan masyarakat, atau karena negara tidak memiliki cukup dana untuk mengatur urusan umat, maka hal ini bisa terjadi penarikan pajak yang akan diberlakukan kepada pihak-pihak yang mampu dan berkecukupan.

Kas negara bisa bersumber dari zakat, yang dipungut pada saat momen terbaik dan bisa dibayarkan dalam bentuk apapun. Batasan waktu kepemilikan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya selama satu tahun, serta batasan minimal harta yang wajib dikenakan zakat itulah yang dimaksud dengan momen terbaik pemungutan ketika sudah sampai haul dan mencapai nisabnya.

Keunggulan sistem Islam ini, terbukti selama 13 abad lebih mampu membangun produktivitas, perekonomian, dan juga memberikan sumber pemasukan negara yang besar, meskipun tanpa tergantung pada pungutan pajak.

Dalam sistem Islam, pajak bukan sumber utama pendapatan negara. Akan tetapi, merupakan situasi darurat saja. Sementara kas negara bersumber dari, zakat, koroj, usyr, ghonimah, Fa'i, jiziyah, juga sumber daya alam yang dimiliki negara, semua dikelola oleh negara demi kepentingan rakyatnya.

Wallahu a'lam bishawab


Share this article via

53 Shares

0 Comment