| 25 Views

Kemiskinan: Realitas atau Standar Buatan?

Oleh : Panca Andini

Bank Dunia, dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, menetapkan bahwa penduduk Indonesia dengan pengeluaran kurang dari USD 6,85 atau sekitar Rp113.777 per hari tergolong miskin di negara berpendapatan menengah atas. Berdasarkan standar ini, sekitar 60 persen penduduk Indonesia, setara dengan 171,9 juta jiwa, masih tergolong miskin, meskipun angka ini menunjukkan penurunan dari 61,8 persen pada tahun 2023. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan per September 2024 hanya 24,06 juta orang atau 8,57 persen, jauh di bawah proyeksi Bank Dunia, karena perbedaan standar pengukuran. (liputan6.com/30/5/2025)

Miskin, Versi Siapa?

Perbedaan standar kemiskinan nasional dan global sering kali menciptakan kesenjangan dalam memahami realitas kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, seseorang bisa saja dianggap tidak miskin karena pendapatannya melewati ambang batas nasional, namun jika dibandingkan dengan standar Bank Dunia—seperti penghasilan di bawah USD 2,15 per hari—ia justru tergolong miskin ekstrem.
Perbedaan ini muncul karena ukuran kemiskinan nasional sering kali tidak mempertimbangkan biaya hidup yang sesungguhnya atau kebutuhan dasar secara menyeluruh. Akibatnya, banyak warga yang secara data terlihat "tidak miskin", padahal realitas hidupnya masih serba kekurangan. Oleh karena itu, sangat penting memiliki data yang akurat, menyeluruh, dan mencerminkan kondisi nyata di lapangan agar kebijakan pengentasan kemiskinan benar-benar tepat sasaran dan tidak semu.

Ketimpangan tajam antara standar kemiskinan nasional dan global sejatinya merupakan konsekuensi dari diberlakukannya sistem kapitalisme dalam mengatur ekonomi dan kehidupan sosial. Dalam sistem ini, ukuran kemiskinan bukan didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat, melainkan disesuaikan sedemikian rupa agar terlihat berhasil secara statistik.

Dengan menetapkan standar kemiskinan yang sangat rendah, negara bisa dengan mudah mengklaim penurunan angka kemiskinan, padahal kenyataannya jutaan rakyat masih hidup dalam kesulitan ekonomi yang nyata. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi bentuk manipulasi yang disengaja untuk menarik investor asing dan menjaga citra stabilitas ekonomi. Kapitalisme menjadikan data sebagai alat propaganda, bukan cermin kejujuran. Faktanya, sistem ini telah gagal menyejahterakan rakyat, karena lebih berpihak pada korporasi dan pemilik modal daripada pada kehidupan rakyat banyak.

Bagaimana Islam Mengukur Angka Kemiskinan

Berbeda dengan sistem kapitalis yang mengukur kemiskinan berdasarkan angka dan nominal tertentu, Islam menetapkan standar kemiskinan berdasarkan terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pokok individu, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Ukuran ini bersifat nyata dan mencerminkan kondisi hidup sesungguhnya. Seseorang baru dikatakan sejahtera apabila seluruh kebutuhan dasarnya benar-benar terpenuhi secara layak.
Rasulullah saw. bersabda:

"Barang siapa di antara kalian berada dalam keadaan aman di tempat tinggalnya, sehat badannya, dan memiliki makanan pokok untuk hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia telah dikumpulkan untuknya." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah) 

Islam tidak sekadar menghitung angka rata-rata, tetapi menerapkan sistem yang memastikan tiap individu terpenuhi hak dasarnya. Salah satu caranya adalah dengan mekanisme pengawasan langsung oleh pemimpin (khalifah) atau pejabatnya, yang turun langsung menyisir rumah-rumah rakyat untuk mengecek kondisi mereka secara menyeluruh.

Bukan Sekadar Gimmick

Upaya mengatasi kemiskinan dalam sistem Khilafah adalah bentuk tanggung jawab sejati dari seorang pemimpin, bukan sekadar aksi panggung demi membangun citra demi mengejar penghargaan atau mempertahankan jabatan semata.

Rasulullah ﷺ bersabda:

Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Islam menetapkan standar makruf dalam pemenuhan kebutuhan hidup, yaitu ukuran kelayakan berdasarkan kondisi umum masyarakat. Artinya, sebuah kebutuhan dianggap terpenuhi bila telah mencapai batas kewajaran yang berlaku di tengah masyarakat.

Sebagai contoh, dalam hal pangan, Islam tidak hanya mengharuskan rakyat makan sekadar mengenyangkan perut, tetapi juga memastikan kualitas gizi dan kelayakan makanan yang dikonsumsi, agar benar-benar bermanfaat bagi kesehatan.

Contohnya bisa kita lihat dari sosok Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang rutin melakukan patroli, bahkan hingga larut malam, untuk memastikan rakyatnya tidur dalam keadaan kenyang dan aman. Ketika beliau mendapati ada seorang ibu yang hanya merebus batu untuk menghibur anak-anaknya yang kelaparan, Umar sendiri yang membawa sekarung gandum dan memasaknya, sebagai bentuk tanggung jawab langsung negara atas warganya.

Inilah bukti bahwa sistem Islam memperhatikan pemenuhan kebutuhan secara individual, bukan berdasarkan rata-rata statistik seperti dalam sistem kapitalis. Karena seorang khalifah memiliki tanggung jawab langsung terhadap rakyatnya secara personal, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap individu di akhirat kelak.

Konsep tanggung jawab semacam ini hanya dimiliki oleh Islam, karena berakar dari akidah Islam yang menanamkan idrak silah billah, yaitu kesadaran spiritual tentang hubungan dengan Allah SWT, yang menjadikan seorang pemimpin selalu merasa diawasi dalam mengurus rakyat.

Maka hanya sistem Islam yang memiliki solusi tuntas untuk mengatasi kemiskinan, sebab sejak awal pendataannya dilakukan secara valid. Berbeda dengan sistem selain Islam yang terbukti gagal menghasilkan data kemiskinan yang benar-benar mencerminkan realitas.

Wallahu a’lam.


Share this article via

8 Shares

0 Comment