| 17 Views

Judi Online Pada Anak Bukti Negara Gagal Melindungi Generasi

Oleh : Anne
Ciparay Kab. Bandung.

Transaksi judi online atau judol telah dilakukan oleh anak-anak berusia sejak 10 tahun. Data kuartal 1-2025, yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain berusia 10-16 Tahun lebih dari Rp 2,2 miliar. Usia 17-19 tahun mencapai Rp 47,9 miliar. Per 8 Mei 2025, tercatat sekitar 197.054 anak usia 10-19 tahun terlibat dalam aktivitas judol.

"Angka-angka yang ada ini bukan sekedar angka, namun dampak sosial dari persoalan besar kecanduan judi online ini adalah konflik rumah tangga, prostitusi, pinjaman online dan lain-lain," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dikutip dari siaran pers Promensisko 2025, Kamis (8/5/2025).

Fenomena judi online, yang nyatanya menyasar pada anak-anak tentunya bukan suatu kebetulan, serta bukan pula efek dari perkembangan teknologi digital. Fenomena ini terjadi, tersebab diterapkannya sistem kapitalisme yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama. Pun, berbagai cara dilakukan meski harus merusak generasi.

Maka, demi meraup untung, industri judi online memanfaatkan celah psikologis dan visual pada anak. Merancang tampilan permainannya dengan penuh warna, interaktif, seolah seperti permainan game. Sehingga, anak-anak menjadi tertarik, kecanduan, dan akhirnya menjadi konsumen tetap.

Pun, dari sisi pemerintah terlihat tidak memiliki upaya serius dan sistematis dalam mencegah maupun mengatasi judi online. Ditambah regulasi yang lemah, maka judi online semakin berkembang dan bertambah ragam bentuknya. Pemutusan akses yang dilakukan aparatur pemerintah juga, dilakukan seperti setengah hati dan tebang pilih, nyatanya banyak situs tetap aktif beroperasi walau telah dinyatakan ilegal.

Memang tak mengherankan, sebab dalam sistem kapitalisme, judi online merupakan perbuatan yang diperlukan, karena kegiatannya memberikan aliran dana yang besar serta menguntungkan pihak-pihak tertentu. Disinilah, tampak jelas wajah asli kapitalisme yang rakus, brutal, serta tidak memperdulikan halal-haram. Serta menjadi bukti, bahwa demokrasi kapitalisme tidak akan pernah bisa melindungi anak-anak, karena sistem ini dibangun bukan untuk menjaga kemaslahatan, serta tidak memiliki solusi hakiki dalam menyelamatkan generasi muda dari kriminalitas.

Berbeda dengan sistem Islam. Islam tegas menyatakan kalau judi (apa pun bentuknya), merupakan transaksi atau kegiatan yang haram. Sehingga, harta hasil judinya juga harta yang haram buat dimiliki.

Tentunya, sistem islam akan menumpas judi online secara sistemis. Negara dengan sistem islam akan menyediakan lapangan kerja serta mendorong para laki-laki untuk bekerja. Sebab, orang tua terkhusus ibu memiliki andil sentral dalam mendidik dan membentengi anak dari kerusakan moral, termasuk jebakan judi online. Namun, ini akan sulit jika orang tua sendiri terbebani ekonomi dan sehingga tidak sempat mendidik anak.

Begitu pula, dengan sistem pendidikan islam yang tidak akan berfokus pada akademik semata. Tapi juga, akan membentuk pola pikir dan sikap umat agar sesuai ajaran Islam. Menjadikan halal-haram sebagai standar dalam berperilaku, termasuk literasi digital agar sesuai batasan syariat.

Terpenting, yakni negara dengan sistem islam ( khilafah), menjadi pemeran utama yang paling bertanggungjawab dalam persoalan masyarakat. Karena, negara dalam islam berperan sebagai raa'in (pelindung) rakyatnya dari segala mara bahaya. Oleh karenanya, negara berkewajiban menutup secara menyeluruh akses dan mencegah konten-konten yang merusak. Adapun, Digitalisasi akan diarahkan untuk kemaslahatan umat.

Dengan solusi yang menyeluruh ini, maka Islam mampu melahirkan anak-anak yang kuat secara akidah dan tidak mudah bermaksiat.

Wallahu a'lam bish shawwab.


Share this article via

11 Shares

0 Comment