| 100 Views

Indonesia Butuh Khilafah, Bukan Pancasila

Oleh: Mentari
Aktivis Muslimah Ngaji

Keterbelahan bangsa akibat Pemilu curang, tidak terelakan. Kubu 02, mustahil akan mengevaluasi kemenangan, meskipun dirundung kritikan curang. Kubu 01 dan 03, juga tak ridlo menyerahkan kemenangan yang dibungkus dengan kecurangan.

Hasto Kristianto, menyebut sistem algoritma KPU telah dikunci. Suara Ganjar Mahfud, dikunci di angka 17 %. Timnas Amien melalui Bambang Widjoyanto, juga menyebut sistem Algoritma Sirekap KPU telah didesain untuk memenangkan Paslon tertentu (02) dan dengan jumlah tertentu (diatas 50% agar satu putaran).

Perang politik melalui hak angket DPR sudah dimainkan kubu 01 dan 03, sementara kubu 02 meminta semua sengketa Pemilu dibawa ke MK. Meski sudah lama  ramai, namun sejak pembukaan masa sidang pada 5 maret hingga hari ini (10 Maret), belum ada tindakan kongkrit terkait usulan hak angket.

Publik menilai, Parpol sedang adu kuat sekaligus bernegosiasi. Jika cocok harga, angket bisa batal di proses usulan. Jika harga agak naik, angket dibatalkan di paripurna (naik usulan saja sekedar memenuhi harapan rakyat, namun dibatalkan di paripurna). Jika harga nego lebih tinggi lagi, angket hanya akan diarahkan pada objek penyelidikan tertentu dan hanya didesain untuk rekomendasi tertentu (hanya berujung seperti Pansus Century, anti klimaks).

Indikasinya terbaca dari keinginan NasDem untuk membuat kontrak/perjanjian dengan PDIP sebelum hak angket digulirkan. Lagi-lagi, hak angket sejatinya akhirnya menjadi manuver politik Parpol, ketimbang sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat. BPIP selaku lembaga yang konsen pada Pancasila, bungkam pada  realitas kecurangan Pemilu ini. Meski sejumlah kampus dan guru besar telah turun gunung memprotes kecurangan Pemilu, para begawan Pancasila di BPIP tetap bungkam.

Terakhir, Sekretaris Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (DP BPIP), Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya serta tokoh agama dari perwakilan agama, kepercayaan leluhur serta penganut spiritual, justru menyerukan perdamaian usai Pemilu (16/ 2/2024). Padahal, semestinya secara moral BPIP mengkritik pemilu yang curang. Bukan menyerukan perdamaian pada proses Pemilu yang curang.

Mengingat, kecurangan Pemilu itu sudah terlihat secara terang terangan sejak lama. Banyak fakta dan analisa terkait pemilu curang, termasuk yang terakhir melalui apa yang dibongkar oleh film Dirty Vote. Hingga saat ini, BPIP masih bungkam. Tidak ada narasi pemilu curang bertentangan dengan Pancasila. Tidak ada seruan pemilu curang adalah tindakan radikal, yang merusak kebhinekaan dan nilai Pancasila.

Pancasila, tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah atau mengatasi sengkarut potensi keterbelahan bangsa akibat Pemilu curang. Pancasila, hanya dijadikan alat gebuk untuk membungkam gerakan Islam, dengan menuduh ajaran Islam radikal dan bertentangan dengan Pancasila. Dalam situasi buntu ini, umat Islam makin terbuka dengan ide Khilafah. 

Umat Islam semakin ingin tahu, bagaimana suksesi Khilafah dan rincian metode memperjuangkan Khilafah.
Umat Islam, jadi semakin rindu Khilafah, setelah praktik demokrasi benar-benar telah merusak logika dan mengkhianati aspirasi umat. Khilafah, semakin relevan menjadi arus perubahan dan perjuangan umat Islam untuk mencapai kebangkitannya.

Ya, ide Khilafah semakin membahana. Diskusi Khilafah makin digemari, dan bahkan menjadi arus baru perubahan -yang sebelumnya- berulangkali ditipu oleh demokrasi. Khilafah, menjadi harapan penyelamat negeri setelah Pancasila terbukti benar-benar gagal merajut kain tenun kebangsaan yang koyak oleh praktik pemilu curang.


Share this article via

93 Shares

0 Comment