| 13 Views
Harga Beras Melonjak Saat Stok Melimpah, Kehidupan Rakyat Makin Susah

Oleh : Siti Rodiah
Pemerintah mengklaim bahwa stok beras nasional melimpah, namun fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Buktinya ada lebih dari 130 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga beras pada pekan kedua Juni. Bahkan harga beras melampaui HET (Harga Eceran Tertinggi), tentu saja kondisi ini semakin memberatkan rakyat kecil.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada pekan pertama Juni 2025, hanya terdapat 119 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras. Ini artinya, ada tambahan 14 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras dalam waktu sepekan. Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyebut sudah berbulan-bulan harga beras medium di atas harga eceran tertinggi (HET) secara nasional. Begitu pula dengan beras premium. Menurutnya, kondisi ini terjadi salah satunya lantaran sebagian besar gabah/beras diserap oleh Bulog dan menumpuk di gudang Bulog. (Bisnis.com, 17/6/2025)
Untuk itu para pengamat meminta agar pemerintah melalui Perum Bulog untuk segera menyalurkan bantuan pangan beras 10 kilogram (kg) periode Juni—Juli 2025. Hal ini seiring dengan semakin melebarnya wilayah yang mencatatkan kenaikan harga beras menjadi 133 kabupaten/kota pada pekan kedua Juni 2025. Adapun, Presiden Prabowo Subianto bakal menyalurkan bansos beras untuk 18,3 juta keluarga penerima manfaat dengan total 360.000 ton periode Juni dan Juli secara sekaligus. Di samping itu, pemerintah juga akan menggelontorkan beras SPHP sebanyak 250.000 ton.
Beras SPHP sendiri adalah bagian dari program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan yang dijalankan pemerintah Indonesia untuk menjaga kestabilan harga dan pasokan beras di pasar. Program ini bertujuan melindungi daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, dengan menyediakan beras berkualitas di harga terjangkau.
Jika kita lihat terkait kebijakan pemerintah yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar justru menciptakan penumpukan stok di gudang. Akibatnya, suplai beras ke pasar terganggu dan harga naik. Hal ini wajar terjadi karena beras tidak segera didistribusikan ke masyarakat tapi dibiarkan terus menumpuk di gudang Bulog. Menumpuknya beras di gudang Bulog bisa juga terjadi karena besarnya keran impor beras yang dilakukan pemerintah, sehingga beras yang beredar di masyarakat adalah beras impor tersebut. Inilah ciri pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme, yang tidak pro-rakyat, tetapi tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite.
Dalam kapitalisme, pangan bukan hak dasar rakyat yang wajib dijamin negara, melainkan komoditas yang bisa diperdagangkan demi keuntungan. Tentu saja yang mendapatkan keuntungan tersebut adalah para korporasi atau mafia pangan yang selama ini bermain di balik layar. Para mafia pangan tersebut tidak akan leluasa menjalankan aksinya tanpa ada ijin dari pemerintah. Jadi bisa dipastikan ada oknum-oknum di pemerintahan yang kongkalikong dengan para mafia pangan tersebut. Di sini kita bisa menyimpulkan bahwa negara hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelindung atau penjamin distribusi yang adil. Alhasil, rakyat miskin menjadi korban fluktuasi harga. Bisa dipastikan hidup rakyat semakin tercekik akibat terus didzalimi.
Dalam Khilafah, negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk pangan. Negara akan mengelola produksi, distribusi, dan cadangan pangan secara langsung, tanpa menjadikannya komoditas dagang. Khilafah akan memberi subsidi bibit, bubuk, maupun memberikan saprotan kepada para petani secara cuma-cuma untuk menjamin kualitas beras yang dihasilkan. Sehingga petani lebih produktif dan bersemangat dalam mengelola lahan pertaniannya.
Khilafah juga melarang penimbunan dan memastikan distribusi merata, sehingga harga stabil dan kebutuhan rakyat terjamin. Khilafah akan memastikan harga barang-barang yang tersedia di masyarakat mengikuti mekanisme pasar, bukan dengan mematok harga. Pemastian ini pun merupakan ketundukan pada syariat Islam yang melarang ada intervensi harga. Maka, solusi hakiki bukan tambal sulam regulasi, tapi perubahan sistem.
Sebagaimana hadis Rasulullah saw, Dari Anas bin Malik: Harga menjadi mahal pada masa Rasulullah saw. Lalu orang-orang berkata, “Ya Rasulullah, harga menjadi mahal. Patoklah harga untuk kami.” Rasul saw. bersabda, “Sungguh Allahlah Yang Maha Menetapkan Harga, Maha Menggenggam, Maha Mengulurkan dan Maha Memberi Rezeki. Sungguh aku benar-benar berharap menjumpai Allah, sementara tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntut diriku karena kezaliman dalam hal darah dan tidak pula dalam hal harta.” (HR Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Majah, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban)
Selain itu, negara juga tidak akan membuka keran impor untuk komoditas yang telah tercukupi di dalam negeri. Karena negara akan memprioritaskan hasil produksi lokal. Negara akan membuka keran impor bagi komoditas yang tidak ada di dalam negeri. Dengan demikian, hanya dengan mekanisme Islamlah kebutuhan pangan rakyat akan dijamin dan terjamin. Sebab negara menjalankan perannya secara totalitas sebagai pemelihara dan pelayan urusan rakyatnya, bukan pemelihara dan pelayan kepentingan para pengusaha. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain selain diterapkannya syariat Islam secara kaffah di dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Hal ini hanya bisa diwujudkan dalam negara Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a'lam bisshawab