| 29 Views
Ironi Penegakan Hukum Kasus Korupsi di Negeri Ini

Oleh : Hasbiyah
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada peningkatan kasus korupsi yang terjadi sepanjang 2022. Menurut ICW juga, korupsi terjadi hampir di seluruh sektor pemerintahan, baik lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kasus korupsi adalah penyakit yang rasanya sulit untuk hilang di negri ini. Sebab penyakit ini sudah mengakar dan terjadi dari sektor pusat hingga daerah, dari nominal kecil hingga nominal besar, dari pemangku kekuasaan hingga rakyat biasa (CNBC Indonesia, 24-3-2023).
Tentu saja kita tidak akan pernah lupa kasus korupsi terbesar dalam tata kelola timah selama 2015—2022. Kejaksaan Agung telah menetapkan 16 tersangka dalam kasus ini. Menurut hasil penghitungan awal yang dilakukan oleh ahli lingkungan IPB University Bambang Hero Saharjo, dalam kasus ini, negara mengalami kerugian fantastis, sekitar Rp271 triliun. Namun, setelah dilakukan penghitungan kembali berdasarkan hasil audit BPKP mencapai Rp 300,003 triliun (ANTARASULTRA, 13/11/2024).
Bagi masyarakat Sultra juga pastinya tidak akan pernah lupa kasus korupsi yang resmi ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam perizinan tambang di provinsi Sulawesi Tenggara yang merugikan negara hingga 4,3 Triliun . Dugaan Korupsi proyek gerbang Kendari-Toronipa, yang memakan biaya hingga Rp 32 Miliar. Namun belum satu tahun peresmian sudah mengalami kerusakan. Tak hanya itu, masih banyak lagi kasus korupsi yang terjadi di negri ini (TEMPO, 14-9-2024).
Faktor Utama
Faktor utama penyebab korupsi saat ini sebenarnya berpangkal dari ideologi yang diterapkan di negeri ini, yaitu sekuler kapitalisme. Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat kini yang berkiblat pada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonisme. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan dan hedonisme ini.
Tentu tidak boleh diabaikan adanya faktor lainnya. Setidaknya ada tiga faktor lain. Pertama, faktor lemahnya karakter individu misalnya, individu yang memiliki sifat serakah. Tidak tahan ketika melihat peluang didepan mata untuk menambah kekayaannya.
Kedua, faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyarakat. Lingkungan yang kapitalistik sejatinya hanya melahirkan masyarakat yang menginginkan hal instan tanpa usaha yang maksimal. Misalnya ketika ingin mendapatkan suara masyarakat dalam Pemilu maka tidak sedikit paslon yang melakukan aksi suap demi mendapatkan suara terbanyak.
Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.
Sikap pemerintah yang tebang pilih tampak pada beberapa kasus korupsi yang penanganannya lambat dan bahkan ada yang tidak kunjung selesai meski sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Misalnya kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp271 triliun, juga kasus Bank Century, dana BLBI, dan KTP elektronik yang hingga kini belum tuntas. Praktik tebang pilih dalam pengusutan korupsi semacam ini sungguh niscaya dalam sistem sekuler kapitalisme.
Terlebih, jika sanksi yang diberikan kepada pelaku hanya berupa denda yang tidak memberi efek jera. Adapun penjara tidak begitu lama dengan fasilitas bag bintang 5. Tentu hal ini akan membuat para koruptor makin betah dengan tindakan korupsi ini.
Penuntasan Korupsi
Korupsi adalah persoalan yang sistemis maka pemberantasannya pun harus bersifat sistemis. Sistem politik demokrasi telah nyata gagal mewujudkan pemerintahan yang bersih. Maka sangat layak untuk kaum muslim memperjuangkan sistem politik Islam. Sebab Islam memiliki sejumlah mekanisme agar negara bebas dari korupsi.
Penerapan syariat Islam akan sangat efektif untuk menuntaskan korupsi, baik terkait pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).
Secara preventif, paling tidak ada enam langkah untuk mencegah korupsi. Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah, serta berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme.
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Rasul saw. mencontohkan hal itu. Tidak ada yang meragukan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra.
Namun, tatkala Rasul saw. mengutus Muadz ke Yaman menjadi ‘âmil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu Rasul saw. bersabda kepada Muadz, “Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat).
"Siapa saja yang berkhianat, pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu (TQS Ali Imran [3]: 161)".
Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu.” (HR At-Tirmidzi dan Ath-Thabarani).
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Nabi saw. bersabda,
”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tetapi tidak punya rumah, hendaklah ia mengambil rumah. Jika tidak punya istri, hendaklah ia menikah. Jika tidak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).
Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Harta yang diperoleh aparat, pejabat, dan penguasa, selain pendapatan (gaji) yang telah ditentukan, apa pun namanya (hadiah, fee, pungutan, suap, dsb.), merupakan harta ghulûl dan hukumnya haram.
Kelima, Islam memerintahkan untuk melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab ra. biasa menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau ‘âmil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tidak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke baitulmal.
Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama.
Adapun secara kuratif, maka membasmi korupsi dilakukan dengan cara penerapan sanksi hukum yang tegas dan tanpa tebang pilih. Dalam Islam, hukuman untuk koruptor masuk kategori takzîr, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim/penguasa.
Adapun bentuk sanksinya dari yang paling ringan, seperti teguran dari hakim; bisa berupa penjara, pengenaan denda, atau pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhîr); bisa hukuman cambuk; hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati.
Dengan demikian, hanya dengan Islam yang diterapkan secara Kaffah korupsi bisa tuntas. Maka sudah saatnya kaum muslim bangkit dan beralih dari sistem lain yang hanya membawa kerusakan.
Wallahu A'lam