| 374 Views
HET Beras Naik, Benarkah Hidup Petani Membaik?

Oleh : Meti
Pemerhati Masalah Sosial
Dikabarkan, Harga Eceran Tertinggi (HET) beras akan naik permanen usai tanggal 31 Mei 2024. Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah menyiapkan aturan tentang penetapan HET relaksasi beras saat ini, menjadi HET permanen.
Beberapa wilayah seperti Jawa, Lampung, dan Sumatra Selatan kini diberlakukan relaksasi HET beras premium Rp14.000/kg dari HET sebelumnya Rp13.900/kg. Kemudian wilayah Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Kepulauan Bangka Belitung relaksasi HET beras premium diberlakukan Rp15.400/kg dari HET sebelumnya Rp14.400/kg. Wilayah Bali dan Nusa Tenggara, relaksasi HET beras premium di Rp15.400/kg dari HET sebelumnya Rp14.400/kg. Ini juga berlaku sama di wilayah Nusa Tenggara Timur dengan relaksasi HET beras premium Rp15.400/kg dari HET sebelumnya Rp14.400/kg (cnnndonesia.com, 20/5/2024).
Kendati demikian Kepala Badan Bapanas Arief Prasetyo Adi pun menyatakan bahwa Badan Pangan Nasional telah menyampaikan kepada Presiden RI Jokowi saat rapat terbatas bersama sejumlah menteri tentang pangan agar relaksasi harga beras premium diperpanjang. Hasilnya, usulan tersebut disetujui untuk diperpanjang selama satu bulan ke depan (kontan.co.id, 20/3/2024).
Tentu saja naiknya HET beras bukanlah kabar baik untuk semua orang. Di tengah perekonomian rakyat yang sedang tidak menentu, saat rakyat harus bekerja dengan susah payah setiap harinya agar pemasukannya cukup untuk bertahan hidup, harga beras yang menjadi kebutuhan wajib rumah tangga justru terus merangkak naik. Jelas rakyat dengan perekonomian kelas menengah ke bawah harus memutar otak untuk membeli beras.
Begitu pula bagi para petani. Meski satu-dua pihak mengklaim kebijakan ini dapat memberikan fleksibilitas kepada para petani, dalam arti tidak merugikan mereka, faktanya tidak sesederhana itu. Banyak pihak yang menyorot kebijakan tersebut hanya menguntungkan beberapa kalangan, yang sudah pasti bukan petani. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menilai langkah tersebut hanya menguntungkan pedagang, sementara kalangan petani akan terpuruk. Sebab pedagang dapat mengerek harga beras ke angka yang lebih tinggi di tengah harga gabah di tingkat petani menurun seiring dengan panen raya.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih juga menilai di balik kenaikan HET beras hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar. Pasalnya, banyak perusahaan besar yang membeli gabah kepada petani secara langsung, dan mengolahnya di pabrik besar mereka. Harga gabah di tingkat petani terbilang rendah, yang berkisar Rp6.000 hingga Rp.6.400/kg. Bahkan, ada yang seharga di bawahnya. Jelas, harga jual tersebut tidak menguntungkan petani.
Dengan demikian kenaikan HET beras oleh pemerintah yang tidak diimbangi dengan naiknya harga pembelian gabah sama sekali tidak berdampak positif bagi petani. Kenaikan harga beras benar-benar tidak dinikmati petani dan menyejahterakan mereka, sebagaimana pernyataan sejumlah pejabat. Justru makin kesini, rasanya nasib mereka kian tak tentu arah.
Ironi negara agraris yang tidak mampu menstabilkan harga. Realitanya beras tetap saja mahal. Lebih miris lagi, alih-alih negara mengambil langkah penyelamatan, justru memberikan jalan mulus bagi individu ataupun perusahaan mengambil keuntungan. Bukan tanpa sebab, sistem kapitalisme yang eksis di tengah-tengah kehidupan manusia saat ini, memang telah menghilangkan peran negara terhadap rakyatnya. Sebaliknya, negara lebih tertarik untuk berbisnis dengan para pemilik modal. Maka wajar jika persoalan harga pangan tidak pernah bisa diurai dengan beragam kebijakan sekalipun. Pengendalian harga beras di pasar pun tak kunjung terwujud.
Dengan praktik kebebasan yang diusungnya, para pemilik modal bisa leluasa menguasai pasar. Mereka mengakses suluruh komoditas dari hulu, misalnya mengharuskan para petani mau tidak mau harus menjual gabah kepada mereka, di sektor hilir pun mereka menguasai rantai distribusi hingga menguasai pasar, menjual beras berkualitas tinggi. Perusahaan pun mengendalikan, memainkan harga, bahkan tidak jarang menahan pasokan beras di pasar. Dan terjadilah fenomena kenaikan harga beras yang selangit. Dalam sistem kapitalisme, segala sesuatu yang merugikan banyak pihak lazim saja terjadi, selama ada modal.
Sangat berbeda dalam pandangan Islam yang menjamin ketersediaan kebutuhan pokok rakyat. Negara bertanggungjawab untuk mewujudkan kedaulatan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat dalam naungannya. Negara juga bertanggung jawab untuk mendistribusikan kebutuhan pangan secara sehat di tengah masyarakat agar harga pangan dapat dijangkau siapa pun secara layak, dan tentunya tanpa merugikan pihak petani. Negara wajib menjamin kebutuhan petani agar meringankan mereka dalam menentukan harga pangan hasil produksinya.
Penerapan politik ekonomi Islam oleh negara akan menjadi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, mulai dari produksi hingga distribusi, sehingga rakyat mampu membeli kebutuhan pokoknya tanpa merasa diberatkan oleh harga. Negaralah yang mendukung sektor pertanian, menjamin pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat, menjaga kestabilan harga barang menyesuaikan dengan penawaran dan permintaan di pasar, dan satu hal lagi negara menutup pintu dari keterlibatan perusahaan dalam mengendalikan distribusi beras.
Sesungguhnya, produk kebijakan dari kapitalisme pasti gagal menuntaskan persoalan harga beras, termasuk di dalamnya kenaikan HET permanen. Faktanya, banyak orang yang justru dirugikan sebagai imbas dari hal tersebut, baik petani maupun rakyat secara umum, kecuali para kapital. Sehingga hanya dengan Islam persoalan ini mampu dituntaskan sesuai dengan petunjuk syariat Islam. Wallahu a’lam bi showwab.