| 60 Views
Kekerasan Seksual Mengancam Masa Depan Anak

Oleh : Dian Yuliana, S.Kep., Ners
Akhir-akhir ini, publik dikejutkan oleh maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Garut. Rentetan peristiwa memilukan itu bukan hanya menggambarkan krisis perlindungan anak, tetapi juga menunjukkan bahwa ruang aman bagi anak-anak kian menyempit—bahkan di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman: keluarga.
Kasus-kasus yang mencuat ke permukaan sangat memprihatinkan. Seorang dokter kandungan dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap pasiennya (Kompas.id, 22 April 2025). Seorang anak berusia lima tahun menjadi korban perkosaan oleh ayah dan pamannya (Tempo.co, 11 April 2025). Bahkan, dalam kasus lain yang lebih mencengangkan, seorang anak diperkosa secara bergantian oleh ayah kandung, paman, dan kakeknya. Di tempat lain, seorang kakek dilaporkan mencabuli bocah berusia enam tahun (10 April 2025). Ini hanyalah sebagian kecil dari fakta memilukan yang terus bermunculan.
Kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja, tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau latar belakang sosial. Yang lebih menyedihkan, data dari LPSK menunjukkan bahwa 70% pelaku kekerasan seksual adalah orang yang dikenal oleh korban: ayah, paman, kakek, guru, bahkan aparat negara.
Mengapa kekerasan seksual pada anak, terutama yang dilakukan oleh keluarga dekat, terus terjadi? Tentu jawabannya kompleks. Faktor internal seperti keluarga disfungsional, kurangnya pengawasan orang tua, lemahnya kontrol diri pelaku, dan trauma masa lalu turut menyumbang. Di sisi lain, lingkungan sosial yang permisif, minimnya laporan korban, serta penyalahgunaan teknologi dan zat terlarang turut memperburuk keadaan.
Data dari KemenPPPA mencatat, hingga April 2025 saja, terdapat 5.949 kasus kekerasan terhadap perempuan—naik lebih dari 50% dibandingkan tahun 2023. Dan angka ini diyakini hanyalah puncak gunung es. Banyak kasus yang tidak dilaporkan karena ketakutan, tekanan sosial, atau bahkan normalisasi kekerasan dalam masyarakat.
Padahal, Indonesia sudah memiliki perangkat hukum seperti UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengatur tentang pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban. Namun, hukum saja tidak cukup jika akar permasalahan tidak disentuh. Persoalan ini tidak hanya berhenti pada lemahnya penegakan hukum, tetapi juga menyangkut ideologi dan sistem yang dianut oleh negara.
Dalam sistem sekuler-kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan, nilai-nilai moral dan spiritual kerap dikesampingkan. Pendidikan sekuler gagal membentuk pribadi yang berkarakter dan bertakwa. Keluarga tidak lagi memiliki fondasi keimanan yang kokoh untuk melindungi anggota keluarganya. Masyarakat pun kehilangan daya kritis dan sensitivitas sosial terhadap kekerasan seksual yang mulai dianggap sebagai hal biasa.
Ustadz Ismail Yusanto, salah satu cendekiawan Muslim, pernah menyampaikan bahwa ada beberapa faktor utama yang memicu kekerasan seksual: mudahnya akses terhadap konten merangsang, budaya permisif terhadap penyimpangan seksual, lemahnya sistem hukum, serta rendahnya ketakwaan individu.
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki solusi yang komprehensif untuk mencegah kekerasan seksual. Dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 9, Allah mengingatkan agar manusia tidak meninggalkan generasi yang lemah. Ini bukan hanya peringatan tentang fisik, tetapi juga mental, moral, dan spiritual. Islam mewajibkan keluarga, masyarakat, dan negara untuk bekerja sama menjaga ketahanan moral anak-anak dan generasi penerus.
Masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang dibangun atas dasar nilai-nilai Islam—masyarakat yang memiliki kesadaran kolektif untuk amar makruf nahi munkar, sebagaimana dianalogikan dalam hadis Nabi tentang perahu yang bocor: jika satu bagian dibiarkan rusak, maka semua akan tenggelam.
Pada akhirnya, negara juga memiliki peran sentral. Negara yang bertakwa adalah negara yang menjadikan syariat sebagai pedoman hidup secara menyeluruh (kaffah). Sistem yang berbasis pada nilai-nilai ilahiyah inilah yang mampu menghadirkan keadilan, perlindungan, dan pencegahan terhadap segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual terhadap anak.
Kini saatnya kita tidak hanya mengecam dan berduka, tetapi mendorong perubahan sistemik yang berakar pada nilai-nilai agama dan moral. Masa depan anak-anak kita terlalu berharga untuk terus dibiarkan terancam.
Wallahu'alam