| 175 Views
Kebanggaan Negara Diatas Derita Rakyat

Oleh : Sri Setyowati
Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam
Dalam rangka memperingati Hari Pajak Nasional, 14 Juli 2024, pada acara Spectaxcular 2024 di Plaza Tenggara GBK, Jakarta Pusat, Minggu (14/07/2024), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memamerkan kinerja yang membanggakan jajarannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan karena angka penerimaan pajak yang terus meningkat. Berdasarkan data dari Kemenkeu, pada 1983 penerimaan pajak di Indonesia Rp13 triliun, sedangkan pada era reformasi menjadi Rp 400 triliun. Setelah reformasi, penerimaan pajak naik hingga hampir lima kali lipat. Bahkan, pada 2024 penerimaan pajak ditargetkan Rp1.988,9 triliun.
Beliau juga mengatakan, pajak adalah tulang punggung sekaligus instrumen yang penting bagi sebuah bangsa dan negara. Menurutnya untuk bisa terus menjaga Republik Indonesia, membangun negara dan bangsa, mewujudkan cita-cita menjadi negara maju, sejahtera dan adil, tidak mungkin bisa dicapai tanpa penerimaan pajak suatu negara. (cnnindonesia.com, 14/07/2024)
Dalam sistem demokrasi kapitalisme, pajak adalah sumber terbesar pendapatan negara untuk membiayai pembangunan. Pajak menjadi salah satu pos pemasukan negara yang dibebankan kepada warga negara dalam berbagai bentuk. Karena itu peningkatan penerimaan pajak jelas membanggakan Menkeu namun sangat membebani rakyat. Hal ini berarti menunjukkan peningkatan pungutan atas rakyat. Berbagai barang dan jasa dicari celahnya untuk dijadikan obyek pajak, karena itu wajar saja bila penerimaan pajak terus mengalami kenaikan. Besarnya pungutan pajak atas rakyat menunjukkan kedzaliman dan membuktikan bahwa negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat dan penjamin kesejahteraan rakyat.
Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah seperti BBM dan batubara justru dikuasakan pada swasta asing maupun lokal. Hal ini mengakibatkan tingginya harga BBM dan batubara. Ongkos produksi, tarif dasar listrik juga menjadi tinggi karena pembangkit listrik menggunakan BBM dan batubara. Harga dan tarif komoditas lainnya juga akan tinggi karena semua transportasinya menggunakan BBM. Kehidupan rakyat semakin susah sehingga mengakibatkan tingginya kemiskinan.
Sumber penerimaan negara dari pengelolaan SDA yang seharusnya mampu menutupi seluruh kebutuhan pengelolaan negara, malah dikuasai swasta atau asing. Jika saja pengelolaan SDA bisa dilakukan sendiri, maka kebijakan pajak tidak akan dibutuhkan lagi.
Berbeda dengan sistem Islam, sumber penerimaan negara jumlahnya banyak dan juga besar. Hal ini sejalan dengan sistem kepemilikan yang ditetapkan oleh Islam dan pengelolaannya sesuai dengan sistem ekonomi Islam.
Sumber penerimaan kas negara (baitulmal) diperoleh dari (1) fai (anfal, ganimah, khumus), (2) jizyah, (3) kharaj, (4) ‘usyur, (5) harta milik umum yang dilindungi negara, (6) harta haram pejabat dan pegawai negara, (7) khumus rikaz dan tambang, (8) harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, (9) harta orang murtad, dan (10) zakat.
Dengan demikian, sistem ekonomi Islam tidak menjadikan pajak (dharibah) sebagai pemasukan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh warga. Hanya kaum muslim yang kaya saja yang dipungut dharibah. Pemungutannya pun bersifat temporal, hanya jika kas negara kosong dan saat itu butuh dana yang cepat. Misalnya, ketika negara butuh dana untuk menanggulangi bencana, tetapi kas negara kosong, kewajiban pun jatuh pada kaum muslim yang kaya. Dari sinilah dipungut dharibah atas mereka. Akan tetapi, setelah kas negara terisi kembali dan keperluan selesai, penarikan dharibah harus dihentikan.
Demikianlah ketika sistem ekonomi Islam diterapkan dalam negara yang menerapkan Islam secara kaffah dengan fungsi rain maka kesejahteraan dan keadilan akan segera terwujud karena sumber pemasukan kas negara begitu berlimpah.
Wallahu a'lam bi ash-shawab