| 156 Views
Kedatangan Paus ke Indonesia, Agenda Moderasi Beragama

Oleh: Ihsaniah Fauzi Mardhatillah
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia 3-6 September 2024 lalu, cukup menarik perhatian masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Kedatangannya ke Indonesia ini yang ketiga setelah sebelumnya Indonesia pernah dikunjungi Paus Paulus VI dan Paus Yohane Paulus II, masing-masing pada tahun 1970 dan 1989 di negeri ini karena menegaskan pesan toleransi antar umat beragama, persatuan, dan perdamaian dunia (kemlu.go.id/09/09/24).
Ternyata, Indonesia, negara pertama yang dikunjungi Paus dalam rangkaian tur Asia Oceania. Selanjutnya ke Papua Nugini, Timor Leste dan Singapura. Indonesia menjadi daya tarik tersendiri karena kentalnya jargon Bhinneka Tunggal Ika, yang menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme. Paham yang mengakui dan menerima adanya keberagaman dalam suatu masyarakat.
Namun, kehadiran Paus Fransiskus di Indonesia menuai pro dan kontra di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Kehadiran pemimpin gereja Katolik dunia itu bukan tanpa alasan, melainkan ada misi besar yang dibawa secara tidak langsung akan merusak akidah umat Islam dan mengajarkan toleransi ala moderasi dalam sistem sekuler yang kebablasan.
Dalam berbagai pertemuan dengan pemimpin negara dan tokoh-tokoh agama, termasuk Perayaan di Istana Negara dan dialog dengan imam Masjid Istiqlal, Paus Fransiskus menyampaikan pesan-pesan tentang perdamaian, toleransi, dan persatuan antarumat beragama. Namun, di balik pesan-pesan tersebut, ada dimensi politik lebih dalam yang harus diwaspadai, terutama oleh umat Islam.
Paus dan Agenda Moderasi Beragama
Mengutip ucapan Paus di berbagai media arus utama dalam pidatonya di depan Presiden negeri ini, Paus menyatakan politik bukan lagi tentang perang, melainkan tentang kasih sayang. Ia juga menegaskan bahwa kekayaan terbesar Indonesia bukanlah emas atau sumber daya alam lainnya, melainkan keberagaman budaya dan harmonisasi antaragama.
Pernyataan-pernyataan ini tampak sejalan dengan upaya global untuk mempromosikan moderasi beragama sebagai agenda global, yang kemudian didukung oleh pemimpin negeri ini. Ironinya, berbagai pernyataan Paus ini mendapat sambutan hangat dari kalangan Muslim, baik dari pemimpin agama hingga masyarakat luas. Misalnya, antusiasme yang luar biasa terhadap buku yang disusun oleh 33 tokoh Muslim sebagai bentuk beragam untuk Paus, serta respons positif terhadap ide-ide yang hakikatnya berbahaya bagi akidah Islam.
Kasus lain, ketika usulan agar adzan dikumandangkan hanya melalui running text di media elektronik yang malah dianggap wajar oleh sebagian tokoh Islam negeri ini. Respons-respons semacam ini menunjukkan bagaimana agenda moderasi beragama secara halus mulai meresap ke dalam tubuh umat Islam.
Sedih sekaligus marah rasanya melihat sikap tokoh umat Islam menyambut kedatangan pemimpin gereja Katolik dunia, Paus Fransiskus, dengan istimewa. Tampak dalam video yang beredar, Paus mencium tangan imam besar Masjid Istiqlal dan keduanya sangat mesra dan bahagia. Tidak hanya itu, dalam perayaannya tampak juga kedua kitab disandingkan dalam satu waktu dan tempat. Namun, di balik perdamaian pesan yang disuarakan, umat wajib mewaspadai agenda tersembunyi (agenda tersembunyi) yang bersifat strategis secara politis, tadlil siyasi yaitu kemungkinan adanya upaya untuk mempengaruhi opini politik umat dengan membungkusnya dalam retorika toleransi dan moderasi.
Dalam konteks politik global, konsep moderasi beragama yang dipromosikan oleh Paus dan didukung oleh pemerintah sekuler bisa menjadi alat untuk memuluskan agenda-agenda politik yang sejatinya dapat menggerus nilai-nilai fundamental Islam. Dalam sistem kehidupan yang sekuler saat ini sangat wajar terjadi, atas nama toleransi orang kafir dihormati, disanjung-sanjung bahkan diberi panggung dan bermesraan dengan mereka. Sementara sesama muslim yang menyampaikan amar makruf nahi mungkar diberi label radikal, teroris, tempat kajian dibubarkan, para ustadz dikriminalisasi bahkan dilabeli dengan penganut Islam garis keras.
Padahal jelas hubungan umat Islam dengan orang kafir tidak boleh dalam rangka menjunjung tinggi dan mengagungkan mereka dan menjadikan mereka sahabat setia. Seharusnya kita wajib waspada atas kunjungan tersebut. Karena dengan kunjungan ini semakin terlihat bahwa target politik oleh pemimpin sekuler saat ini adalah untuk memenangkan program moderasi umat yang sejatinya menggerus akidah umat.
Umat tidak menyadari yang dilakukan orang-orang kafir saat ini untuk membelokkan akidah dengan sangat halus. Bukan menjadikan umat Islam murtad, tapi akan disusupi oleh ide atau pemahaman Barat ke dalam jantung kehidupan umat Islam. Hal yang demikian memang tidak bisa dilihat dengan kasat mata, tapi sangat berpengaruh pada cara pandang umat terhadap Islam. Salah satunya yang terlihat jelas hari ini adalah umat Islam yang menolak kehidupannya diatur dengan syariat Islam.
Dalam sistem sekuler saat ini bisa jadi sebagian ulama tidak bisa mengatakan sesuatu yang benar itu benar dan yang batil adalah batil. Hal itu terjadi karena atas nama kepentingan dan demi mempertahankan kedudukan. Kepentingan mengalihkan tujuan amar makruf nahi mungkar. Padahal jelas Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” (QS al-Baqarah: 42).
Umat Islam harus kritis dan punya sikap yang benar sesuai tutunan syariat akan bahaya toleransi dan moderasi beragama yang dibawa Paus dan diberi jalan oleh rezim sekuler. Islam telah mengajarkan kita makna toleransi yang sebenarnya. Islam menjawab batasan toleransi dalam agama. Bahwa toleransi bukanlah partisipasi dalam perayaan agama lain. Ketika kaum kafir Quraisy mengajak Nabi Muhammad SAW untuk menyembah berhala-berhala mereka selama satu tahun. Sebagai balasannya, mereka berjanji akan menyembah Allah SWT selama satu tahun. Kemudian turunlah surat Al-kafirun ayat 1-6 untuk menjawab permintaan kaum Kafir Quraisy.
Allah SWT berfirman juga mempertegas dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 19, yang artinya, “Sebenarnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” Begitu juga, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk ke dalam kelompok mereka” (HR Abu Dawud).
Belajar dari sosok sahabat Rasulullah SAW yang mampu memberikan teladan dalam kepemimpinannya. Umar bin Khattab sebagai pemimpin negara saat tiba waktu shalat sesampainya di Yerusalem merupakan salah satu contoh penting dari sikap toleransi yang dia tunjukkan terhadap umat beragama lain. Ketika itu Umar memasuki Yerusalem pada tahun 637 M, setelah kota tersebut menyerah secara damai kepada kaum Muslimin dan secara simbolik diserahkan dari Patriark Sophronius, pemimpin Kristen di Yerusalem kepada Umar bin Khattab.
Dikisahkan Umar bin Khattab yang sedang berada di Gereja Makam Kudus, waktu shalat pun tiba. Gereja ini adalah salah satu tempat paling suci bagi umat Kristiani karena diyakini sebagai tempat penyaliban dan kebangkitan Yesus. Patriark Sophronius pemimpin Kristen di Yerusalem menawarkan Umar untuk melaksanakan shalat di dalam gereja. Namun, Umar dengan bijak menolak tawaran tersebut. Beliau khawatir jika ia melaksanakan shalat di dalam gereja, kaum Muslim di kemudian hari mungkin akan menganggap tempat tersebut sebagai masjid dan merebutnya dari umat Kristiani. Beliau kemudian keluar dari gereja dan shalat di luar, di tempat terbuka.
Sikap yang ditunjukkan oleh Umar bin Khattab ini merupakan contoh nyata dari toleransi dalam beragama dan menghormati tempat-tempat ibadah agama lain. Keputusannya mencerminkan pemahaman mendalam tentang pentingnya menjaga kerukunan antarumat beragama dan menghormati tempat-tempat ibadah yang sakral bagi agama lain.
Sebagai seorang pemimpin besar Islam, Umar bin Khattab memberikan contoh kongkret dalam menegakkan prinsip-prinsip toleransi, keadilan, dan penghormatan terhadap keyakinan agama lain, bahkan di masa pembebasan wilayah lain. Dan ketika negara berpihak pada mafhum sekuler (pemisahan aturan Pencipta dari tata kelola negara), maka setiap aturan yang dihasilkan tidak akan menjamin terjaganya akidah setiap umat Muslim. Terbukti berbagai kebijakan yang dibuat oleh negara saat ini semakin menjauhkan umat Islam dari aturan Allah SWT.
Azan yang merupakan bagian dari syiar-syiar Allah yang wajib untuk ditampakkan di muka publik, malah ditiadakan demi menghormati pelaksanaan misa umat Katolik. Ini gambaran toleransi yang kebablasan dan salah di mata Allah SWT. Namun, di alam sekuler, hal ini seolah wajar karena regulasi yang ada tidak bergantung pada Sang Pencipta dan Pengatur, yakni Allah SWT. Apalagi negara terus menerus mengaruskan mafhum yang salah ini atas nama moderasi beragama. Kemasan yang menipu akidah umat Muslim.
Ini masih perkara akidah saja. Masih banyak hal lain yang tidak berjalan sesuai aturan Allah SWT. Dalam perkara ekonomi masih menggunakan riba sebagai pondasinya, sistem pendidikan berlandaskan pada kultus sekuler, sistem politik yang berlaku adalah sistem politik uang, sistem sanksi masih menggunakan warisan kolonial Belanda. Inilah potret pemerintahan sekuler di negeri ini.
Umat Muslim perlu dikembalikan pada habitat asalnya, yakni sistem Islam, sistem yang menjadi warisan Rasulullah SAW kepada umatnya. Sistem Islam akan menerapkan konsep maqashid asy-syari'ah yang meliputi 5 tujuan, yakni menjaga akidah, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta.
Dalam menjaga akidah negara wajib menerapkan setiap kebijakan sesuai aturan Islam, agar ketaatan kepada Allah terus tertanam untuk keselamatan hidup di akhirat kelak. Kemudian melarang setiap penyebaran pemahaman yang tidak berpijak pada pemikiran Islam. Semua arus informasi dan media berada di bawah kendali aturan Islam dan negara dikenakan sanksi bagi orang murtad (keluar dari Islam).