| 12 Views

Kebijakan Sekolah Lima Hari Dapat Mendongkrak Pariwisata Inilah Sistem Kapitalis Sekuler

Oleh : Mentari
Aktivis Dakwah

“Lawak-lawak.” Itulah ungkapan Mantan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut, Abyadi Siregar saat dimintai pendapatnya tentang kebijakan 5 hari sekolah ala Gubsu, Bobby. Menurutnya alasan yang dipakai tidak relevan dengan upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) bahkan menambahkan alasan yang terkesan dipaksakan, “program ini juga diyakini bisa meningkatkan pariwisata dan UMKM di Sumut” ungkapnya (diskominfo.sumutprov.go.id, 3/6/25). Seolah pemerintah memprediksi bahwa hari libur sabtu dan minggu akan digunakan para siswa untuk destinasi ke tempat wisata sehingga uang mereka akan berputar di kedua sektor tersebut. Ini tentu menguntungkan pemprovsu. Lalu, dimana keuntungan untuk sekolah dan pendidikan itu sendiri? Mari kita lihat persoalan pendidikan di Sumut sesungguhnya.

Di Sumut, jumlah Sekolah Swasta lebih banyak dari pada Sekolah Negeri. Dilansir dari daftarsekolah.net, di Sumut ada 10.757 sekolah negeri, sementara ada 19.420 sekolah milik swasta. Jumlah anak yang putus sekolah di Sumut mencapati 7.600 orang, ekonomi menjadi faktor tertinggi.

Maraknya geng motor sadis yang beranggotakan siswa di Sumut. Fenomena pelecehan seksual di lingkungan pendidikan di Sumut. Banyak siswa di Sumut yang terjerat kasus narkoba dan pergaulan bebas.

Membahas pendidikan tidak bisa melulu soal kurikulum belajar atau gedung fisiknya saja, tetapi yang lebih penting adalah tentang Sumber Daya Manusia yang dihasilkan. Sayangnya, dari lima masalah di atas tidak ada satupun yang tersolusi oleh kebijakan lima hari sekolah ini. Apakah dengan lima hari sekolah anak yang putus sekolah bisa sekolah kembali? Apakah dengan lima hari sekolah anak-anak bakal lebih betah di rumah sehingga mereka tidak ikut geng motor atau terjerat pergaulan tidak sehat lainnya?

Alasan lain Disdik mendukung program ini adalah agar anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama orangtua karena orangtua memiliki peran yang lebih utama dalam mendidik. Lantas, apakah dengan lima hari sekolah, anak-anak bakal lebih dekat dengan orang tuanya sementara kedua orang tuanya harus bekerja 7/7 karena ekonomi sulit? Boro-boro mengunjungi tempat wisata di hari libur, untuk kehidupan sehari-hari saja rakyat di Sumut masih sulit. Hanya kalangan orang berduit sajalah yang cocok untuk program ini, padahal persentase kesenjangan sosial di Sumut pun masih lebar. Lalu kebijakan ini sebenarnya untuk siapa?

Memang lucu, masyarakat berharap persoalan mereka dipikirkan oleh para pejabat. Lalu saat para pejabat mengeluarkan buah pikirannya, pikiran masyarakat semakin bertambah berat. Seharusnya, jika pemerintah serius ingin membenahi persoalan pendidikan di Sumut, mereka harus berangkat dari akar permasalahan. Pemerintah diharapakan memandang pendidikan sebagai kebutuhan pokok yang mesti didapatkan semua orang tanpa terkecuali. Jika ini sudah seratus persen, baru melangkah ke persoalan selanjutnya dan seterusnya. Namun, kenyataannya tidak demikian. Belum lagi selesai satu persoalan, sudah pindah ke persoalan yang lain.

Akibatnya solusinya menjadi setengah –setengah dan justru menimbulkan masalah-masalah baru, sementara masalah lama masih menumpuk, mumet!

Beginilah memang gambaran umum bagaimana pejabat dalam sistem kapitalisme-sekuler mengatasi masalah, pragmatis dan asal jadi. Sementara, di sisi lain sistem Islam mampu mengatasi persoalan pendidikan dengan solusi terbaik, karena politik pendidikan Islam membangun dari pondasi yang kokoh sehingga menghasilkan masyarakat yang unggul. 

Pertama, tujuan pendidikan untuk membentuk kepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam dan IPTEK. Kedua, kurikulumnya berbasis akidah Islam sehingga apapun mata pelajarannya tetap terhubung kepada aqidah. Ketiga, fasilitas pendidikan memadai ditanggung oleh negara. Keempat, semua biaya pendidikan gratis diambil dari baitul mal dari pos fai, kharaj dan pos kepemilikan umum. Kelima, guru dan tenaga pengajar profesional disediakan negara dan digaji besar. Keenam, suasana lingkungan pendidikan kondusif karena jauh dari pemikiran asing yang menyesatkan. Ketujuh, negara membolehkan individu membuka sekolah swasta dengan syarat yang ditentukan negara seperti tidak boleh melanggar ketentuan syariat Islam dan akan diawasi negara.

Tujuh keunggulan sistem pendidikan Islam di atas hanyalah sedikit dari keunggulan lainnya yang ada di dalam Negara Khilafah. Negara Islam ini membuat para pejabat fokus mengurusi sektornya masing-masing. Jika dia pejabat sektor pendidikan, maka dia tidak teralihkan ke sektor pariwisata. Sebab, tugas untuk memastikan keberlangsungan semua sektor dengan baik adalah tugas Kepala Negara bukan Dinas Pendidikan. Di sistem Islam, Kepala Negara sudah dimudahkan oleh Syari’at dalam mengatur mulai dari pendapatan negara hingga distribusinya. Inilah yang menjadi jawaban mengapa politik pendidikan Islam unggul sebagaimana yang tercatat dalam sejarah kegemilangan kepemimpinan Islam dahulu.

Pemerintah mungkin bemaksud baik untuk meringankan beban siswa dan guru sehingga ada waktu tambahan satu hari untuk beristirahat, namun niat baik saja tidak cukup, harus juga disertai dengan langkah yang tepat.

Wallahua’alam bish showab.


Share this article via

19 Shares

0 Comment