| 9 Views

Haji Mahal, Pelayanan Gagal

Oleh : Panca Andini

Sungguh miris yang dialami salah satu jemaah haji Indonesia, Heri Risdyanto bin Warimin asal Bandung. Heri berangkat haji bersama istri dan kedua orang tuanya. Kebahagiaan karena keberangkatannya ke Tanah suci seketika berubah menjadi kesedihan mendalam karena sesampainya di Bandara Jeddah, Heri tidak lolos pemeriksaan, padahal semua dokumen yang dimilikinya lengkap. Termasuk visa, paspor, ID jamaah, tiket pulang-pergi, dan uang untuk living cost. Bahkan, nama Heri dan keluarganya tercatat sebagai jamaah yang akan menerima fasilitas hotel di Makkah.

Setelah melalui pemeriksaan, ternyata ada pembatalan visa Heri, padahal dia merasa tidak pernah melakukan pembatalan visa dan penundaan visa. Bahkan akses masuk ke sistem visa sangat terbatas. Ketika memeriksa sistem Haji Pintar milik Kemenag, memang ditemukan perubahan akun pada data Heri. Data yang semula lengkap tiba-tiba hilang. 

Heri menyampaikan, ada satu petugas haji  Kemenag yang datang ke bandara, hanya sebentar namun tidak kembali. Sehingga Heri pun menghadap petugas bandara Jeddah seorang diri. (khazanah.republika.co.id/2 Juni 2025)

Jika dihitung dan ditimbang dari biaya yang harus dikeluarkan Heri untuk keberangkatan haji bersama keluarga, tidaklah sedikit. Karena tidak kita pungkiri biaya keberangkatan haji saat ini sangat mahal. Lantas bagaimana nasibnya jika sudah membayar mahal-pun, dia tidak bisa melaksanakan haji. Siapa sebenarnya yang patut disalahkan? 

Haji Mahal
Setiap Jemaah yang akan melaksanakan haji harus membayar dana yang tidak sedikit, mencapai 93,41 juta. Angka ini terbilang tinggi bagi masyarakat Indonesia. Mereka harus menyisihkan tabungan bertahun-tahun untuk bisa membayarnya. Namun, sangat disayangkan jika apa yang sudah diupayakan ini tidak sepadan dengan pelayanan yang didapat. Masyarakat masih harus banyak berhadapan dengan persoalan haji secara tekhnis, tidak hanya besarnya biaya yang dikeluarkan.

Selain pelayanan, tidak jarang fasilitas juga tidak sepadan. Ini membuat pengalaman perjalanan spiritualnya terganggu dan menuai ketidaknyamanan. Belum lagi jika kita melihat bahwa sangat banyak masyarakat Indonesia yang tidak bisa melaksanakan haji karena ketidakmampuan mereka secara finansial. Mereka hanya bisa bermimpi sampai di Tanah Suci tanpa bisa mewujudkannya karena jangankan untuk menabung uang berhaji, untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari masih sulit. 

Kapitalisme dan Sekat Nasionalisme adalah Biangnya                                                               
Mahalnya biaya haji tidak terlepas dari adanya komersialisasi. Banyak pengusaha yang membangun hotel berbintang. Dengan biaya mahal bisa mendapat fasilitas bagus, lengkap, dekat dengan tempat ibadah. Sebaliknya jika tidak bisa membayar mahal, maka harus puas dengan fasilitas apa adanya, hotel yang cukup jauh dengan tempat ibadah. Dan ini sudah bukan rahasia umum lagi, bahkan menjadi sebuah tawaran ketikan akan melaksanakan haji.

Komersialisasi tidak hanya berhenti sampai disini. Ketika Indonesia mendapat tambahan kuota jumlah haji, ternyata pemerintah menambha peruntukannya justru 50% untuk ONH plus, yang harga nya jauh lebih mahal dengan haji regular. Artinya kesempatan itu dibuka hanya bagi mereka yang mempunyai banyak uang dan berkesempatan mendaftar dengan ONH plus. Sehingga sangat namapak kapitalisasi dan komersialisasinya. Karena semata hanya demi menunjang kelangsungan ekonomi dan keuntungan.

Ditambah dengan persoalan lainnya, seperti syarat haji yang harus mengurus visa haji, sangat merepotkan calon Jemaah. Biaya mengurus visa juga terbilang sangat mahal. Banyak persoalan juga yang ditimbulkan, beberapa kasus ditemukan ketika mengurus visa haji, justru yang didapat adalah visa nonhaji. Bahkan karena mahalnya visa haji, ada yang berinisiatif berangkat haji secara mandiri agar murah, namun tetap tidak bisa melaksanakan haji karena penjagaan sistem yang ketat ketika akan masuk ke Tanah suci untuk beribadah haji.

Semua persoalan ini sebagai akibat adanya pemisahan dan penyekatan negara bangsa atau yang kita kenal dengan istilah nasionalisme. Mengakibatkan negeri-negeri kaum muslimin dengan negara Arab Saudi menjadi wilayah dan negara yang berbeda. Jika kaum muslimin di luar Arab Saudi akan berhaji harus mengurus izin masuk ke negara tersebut dengan visa.

Kita perlu menyadari, bahwa sebenarnya sekat negara bagi kaum muslimin ini tidak lepas dari upaya kaum kafir supaya umat muslimin tidak bersatu. Dengan adanya sekat-sekat nasionalisme, mereka dengan mudah mengatur dan mengarahkan kaum muslimin.

Inilah realita kaum muslimin saat ini, yaitu kita tersekat dengan nasionalisme dan terkungkung dengan kapitalisme, yang menjadikan standar materi dan keuntungan atas segala perbuatan dan tujuan meraih kebahagiaan.

Keniscayaan Persatuan Umat dengan Islam
Masalah ini bisa terselesaikan hanya dengan ketika kaum muslimin bersatu. Yaitu bersatu di bawah naungan sistem Islam Kaffah. Rasulullah sudah mencontohkan dan mensyariatkan bahwa kaum muslimin wajib berada dalam naungan satu negara yang diatur dengan syariat, dan dipimpin oleh satu Khalifah yang menjamin pelaksanaan syariat Islam tersebut. Kaum muslimin tidak disekat dalam bentuk negara bangsa. Tidak ada perbedaan kaum muslimin Indonesia, kaum muslimin Arab Saudi, dan sebagainya.
Semua bisa melaksanakan haji masuk ke Tanah suci dengan mudah, tidak membayar mahal, dan bahkan tidak perlu mengurus izin masuk ke wilayah tersebut karena sejatinya semua adalah negeri kaum muslimin.

Seorang Khalifah sebagai pemimpin kaum muslimin juga bukan pengusaha atau pebisnis, tapi seorang pemimpin yang bertanggung jawab penuh untuk melindungi, menjadi junnah dan pengayom bagi rakyatnya. Salah satunya adalah menjamin seluruh kaum muslimin untuk bisa berhaji dengan mudah, aman, nyaman, tanpa beban.

Khalifah tidak membedakan Jemaah haji berdasarkan biaya yang mereka keluarkan, karena memang tanpa biaya. Tidak membedakan darimana asal mereka. Penyelenggaraan haji tidak dihitung sebagai bisnis yang diharapakan keuntungannya dan menjadi pemasukan atau pendapatan negara. Apalagi pendapatan dan keuntungan bagi segilintir elit yang mampu bermain di area tersebut. 

Khalifah akan mengatur sedemikian rupa pelaksanaan haji sesuai dengan kapasitas yang tersedia, misal disesuaikan dengan jumlah tenda haji di Mina, Arafah, Masdidil Haram untuk thawaf. Mendahulukan usia tua untuk berhaji terlebih dahulu, dan lain sebagainya.

Sosok khalifah juga bukan sebagai pebisnis, melainkan pemimpin yang mengayomi rakyatnya. Salah satunya adalah menjamin seluruh kaum muslim bisa berhaji dengan tenang, aman, nyaman, dan tidak terbebani. Khalifah tidak boleh membedakan fasilitas antara muslim satu dengan yang lain. Semua akan diurus sama karena tujuan penyelenggaraan haji bukan keuntungan, tetapi untuk beribadah menyempurnakan rukun Islam. Penyediaan fasilitas akan sama rata, jemaah tidak perlu membayar lebih mahal hanya demi bisa mendapatkan fasilitas terbaik. 

Sudah saatnya kita kembali pada kepemimpinan Islam Kaffah, sebuah kepemimpinan yang menjamin seluruh kesejahteraan rakyat termasuk pelaksanaan Haji, yang merupakan salah satu kewajiban sebagai kaum muslimin karena masuk dalam Rukun Islam.

Wallahualam


Share this article via

0 Shares

0 Comment