| 185 Views

Kabinet Baru, Pemerintahan Baru, Akankah Membawa Perubahan?

Oleh : Ummu Nurul
Pegiat Literasi

Kabinet Merah Putih pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka resmi dimulai setelah Presiden melantik 48 menteri, 5 pejabat setingkat menteri, serta 56 wakil menteri. Dalam analisisnya, Center of Economic and Law Studies (Celios), pada Kamis (17-0-2024), menerangkan bahwa mayoritas nama yang dipanggil mengisi kabinet berasal dari politisi dengan proporsi 55,6 persen  atau 60 dari 108 kandidat. Proporsi profesional teknokrat sebesar 15,7 persen. TNI/POLRI sejumlah 8,3 persen. Pengusaha 7,4 persen, tokoh agama 4,6 persen, selebriti 2,8 persen, dan akademisi 5,6 persen.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bagi-bagi jatah kursi kekuasaan dan proyek pembangunan merupakan hal lumrah dalam politik hari ini. Hal ini terkait dengan mahalnya ongkos meraih kursi kekuasaan yang membuat praktik politik menjadi sangat transaksional. Suara dukungan menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Visi dan misi perjuangan partai pun mudah mencair sesuai kepentingan.

Peneliti Celios Galau D. Muhammad mengatakan, pembagian jabatan ini tidak hanya menimbulkan kekecewaan secara moral, tetapi juga berpotensi menciptakan pemborosan anggaran yang signifikan. Menurutnya, semakin banyaknya wakil menteri yang diangkat berarti akan meningkatkan belanja negara, termasuk gaji para staf pendukung, pengadaan mobil dinas, fasilitas kantor, hingga pembayaran gaji pensiun bagi menteri dan wakil menteri. Celios menganalisis ada potensi pembengkakan anggaran hingga Rp1,95 triliun selama 5 tahun ke depan akibat koalisi gemuk. Angka ini belum termasuk beban belanja barang yang timbul akibat pembangunan fasilitas kantor/gedung lembaga baru.

Pemborosan Anggaran

Menyoroti hal tersebut, pakar ekonomi Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si., Ak.CA. sepakat bahwa pembentukan kabinet baru ini berpotensi menimbulkan pemborosan. Sebab, akan terjadi  pembengkakan anggaran untuk tunjangan menteri dan pejabat yang lainnya, termasuk wakil menteri yang jumlahnya melonjak luar biasa. Belum lagi biaya dan anggaran non-bujeter kementerian yang jumlah instansinya bertambah. Hal ini diungkap dalam Kabar Petang: “Kabinet Baru, Tak Lincah dan Boros?” di kanal Khilafah News, Ahad (20-10-2024).

Selain itu, dari struktur kabinet, tampak ada upaya meminimalisasi potensi protes dari partai lain atau oposisi. Semuanya dirangkul, bukan didasarkan profesionalisme. Itulah politik dagang sapi. Mereka kemudian bungkam karena diberikan jatah menteri, terutama bagi mereka yang mau bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju. Akhirnya, akan mengurangi sikap kritis di kalangan partai politik maupun masyarakat. Terlebih lagi, kebanyakan para menteri sebelumnya, tampak kinerjanya bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan partainya atau kelompoknya. Padahall, ketika sebuah kebijakan tidak didasarkan profesionalisme atau tidak melaksanakan amanah, lambat laun akan hancur.

Belum lagi, makin banyak menteri, jelas akan membebani APBN sehingga pajak akan makin digenjot. Rakyat pun terkena sasaran. Ini karena dari postur-postur menterinya, termasuk kebijakan ekonominya, semuanya masih menggunakan pola para kapitalis. Lebih fokus mengejar pajak dibandingkan dengan meningkatkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam makin diobral dan diberikan kepada swasta asing dan aseng. Jikapun akan dilakukan pembangunan, lagi-lagi pasti akan menambah utang. Apalagi, rezim ini merupakan rezim kelanjutan [dari sebelumnya], maka kemungkinan besar (kecuali ada manuver politik), proyek-proyek sebelumnya, seperti IKN, akan dilanjutkan karena di belakangnya ada kepentingan oligarki atau para kapitalis.

Sistem demokrasi yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial, yakni pengangkatan menteri menjadi hak prerogatif presiden. Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat menteri-menteri yang akan memimpin struktur kelembagaan negara di bawah presiden. Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang, ditengarai demi mengakomodir kebutuhan pemerintahan Prabowo-Gibran dengan koalisinya yang sangat besar alias over coalition. Dalam UU ini, ketentuan batas maksimal jumlah kementerian yang sebelumnya 34 pos dihapus dan diganti menjadi sesuai dengan kebutuhan presiden.

Jadi, kabinet yang dibentuk dan pemerintahan yang baru itu sama sekali bukan memberikan harapan baru, melainkan akan memunculkan kebohongan-kebohongan baru dan penindasan-penindasan baru. Ini karena sistem yang diterapkan masih sistem ekonomi kapitalisme dan orangnya juga tidak jauh berbeda karakternya dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya.

Struktur Pemerintahan Islam, Struktur Pemerintahan Ideal

Pembentukan lembaga struktur negara dan pengangkatan pejabat dalam sistem pemerintahan yang didasarkan pada syariat Islam, yakni Khilafah, berbeda dengan sistem pemerintahan demokrasi. Struktur jabatan yang efektif efisien adalah yang harus menjadi pertimbangan dalam dampaknya pada keterlaksanaan pengelolaan urusan rakyat sehingga beban keuangan otomatis akan mengikuti.  Jumlah orang dalam struktur pemerintahan berbanding lurus dengan jumlah kewajiban negara yang harus dibayarkan pada pejabat yang diangkat beserta staf-staf negara. Asalkan seluruh permasalahan kehidupan rakyat yang menjadi tanggung jawab pengelolaan negara bisa ditangani oleh struktur yang ramping, mengapa mesti digemukkan?

Sistem pemerintahan Islam tegak di atas enam asas, yaitu hukum hanya milik Allah, kedaulatan ada di tangan syara’, kekuasaan (al-sulthan) yakni pemerintahan, berada di tangan umat, pengangkatan khalifah yang satu untuk seluruh umat Islam, khalifah adalah satu-satunya pihak yang berhak melakukan tabanni (legalisasi) hukum syarah, dan struktur pemerintahan dalam Negara Islam tegak di atas tujuh pilar. Seluruh pilar ini merupakan aparat pelaksana bagi Daulah Islam. Pola seperti ini pernah ditegakkan oleh Rasul ﷺ di Madinah Munawarah. Para khalifah sesudah beliau pun menjalankan pola yang sama berdasarkan petunjuk beliau ﷺ.

Dengan pendalaman terhadap nash-nash yang berkaitan dengan struktur  negara, maka negara khilafah dalam bidang pemerintahan dan admininistrasinya terdiri dari Khalifah, Mu’awin at-Tafwidh, Mu’awin at-Tanfidz, Para Wali,  Amirul Jihad, Keamanan Dalam Negeri, Urusan Luar Negeri, Industri, Peradilan, Mashalih An-Nas (Kemaslahatan Umum), Baitul Mal, Lembaga Informasi, dan Majelis Umat (Syura dan Muhasabah).

Para pembantu khalifah membantu khalifah untuk mengemban tanggung jawab pemerintahan dan mengatur berbagai hal dengan pendapat dan ijtihadnya. Para pembantu khalifah (al-mu’awin) itu terbagi dua. Pertama, Mu’awin Tafwidh. Tugasnya menyampaikan kepada khalifah pengaturan urusan pemerintahan yang telah direncanakan, kemudian melaporkan kepada khalifah berbagai pengaturan urusan pemerintahan yang telah dia jalankan. Mu’awin juga melaksanakan mandat dan wewenang apa yang diperintahkan oleh khalifah sehingga dia tidak boleh melakukan hal selain itu.

Kedua, Mu’awin Tanfidz, yakni wazir yang ditunjuk oleh Khalifah sebagai pembantunya dalam mengimplementasikan kebijakan, menyertai Khalifah, dan dalam menunaikan kebijakan-kebijakannya. Dia juga menjadi penghubung Khalifah dengan struktur dan aparatur negara, rakyat dan pihak luar negeri. Jadi, tugasnya adalah tugas administratif (kesekretariatan), bukan tugas pemerintahan. Imam at-Tirmidzi telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Dua pembantuku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar.”

Para mu’awin dalam sistem Islam tidaklah sebagaimana menteri-menteri dalam sistem kapitalisme. Dari segi pengangkatan, Setiap mu’awin yang diangkat dengan wewenang dan otoritas yang bersifat umum sebagai wakil Khalifah dalam semua perkara yang diurus oleh negara, tidak hanya mengurusi satu bidang saja sebagaimana halnya menteri (wazir) dalam sistem demokrasi. Selanjutnya, syarat-syarat untuk menjadi Mu’awin sama dengan syarat menjadi khalifah. Harus seorang laki-laki, merdeka, baligh, berakal, mampu termasuk memiliki kemampuan dalam semua tugas yang diwakilkan kepadanya.

Demikian halnya dengan Wali. Hingga batas tertentu mereka menyerupai apa yang saat ini dikenal dengan penguasa wilayah. Oleh karena itu, seorang Wali menjadi wakil Khalifah (naib al-khalifah) untuk memerintah dan mengurus suatu daerah atau negeri. Wewenang wali ditentukan oleh Khalifah dengan adanya akad tertentu antara keduanya. Adapun syarat menjadi Wali itu sama dengan syarat yang diperuntukkan bagi Khalifah dan para pembantunya.
Seorang  Wali bertanggung jawab di depan Khalifah dan majelis syura, dan bisa dipecat oleh khalifah bila diadukan oleh majelis syura.

Wilayah (setingkat provinsi) dibagi ke dalam beberapa imalah (setingkat kabupaten), penanggung jawab imalah disebut Amil. Adapun wewenang dan syarat-syarat Amil itu sebagaimana wewenang dan syarat seorang Wali. Telah ditetapkan oleh Rasulullah saw., bahwasanya beliau saw. telah mengangkat beberapa orang wali untuk memerintah beberapa negeri dan memberikan kewajiban mengurusi negeri-negeri tersebut kepada mereka. Beliau telah mengangkat Muadz bin Jabal di Janad, Ziyad bin Labid di Hadramaut, Abu Musa al-Asy’ari di Zabid, dan Amr bin Hazm di Yaman.

Begitupun dalam struktur pemerintahan lainnya, menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan syariah Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam, kepala negara (Khalifah) adalah penanggung jawab penuh seluruh pengelolaan urusan rakyat. Jika pemimpin negara mampu menyelesaikan sendiri seluruh pengelolaan urusan rakyat, maka hendaknya ia selesaikan sendiri tanpa mengangkat pembantu. Namun, aturan syariat juga membolehkan pemimpin negara mengangkat orang-orang yang dipercaya dalam pengelolaan urusan rakyatnya. Oleh karenanya, boleh mengangkat sesuai dengan kebutuhannya dalam melaksanakan tanggung jawabnya tersebut.

Jadi, tidak ada dalam sistem pemerintahan Islam pengangkatan pejabat karena balas budi, apalagi transaksional. Walhasil mengharapkan pembentukkan kabinet baru akan membawa perubahan kearah yang lebih baik dan kesejahteraan rakyat adalah sesuatu yang sulit diwujudkan. Hanya dalam sistem pemerintahan Islam dalam bingkai khilafah perubahan itu akan terwujud.

Wallahu a’lam bisshawab.


Share this article via

93 Shares

0 Comment