| 13 Views
Genosida di Palestina, Bagaimana Cara Menghentikannya?

Oleh : Ummu Syam
Aktivis Muslimah Cibarusah
Pasca serangan 7 Oktober 2023 lalu, perang Palestina semakin menyedot atensi publik khususnya dari kalangan kaum muslimin itu sendiri. Pasalnya, secara historis, Palestina (baitul maqdis) merupakan kiblat pertama bagi kaum muslimin. Di samping itu, Palestina juga merupakan negeri para nabi. Banyak peristiwa sejarah terjadi di wilayah ini, di antaranya Isra Mi'raj dan perang Ain Jalut. Dan jika dilihat secara geografis, letak wilayah Palestina diapit oleh negeri-negeri muslim. Itulah mengapa, konflik Palestina menjadi isu yang sangat sentimental di kalangan kaum muslimin.
Genosida yang terjadi di Palestina pada hari ini adalah bagian dari serangkaian peristiwa sejarah, sejak tanah itu diminta oleh Theodore Herzl kepada Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1896 silam. Hingga pada akhirnya wilayah ini harus jatuh ke tangan Inggris imbas dari kekalahan Daulah Khilafah Utsmaniyah pada Perang Dunia I. Puncaknya, pada tahun 1947, Liga Bangsa-Bangsa menyetujui pembagian Palestina menjadi dua negara, yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab. Hal ini menjadi mimpi buruk bagi kaum muslimin pasca dihapusnya sistem Khilafah di tahun 1924.
Pendudukan yang dilakukan oleh Israel telah membawa banyak penderitaan bagi masyarakat sipil Palestina, baik secara fisik maupun mental. Dilaporkan dari Al-Jazeera (23/3/2025), Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan sedikitnya 50.021 warga Palestina telah tewas dan 113.274 terluka sejak Israel mulai menyerang wilayah yang terkepung itu menyusul serangan yang dipimpin oleh kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober 2023.
Hal ini menjadi perhatian keras bagi dunia internasional. Banyak yang menyuarakan untuk menghentikan genosida di Palestina baik dari kalangan masyarakat sipil, civitas akademika, hingga para negarawan.
Upaya untuk Mewujudkan Penghentian Genosida di Palestina
77 tahun sudah masyarakat sipil Palestina hidup di bawah tekanan pendudukan Israel. Berbagai upaya yang telah dilakukan PBB, Liga Arab, dan OKI dari tahun ke tahun nyatanya tidak mampu untuk menghentikan genosida. Bantuan kemanusiaan berupa makanan, obat-obatan dan pakaian yang dikirim oleh kaum muslimin dari seluruh dunia hanya mampu membebaskan sementara masyarakat sipil dari kelaparan, tapi tidak dengan aneksasi.
Maka, dunia internasional membutuhkan langkah konkret untuk menghentikan genosida ini. Jika dilihat dari tempo yang dibutuhkan, upaya menghentikan genosida ini bisa dibagi menjadi dua periode, yakni periode jangka pendek dan periode jangka panjang.
Kemudian, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah dibutuhkannya change maker (pembuat perubahan), yang mampu membawa nasib Palestina kepada kondisi yang jauh lebih baik lagi. Di samping itu, perlu digaris bawahi bahwasannya situasi politik senantiasa dinamis. Artinya, sesuatu yang tidak mungkin pada hari ini, bisa menjadi suatu kemungkinan pada hari esok.
Pada periode jangka pendek, negara yang bisa menjadi change maker adalah Amerika Serikat. Sebab, Amerika Serikat adalah negara yang paling vokal dalam mendukung Israel baik dari segi pasukan militer, persenjataan, maupun opini publik. Hal ini dibuktikan melalui data yang dirilis oleh Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
SIPRI mengungkapkan bahwa sekitar 69% persenjataan Israel dipasok oleh Amerika Serikat pada periode 2019-2023, dan angka ini meningkat menjadi 78% pada 2024. Lembaga ini juga mencatat terjadinya lonjakan pengiriman senjata Amerika Serikat ke Israel. Hingga Desember 2023, Amerika Serikat telah mengirimkan lebih dari 10.000 ton senjata senilai US$ 2,4 miliar kepada Israel. Jumlah ini melonjak menjadi 50.000 ton pada Agustus 2024.
Menurut Dewan Hubungan Luar Negeri (CFR), Amerika Serikat telah memberikan lebih dari US$ 310 miliar bantuan militer dan ekonomi kepada Israel sejak negara itu berdiri.
Jika dinalar, hal ini hampir tidak mungkin bagi Amerika Serikat untuk menghentikan genosida di Palestina, mengingat Amerika Serikat adalah negara kafir yang sangat memusuhi umat Islam. Namun, kembali, situasi politik senantiasa dinamis. Dinamisnya situasi politik ini bisa kaum muslimin pelajari dari kasus Afghanistan.
Pada tahun 1989, Uni Soviet harus hengkang dari Afghanistan setelah hampir satu dekade menginvasi negara tersebut. Pun dengan Amerika Serikat yang harus memukul mundur pasukan militernya dari Afghanistan pada tahun 2020-2021. Faktor hengkangnya dua kekuasaan besar dari dua ideologi yang berbeda ini memiliki kemiripan satu sama lain, yakni kombinasi faktor eksternal dan internal dimana salah satunya adalah biaya perang yang tidak murah.
Artinya, bukanlah suatu hal yang mustahil juga bagi Amerika Serikat untuk menghentikan dukungannya pada Israel, mengingat biaya perang tidaklah murah. Meski di sisi lain, kemungkinan besar Amerika Serikat akan sulit untuk melepaskan cengkramannya pada wilayah Timur Tengah, menimbang kembali adanya konflik kepentingan di wilayah yang disebut sebagai 'playground' -nya negara-negara Barat ini.
Periode Jangka Panjang: Misi Pembebasan Palestina
Dihapuskannya sistem Khilafah pada tahun 1924 oleh Inggris telah menyebabkan dunia Islam terpecah belah dalam sekat nasionalisme. Tak pelak, jika negara-negara muslim melakukan normalisasi dengan Israel, jika pembebasan Palestina bukan lagi menjadi misi kaum muslimin. Misi pembebasan Palestina hanya menjadi pepesan kosong para penguasa yang duduk di atas singgasana kekuasaan.
Realitas ini harus membawa kaum muslimin pada titik balik bahwasannya kepempimpinan dalam bingkai nasionalisme itu sangatlah rapuh, kaum muslimin butuh adanya sebuah kepemimpinan yang dapat menjadi perisai, tempat umat berlindung dan berperang dengannya.
Kaum muslimin harus belajar dari seorang Salahuddin Al-Ayyubi yang menjadi change maker dalam misi pembebasan Palestina. Salahuddin Al-Ayyubi kala itu memobilisasi kekuatan umat Islam di antaranya dengan mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Selanjutnya, Salahuddin Al-Ayyubi melakukan penaklukan.
Dakwah adalah salah satu cara untuk memobilisasi kekuatan umat Islam. Mengungkap makar orang-orang kafir dan penguasa fasik, menyatukan pemikiran dan perasaan kaum muslimin untuk keluar dari kotak nasionalisme dan kapitalisme, hingga menegakkan sebuah kepemimpinan baru yang lebih kokoh yakni Khilafah Islamiyah. Dengannya, jihad untuk membebaskan Palestina dapat terlaksana.
Namun, jihad dan Khilafah tidak akan terlaksana tanpa meningkatnya kesadaran literasi politik pada diri kaum muslimin. Karena literasi menjadi salah satu cara kebangkitan umat. Melalui literasi politik, pemikiran kaum muslimin akan tajam setajam mata elang sehingga ia mampu menginterpretasikan segala situasi politik. Hal ini sejalan dengan teori perang, "Siapa yang berada pada tempat yang tinggi, dia akan menang".
"Tempat yang tinggi" adalah analogi untuk pemikiran yang cemerlang, pemikiran yang tajam, dan wawasan yang luas. Dan itu hanya didapatkan dari proses belajar dan kesadaran terhadap literasi. Pada akhirnya, Palestina akan bebas dengan Alquran, persenjataan, dan cinta kasih terhadap sesama manusia.
"Israel memiliki wilayah yang sangat kecil, jika umat Islam bergerak from the river to the sea, habislah Israel" - Pernyataan Benyamin Netanyahu pada salah satu wawancaranya.
Wallahu a'lam bish-shawab.