| 361 Views

Kasus Bunuh Diri Marak, Kapitalisme Biangnya

Oleh : Iven Cahayati Putri
Pemerhati Sosial

Maraknya kasus bunuh diri rupanya tak kunjung menyurut. Di Bali,  angka suicide rate atau tingkat bunuh diri adalah yang paling tinggi di Indonesia. Data Pusat Informasi Kriminal Indonesia Polri menyebut sepanjang 2023 laporan kasus bunuh diri di Bali mencapai 3,07, dihitung berdasarkan jumlah kasus bunuh diri dibandingkan dengan jumlah penduduk. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menempati peringkat kedua dengan angka suicide rate sebesar 1,58. Sementara di peringkat ketiga ditempati Provinsi Bengkulu dengan angka suicide rate sebesar 1,53. Disusul Aceh yang angka suicide ratenya hanya 0,02 (cnnindonesia.com, 2-7-2024).

Jelas menyedihkan, mengingat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi norma, ternyata mulai mengikuti jejak Korea dan Jepang yang menjadikan bunuh diri sebagai alternatif untuk mengakhiri hidup. Mulai dari karena persoalan besar hingga remeh-temeh, ujung-ujungnya bunuh diri.  

Sejauh ini, pemicunya bisa beragam. Menurut dokter spesialis kejiwaan atau Psikiater RSUP Prof Ngoerah, DR. Dr. Anak Ayu Sri Wahyuni, SpKJ (27/6) penyebab tingginya bunuh diri di Provinsi Bali meliputi aspek biologis dan psikososial. Ia menyebut, secara biologis karena memang ada kelainan mental pada seseorang seperti depresi, skizofrenia, atau gangguan bipolar. Kemudian, psikososial seperti terbelit utang, terutama saat ini adalah pinjol (pinjaman online).

Berkaitan dengan bunuh diri karena tekanan mental, rasanya bukan hanya seorang-dua orang. Tetapi mayoritas penyebab bunuh diri dikarenakan penyakit yang satu ini. Biasanya mereka yang berasal dari keluarga broken home atau keluarga yang tidak sehat, tuntutan kehidupan yang serba mahal, pekerjaan sulit, pola asuh yang tidak baik, dan komunikasi antar keluarga yang tidak ideal. Faktanya fakta-fakta yang disebutkan di atas menjadikan sebagian orang memilih mengakhiri hidup sebagai jalan keluar.

Tidak bisa dimungkiri jika masyarakat memiliki kerapuhan mental. Gampang insecure dan mudah terbawa arus. Sehingga, ketika mendapat situasi yang tidak mengenakan bagi dirinya, akan menimbulkan kecemasan. Pelan-pelan akan memicu tekanan psikis, dan tidak sedikit memilih bunuh diri. Krisis karakter dapat menjadi salah satu pemicu tindakan semacam ini sebagai pilihan mereka.

Lingkungan yang tidak support juga menjadi bibit tumbuhnya penyakit mental. Mudahnya menghakimi orang lain, budaya flexing di masyarakat, dan mulai mengikisnya jiwa sosial antar masyarakat. Negara pun tidak becus mengurusi rakyat. Dengan sulitnya beban hidup rakyat, tidak menyediakan lapangan kerja, membiarkan pinjaman online, dan semacamnya. 

Inilah paradigma sistem kapitalisme. Beban hidup rakyat makin berlipat, sementara pihak yang bertanggungjawab atas mereka justru tak melakukan apa pun. Sistem ini pula menjajah kaum muslimin lewat ghazwl fikr atau perang pemikiran dengan tujuan untuk melemahkan mentalnya.  Masyarakat masa kini dibiasakan dengan kehidupan serba instan, sehingga ketika mendapatkan masalah hidup sederhana pun, rasanya mengakhiri hidup adalah solusi satu-satunya. Maka dari itu, kehidupan semacam ini harus ditinggalkan dan beralih kepada kehidupan yang mampu menjadikan masyarakatnya bermental baja yang dengan dukungan banyak pihak, baik dari internal pribadi masyarakatnya, termasuk peran besar sistem di dalamnya.

Tidak lain dan tidak bukan, kehidupan tersebut adalah naungan sistem Islam yang sangat memperhatikan kesejahteraan fisik dan kesehatan mental rakyat. Di dalamnya seorang pemimpin bertanggungjawab untuk melayani rakyat. Terkhusus kasus bunuh diri akibat penyakit mental, Islam memiliki cara yang khas untuk menanggulanginya. 

Pertama, melalui pendidikan. Negara menanamkan pemahaman  kepada masyarakat terkait karakter yang Islami dan ridho terhadap ketetapan Allah SWT. Dengan pemahaman seperti itu, masyarakat akan teguh dan tidak mudah menyerah dari keadaan sulit dirinya.

Kedua, menyediakan lapangan kerja dengan gaji yang layak. Sehingga para kepala rumah tangga tidak tertekan dalam menghidupi keluarganya, sementara sosok ibu fokus untuk mengurus keluarganya. 

Ketiga, negara menciptakan lingkungan yang  baik. Dengan menumbuhkan jiwa sosial, saling membantu, dan saling peduli antar sesama. Keempat, negara tidak akan membiarkan budaya flexing, entah itu di masyarakat ataupun di sosial media.

Semua itu dilakukan oleh seorang pemimpin dalam Islam untuk menjaga kesehatan mental rakyatnya. Sebab mereka memahami, peradaban Islam membutuhkan masyarakat yang tidak hanya berfisik kuat namun harus pula bermental kuat. Hanya saja perlu diingat, semua akan terealisasi jika negara menganut sistem Islam.

Wallahu'alambisshowwab.


Share this article via

133 Shares

0 Comment