| 12 Views

Judol Menyasar Anak, Kehancuran Generasi Akibat Kapitalisme

Oleh: Adawiyah
Aktivis Muslimah

Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) per 8 Mei 2025 mencatat sekitar 197.054 anak usia 10–19 tahun terlibat dalam aktivitas judol, dengan nilai deposit mencapai Rp50,1 miliar pada triwulan I-2025.  Aturan ini mewajibkan penyelenggara sistem elektronik (PSE) membatasi akses digital anak, melindungi data pribadi, serta ikut meningkatkan literasi digital.

Pemerintah telah berupaya membuat beberapa regulasi untuk menghentikan judol. Pada 2024, misalnya, pemerintah mengeluarkan Keppres 21/2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring yang diterbitkan di Jakarta pada 14 Juni 2024. Satgas yang berada di bawah tanggung jawab langsung presiden ini bertugas mengambil langkah-langkah efektif dalam memberantas judol di Indonesia. Di samping itu, Satgas akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas judol dan mengambil tindakan tegas terhadap pelaku perjudian. Tujuan utama Satgas ini adalah untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif judol.

Prabowo menegaskan, regulasi ini merupakan langkah penting untuk melindungi anak-anak Indonesia dari dampak negatif internet. Regulasi ini menekankan pada beberapa hal, antara lain penyaringan konten yang berpotensi membahayakan anak-anak, mekanisme pelaporan yang mudah diakses dan transparan, proses remediasi yang cepat dan transparan jika ada konten yang melanggar, dan penyediaan edukasi literasi digital kepada anak-anak dan orang tua.

Jika ditelisik secara mendalam, ada banyak faktor penyebab kegagalan upaya yang dilakukan negara untuk melindungi generasi dari jerat judol.

Pertama, negara tidak menyadari bahwa akar masalah merebaknya judol adalah penerapan sistem kapitalisme. Maraknya judol yang menyasar anak-anak bukanlah suatu kebetulan atau sekadar dampak sampingan dari perkembangan teknologi digital, melainkan konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama aktivitas manusia tanpa peduli pada dampak sosial yang ditimbulkan.

Kedua, kurikulum pendidikan dalam sistem kapitalisme tidak dirancang untuk membentuk anak didik yang berkepribadian Islam, tetapi semata untuk memenuhi kebutuhan pasar industri. Sistem pendidikan seperti ini melahirkan output generasi yang lemah kepribadiannya sehingga tidak memiliki filter untuk mampu menyaring informasi yang benar dan salah. Akibatnya anak-anak mudah terbawa arus informasi, terlebih pada era revolusi industri saat internet mudah diakses oleh siapa pun.

Ketiga, dari sisi keluarga, ibu yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membentengi anak-anak dari kerusakan moral sering kali tidak optimal dalam menjalankan fungsinya karena kerap terhambat oleh tekanan ekonomi dalam sistem kapitalisme yang memaksa banyak ibu untuk turut bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya, waktu untuk mendidik anak menjadi terbatas.

Itulah di antara faktor-faktor penyebab negara gagal melindungi generasi dari jerat judi online.
Pengawasan terhadap media, internet, dan segala bentuk informasi digital akan dilakukan secara ketat dengan standar halal haram sebagai tolok ukur, bukan asas manfaat atau kebebasan berekspresi. Pengawasan sistem informasi ini berada di bawah instansi penerangan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 103 Rancangan Undang-Undang Dasar Islam, “Instansi penerangan adalah direktorat yang menangani penetapan dan pelaksanaan politik penerangan Daulah demi kemaslahatan Islam dan kaum muslim.”
Agar bisa menjangkau seluruh rakyat, literasi digital akan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan sebagai bagian dari pertumbuhan peradaban karena internet sudah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Apabila literasi digital ini dikembangkan oleh individu atau komunitas, kurikulumnya harus sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Khilafah (lihat pasal 104 Rancangan Undang-Undang Dasar Islam).

Larangan berjudi dalam Islam bukanlah sekadar imbauan moral. Allah Swt. telah mewajibkan kaum muslim untuk menegakkan sanksi pidana (uqûbât) terhadap para pelakunya. Mereka adalah bandarnya, pemainnya, pembuat programnya, penyedia servernya, mereka yang mempromosikannya, dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Sanksi bagi mereka berupa takzir, yakni jenis sanksi yang diserahkan keputusannya kepada khalifah atau kepada kadi (hakim). Atas tindak kejahatan atau dosa besar maka sanksinya harus lebih berat agar tujuan preventif (zawâjir) dari sanksi ini tercapai. Ia juga menjelaskan bahwa khalifah atau kadi memiliki otoritas menetapkan kadar takzir ini.

Oleh karena itu, pelaku kejahatan perjudian yang menciptakan kerusakan begitu dahsyat layak dijatuhi hukuman yang berat seperti dicambuk, dipenjara, bahkan dihukum mati. Hanya sistem Islam kafah dalam naungan negara Khilafah yang mampu melindungi masyarakat secara menyeluruh dari kerusakan sistemis yang muncul dalam sistem kapitalisme. Inilah model kepemimpinan yang tidak sekadar memerintah, tetapi mengurusi, melindungi, dan memastikan setiap rakyat hidup dalam lingkungan yang bersih dari kejahatan dan maksiat.


Share this article via

8 Shares

0 Comment