| 158 Views
Islam Menjaga Kewarasan OrangTua

Oleh : Nur Aini Putri Tanjung
Praktisi Pendidikan Khoiru Ummah
Sebuah peristiwa memilukan terjadi di Medan, seorang ibu tega menganiaya anak kandungnya sendiri gegara sang anak menghilangkan stiker sekolah. Anak perempuan berusia 6 tahun tersebut, dipukuli, dilibas pakai tali pinggang bahkan sampai diinjak perutnya. Ternyata perlakuan tak manusiawi tersebut bukan pertama kali dilakukan sang ibu kepada anaknya, tetapi sudah berulang kali. Korban mengalami trauma dan dirawat khusus di rumah sakit akibat luka-luka tersebut. Ibu mengakui kekhilafannya dan minta maaf atas perbuatan kejamnya kepada orang banyak dan tentu anaknya. (Kompas.com, 26-09-2024)
Tidak hanya seorang ibu, ada juga kasus seorang Ayah di Medan Marelan dengan keji menyiksa anak perempuannya yang masih berusia tiga bulan. Si Ayah membekap dengan bantal dan menduduki perut bayinya dengan alasan marah kepada istrinya. (Detik.com, 11-04-2024)
Jika diungkapkan peristiwa demi peristiwa kekejaman orang tua, pastilah tidak cukup melalui tulisan ini, karena begitu banyak kasus serupa di berbagai wilayah.
Ternyata tidak hanya anak yang menganiaya orangtuanya. Kali ini sebaliknya, orang tua yang menyiksa sibuah hatinya. Sungguh menyayat hati, kok bisa orang tua begitu ringan tangan menjahati anaknya? Kemana hati nurani seorang ibu dan ayah?
Jika ada anak yang tidak berbakti, tidak menyayangi bahkan sampai melawan orangtuanya maka dia dikatakan durhaka. Lantas bagaimana dengan orang tua yang tidak menyanyangi, abai bahkan sampai melukai anak baik mental atau fisik? Apakah orang tua seperti itu bisa dikatakan telah durhaka kepada anak?
Menurut penuturan Ustad Ahmad Ubaidi Hasbillah dalam studi Ruang Tengah. Beliau menerangkkan bahwa sebutan orang tua durhaka sebenarnya kurang tepat untuk digunakan, baik dari istilah Bahasa Arab maupun Bahasa Indonesia. Dalam Bahasa Indonesia sendiri berdasarkan KBBI, kata durhaka adalah sebuah sikap menolak, ingkar atas perintah atau tidak patuh terhadap atasan. Contohnya adalah tidak taat kepada Allah, karyawan kepada direktur, anak buah kepada bosnya, pembantu kepada majikannya, dan seterusnya. Tetapi orang tua kepada anaknya, bukan dalam hal bawahan kepada atasan. Secara fitrah, posisi atau kedudukan orang tua berada di atas anak.
Di dalam Al-Qur’an para peneliti telah menemukan penjelasan tentang durhaka, bahwa durhaka terbagi menjadi empat, yaitu : durhaka kepada Allah, durhaka kepada rasulullah, durhaka kepada kedua orang tua, dan durhaka antara pasangan suami istri.
Istilah orang tua yang berlaku tidak baik kepada anak, kurang tepat dipakai. Untuk orang tua yang seperti kasus di atas lebih tepat disebut zalim, orang tua zalim kepada anaknya.
Kapitalisme Mematikan Fitrah Orang Tua
Bagaimana mungkin seorang ibu tega menyiksa anak-anaknya seperti kesetanan? Dimana mata hatinya? Begitu juga seorang ayah tanpa belas kasihan menganiaya bayi mungil tak berdaya? Dimana jiwa pelindung seorang ayah?
Banyak faktor penyebab orang tua keluar dari fitrahnya seperti tekanan psikologis ibu tergoncang akibat faktor ekonomi, faktor rasa lelah yang tertumpuk lama, suami tidak peduli dengan istri bahkan abai dengan tanggung jawabnya atau tidak memberikan nafkah sementara kebutuhan hidup meninggi atau alasan ekonomi lainnya yang sangat menghimpit sehingga hal ini bisa menjadi pemicu despresi ibu. Kaum bapak yang kurang pengetahuan agamanya hingga abai dan zalim kepada anak istrinya.
Berbagai problem keluarga ini bisa menjadikan lemahnya keimanan dan keyakinan seorang ibu dalam menjalani kehidupan ini sesuai Islam. Sehingga dengan kondisi tersebut bisa menyebabkan mental seorang ibu terganggu, mudah stres, emosian, mudah marah, tidak sabar, sering menyalahkan diri, bahkan sampai kehilangan gairah hidup. Sehingga anaklah yang menjadi korban selanjutnya. Anak dijadikan pelampiasan ayah atau ibu yang sedang berada dalam emosi negatif.
Fakta - fakta orang tua yang zalim kepada anaknya, ini menunjukkan bahwa orangtua telah keluar dari fitrahnya sebagai orang tua. Sifat alami orang tua, seperti berkasih sayang, lemah lembut kepada anaknya telah terkikis bahkan nyaris hilang di sistem Kapitalisme ini. Sistem yang berasaskan sekulerisme ini telah berhasil mematikan naluriah alami orang tua. Orang tua tidak lagi memandang anaknya sebagai penyejuk hati dan penentram jiwanya. Anak hanya sebagai tempat pelampiasan kemarahan orangtuanya. Luar biasa sistem ini menjadikan orang tua monster bagi anaknya.
Harus ada tindak lanjut yang mampu menuntaskan permasalahan tersebut yang pasti tidak bisa berharap pada sistem demokrasi kapitalisme saat ini.
Islam Menjaga Fitrah Orangtua
Islam adalah agama yang sempurna, memiliki aturan lengkap. Tidak ada satu masalah pun yang tidak ada solusinya dalam Islam.
Hukum syara' telah mengatur peran masing-masing setiap individu masyarakat dalam menjalani kehidupan ini. Tentu peran yang sesuai dengan fitrah sehingga mampu menjaga dan melindungi masyarakat dari kesengsaraan hidup. Ibu berperan sebagai ummun wa rabbatul bayt (Ibu dan pengatur rumah tangga). Tugasnya adalah sebagai pendidik utama dan pembimbing pertama bagi anak - anaknya. Tugas mulia sebagai arsitek pembangun peradaban, melahirkan generasi - generasi unggul. Sehingga di dalam sistem Islam, ibu sangat dijaga kewarasannya untuk menghasilkan bibit-bibit berkwalitas. Ibu tidak diwajibkan bekerja mencari nafkah. Tetapi peran Ayahlah sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab penuh atas kehidupan layak keluarganya. Ayah juga memiliki kewajiban mendidik keluarganya agar terhindar dari api neraka.
Sebagaimana dalam Firman Allah dalam Al Qur'an Surah At Tahrim ayat 6 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kejam, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Jikalau kepala rumah tangga meninggal, maka kewajiban nafkah ibu kembali pada kekuarga ibu dari pihak ayahnya. Sementara nafkah untuk anak kembali pada pihak ayah anak tersebut. Apabila keluarga masing - masing tidak mampu menafkahi ibu dan anak disebabkan karena keluarga tidak memiliki harta atau kekurangan, maka kewajiban nafkah tersebut diambil alih oleh negara.
Dengan demikian, seorang ibu akan fokus dalam menjalankan tugasnya sebagai pengatur rumah tangga dan mendidik anak - anaknya tanpa memikirkan lagi masalah biaya hidup serta terjagalah sang ibu dari beban mental dan tekanan fisiknya.
Aturan-aturan detail seperti itu tentu tidak akan didapatkan di dalam sistem demokrasi buatan manusia yang hanya mementingkan keuntungan materi saja. Pengaturan cemerlang di atas hanya mampu dirancang oleh Allah SWT yang tertuang di dalam Al Qur'an dan As Sunnah yang disebut Hukum Syara'. Dan aturan Allah hanya bisa diterapkan dalam Sistem Pemerintahan Islam (negara Islam) bukan yang lain.
Wallahu'alam Bishawab.