| 37 Views
Kemiskinan dalam Bayang-Bayang Angka: Antara Manipulasi Kapitalisme dan Solusi Islam

Oleh : Zahrah
Aktivis Dakwah Kampus
Di tengah gegap gempita klaim pemerintah tentang penurunan angka kemiskinan, realitas kehidupan rakyat justru memperlihatkan kenyataan yang jauh berbeda. Di berbagai pelosok negeri, masih banyak warga yang hidup dengan penghasilan sangat rendah, tak mampu memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, namun secara resmi tidak tercatat sebagai “miskin”. Ini bukan hanya sekadar kekeliruan data, melainkan bagian dari ironi besar dalam sistem kapitalisme, di mana angka sering kali lebih penting daripada nasib manusia.
Perbedaan cara pandang terhadap kemiskinan ini menjadi semakin jelas ketika membandingkan standar nasional dan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan garis kemiskinan nasional sekitar Rp18.000 per hari per individu. Di sisi lain, Bank Dunia menggunakan batas ekstrem sebesar USD 2,15 per hari, atau sekitar Rp11.377 berdasarkan metode PPP (Purchasing Power Parity). Namun, yang lebih mencolok adalah rilis terbaru Bank Dunia yang menyebutkan bahwa seseorang yang hanya mampu membelanjakan sekitar Rp113.777 per hari sudah tergolong miskin secara global. Artinya, penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori miskin atau rentan miskin berdasarkan ukuran ini mencapai sekitar 60 persen dari total populasi (Liputan6.com, 21 April 2023).
Kepala BPS mengakui adanya perbedaan pendekatan dalam menentukan standar kemiskinan. Ia menjelaskan bahwa indikator yang digunakan lembaga internasional lebih ditujukan untuk perbandingan lintas negara, sementara indikator nasional disesuaikan dengan kondisi lokal dan untuk kepentingan kebijakan domestik. Namun pendekatan sempit inilah yang justru berisiko menyembunyikan kemiskinan struktural yang nyata dirasakan rakyat (DetikFinance, 28 Februari 2023).
Dalam kondisi seperti ini, angka kemiskinan yang rendah bukanlah tanda keberhasilan, karena pada realitasnya angka kemiskinan di negeri ini masih tinggi. Berkurangnya angka kemiskinan berdasarkan data BPS dibandingkan Bank Dunia menunjukkan bahwa kesejahteraan rakyat terus meningkat? Benarkah kesejahteraan masyarakat terus meningkat? Faktanya yang terjadi di lapangan, masih banyak masyarakat terjerat dalam kemiskinan bahkan kemiskinan ekstrim. Tingginya angka pengguran, PHK di berbagai perusahaan termasuk sturtup, stunting dan masih banyak masalah lainnya.
Dilansir (Bisnis Kalimantan, 15/05/2025) BPS masih menggunakan metode lama untuk menghitung angka kemiskinan yang dinilai oleh Pengamat Ekonomi Purwadi bahwa data BPS perlu ditelaah ulang. Ia juga menegaskan bahwa metodologi BPS yang masih menggunakan pendekatan Cost Of Basic Needs hanya menyesuaikan batas kemiskinan atas dasar inflasi tidak memperhatikan kebutuhan pokok masyarakat yang terus melonjak drastis setiap tahunnya telah gagal mencerminkan kebutuhan hidup layak di Indonesia modern
Senada, akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman Ellen D. Oktanti Irianto mengungkapkan garis kemiskinan BPS justru gagal menangkap realitas ekonomi lokal yang kian mahal. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan adanya kepentingan politis dan ekonomi di balik data, terutama untuk menjaga kepercayaan investor serta mempertahankan citra stabilitas makroekonomi.
Kondisi ini mencerminkan bagaimana sistem kapitalisme bekerja. Negara tidak lagi berfungsi sebagai pelindung dan pelayan rakyat, melainkan menjadi fasilitator kepentingan pasar dan modal asing. Dalam sistem ini, rakyat miskin diposisikan sebagai angka statistik yang perlu dikendalikan agar tidak merusak grafik pertumbuhan ekonomi.
Kapitalisme juga mendorong logika bahwa keberhasilan hidup ditentukan oleh kemampuan membeli. Dalam sistem ini, negara hanya menjadi penjaga arus kepemilikan, sementara akses terhadap kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan bergantung pada kemampuan individu. Dan ketika kemiskinan terjadi, itu dianggap sebagai akibat dari kegagalan pribadi, bukan cacat sistem. Padahal Indonesia kaya akan SDA tapi rakyatnya terjerat kemiskinan akut. Disinilah letak absennya penguasa dalam mengelolah SDA untuk mencukupi dan memfasilitasi setiap kebutuhan rakyat. Nasib rakyat ditentukan dari bayang-bayang angka dan data, bukan pada kondisi riil kehidupan masyarakat. Untuk itu butuh solusi fundamental guna mengentaskan kemiskinan mulai dari perkotaan hingga ke pelosok negeri.
Islam hadir dengan paradigma yang berbeda secara mendasar. Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi sistem kehidupan yang mengatur semua aspek, termasuk ekonomi dan distribusi kekayaan. Dalam Islam, negara memiliki kewajiban langsung untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warga negara. Sabda Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa pemimpin adalah pengurus rakyat dan bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka.
Negara dalam sistem Islam (khilafah) tidak hanya mencatat data kemiskinan, tetapi menghapuskan akar-akar kemiskinan itu sendiri. Islam memastikan bahwa kebutuhan pokok setiap individu—pangan, sandang, papan—terpenuhi tanpa syarat daya beli. Layanan pendidikan dan kesehatan diberikan secara gratis karena merupakan hak dasar, bukan barang dagangan. Kekayaan alam dikelola negara demi kemaslahatan umum, bukan diserahkan kepada swasta atau asing. Sistem zakat, larangan riba, dan pengaturan kepemilikan diterapkan untuk mencegah penumpukan harta di segelintir tangan.Dengan tata kelolah SDA berdasarkan islam, negara juga akan mampu menyediakan lapangan pekerjaan terutama kepada laki-laki sebagai pencari nafkah.
Dalam Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu adalah tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, Islam tidak hanya menawarkan solusi teknis, tetapi solusi ideologis yang menyentuh akar permasalahan. Bukan tambal sulam kebijakan, melainkan penataan total atas sistem ekonomi dan peran negara. Kemiskinan dalam pandangan Islam bukanlah beban statistik, tetapi aib sosial yang harus segera diberantas dengan keberpihakan nyata kepada rakyat.
Sudah saatnya umat menyadari bahwa kemiskinan bukan takdir, melainkan buah dari sistem yang salah urus. Selama kita masih berada di bawah sistem kapitalisme, rakyat akan terus menjadi korban manipulasi angka dan kebijakan yang tidak memihak. Solusi sejati bukanlah menaikkan garis kemiskinan atau menambah bantuan sosial semu, tapi mengganti sistem itu sendiri. Islam, dengan seluruh konsepnya yang kaffah, telah terbukti mampu mengangkat martabat manusia dan menghapuskan kemiskinan dari akarnya.