| 438 Views

Generasi Terbuang: Krisis Pengangguran Gen Z di Sistem Kapitalisme

Oleh : Rasmawati Asri, SE

Data yang disampaikan oleh Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas, Maliki, menggambarkan sebuah realitas yang mengkhawatirkan mengenai kondisi penduduk muda Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, sekitar 9,9 juta individu usia muda (15—24 tahun) tidak terlibat dalam kegiatan apapun, dikenal dengan istilah NEET singkatan dari Not in Education, Employment, or Training (CNBC Indonesia, 15/05/2024).

Fenomena ini menjadi sorotan utama, terutama mengingat bahwa persentase generasi muda Indonesia usia 15—24 tahun yang berstatus NEET mencapai 22,25% dari total penduduk dalam rentang usia tersebut secara nasional. Hal ini menciptakan dampak yang signifikan, terutama pada generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, dan kini berusia antara 12 hingga 27 tahun.

Kondisi ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan ekonomi mereka, tetapi juga mengindikasikan adanya perasaan putus asa di kalangan generasi muda. Rasa tidak percaya diri dalam mencari pekerjaan menjadi salah satu dampaknya, menyebabkan mereka enggan melamar pekerjaan dan akhirnya tergolong sebagai NEET. 

Santai menjadi Gen Z
Tidak melakukan aktivitas dengan tidak bersekolah atau bekerja yang dialami sama generasi muda hari ini. Hidup santai tanpa harus diambil pusing. Jalan aja sesuai dengan kemauannya. Tanpa ada semangat dalam hidup. Rebahan, scroll sosmed, dan bersantai ria lainnya. Padahal yang ada dipikiran menumpuk dengan berbagai macam overthiking yang dialami oleh Gen Z. Sulit tidur misalnya rata-rata dialami oleh kebanyakan Gen Z.

Dengan kemudahan informasi dan banyak cara instan yang ditempuh, membuat Gen Z menginginkan hal yang serupa, misalnya sukses dengan cara instan tanpa perlu waktu yang lama. Padahal semua hal butuh proses dan waktu.

Hilangnya Lapangan Kerja
Faktor utama banyaknya pengangguran hari ini disebabkan beberapa hal (Kompas.com, 24/05/2024). Pertama kurang sinkron antara pendidikan dan permintaan tenaga kerja, banyak lulusan dari pendidikan tetapi dari tenaga kerja tidak dibutuhkan. Kedua, menurun lapangan pekerjaan di sektor formal. Yaitu sebuah pekerjaan yang memiliki perjanjian kerja dengan perusahaan yang berbadan hukum.

Di dalam sistem Kapitalisme yang berpegang pada kebebasan membuat mereka berbuat semaunya. Lapangan pekerjaan hanya dikuasai oleh segelintir orang, sehingga negara hanya sebagai regulator saja, bukan pengurus. Banyaknya impor tenaga kerja yang membuat lapangan pekerjaan pun berkurang. Ketika sumber daya alam dikuasai oleh pemilik modal besar, maka sulit untuk mencapai kesetaraan antara permintaan tenaga kerja dan keluarnya lulusan baru.

Perekonomian Terancam

Meningkatnya jumlah pengangguran diusia muda merupakan ancaman bagi perekonomian, pemuda yang seharusnya jauh lebih produktif bisa menompang kehidupan orangtua yang sudah tidak produktif lagi justru menjadi ancaman perekonomian. 

Menariknya, para pemuda yang menganggur ini sebenarnya memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Mereka telah menempuh pendidikan formal selama 12 tahun, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah kejuruan (SMK). Di SMK, mereka dilatih untuk siap kerja dengan keterampilan khusus seperti desain grafis, rekayasa perangkat lunak, keperawatan, akuntansi, administrasi perkantoran, tata boga, tata busana, tata rias, pelayaran, farmasi, dan lain-lain.

Namun kenyataannya, banyak lulusan SMK yang menganggur setelah menyelesaikan pendidikan mereka. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan utama SMK, yaitu untuk menghasilkan tenaga kerja terampil yang siap bekerja. Selain itu, terdapat kesenjangan yang signifikan antara dunia pendidikan di SMK dan kebutuhan industri. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa negara gagal dalam mempersiapkan siswa untuk menjadi ahli di bidang mereka masing-masing.

Ketika membahas pengangguran, sebenarnya kita sedang membicarakan masalah makro yang mempengaruhi negara ini secara keseluruhan, bukan hanya masalah mikro seperti keterampilan individu pencari kerja. Tingginya angka pengangguran di kalangan pemuda tidak terlepas dari terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia.

Akibatnya, kunci dari masalah ini terletak pada ketersediaan lapangan pekerjaan. Dalam sistem kapitalisme, peran pemerintah hanya sebagai "perantara" yang menghubungkan penyedia sumber daya manusia, yaitu dunia pendidikan, dengan penyedia lapangan kerja, yaitu industri. Pemerintah tidak terlibat langsung dalam penyediaan lapangan pekerjaan, sementara industri memiliki agenda sendiri yang tidak selalu selaras dengan agenda dunia pendidikan. Dengan kondisi seperti ini, kedua pihak tersebut tidak akan pernah bisa berjalan seiring.

Islam punya Solusi
Berbeda dengan pemerintahan di dalam Islam, sistem Islam memiliki posisi sebagai pengurus (raa’in). Memiliki tanggungjawab terhadap rakyatnya salah satunya dengan menyediakan lapangan pekerjaan. Sebagai mana sabda Nabi Saw. : “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpinnya. Penguasa yang memimpin rakyatnya, dia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Khilafah akan mengembangkan industrialisasi domestik dengan mendirikan industri alat-alat. Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya, *As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla*, menyatakan bahwa untuk menjadi negara industri, harus dimulai dengan menciptakan industri alat-alat (penghasil mesin). Dengan adanya industri ini, akan muncul industri-industri lainnya.

Hasilnya, pada masa lalu Khilafah memiliki spektrum industri yang sangat luas. Donald R. Hill dalam bukunya, *Islamic Technology: an Illustrated History* (Unesco & The Press Syndicate of the University of Cambridge, 1986), mencatat berbagai industri yang pernah ada dalam sejarah Islam, termasuk industri mesin, persenjataan, kimia, bahan bangunan, tekstil, kertas, perkapalan, kulit, pangan, hingga metalurgi dan pertambangan.

Dengan spektrum industri yang begitu luas, Khilafah menyediakan lapangan kerja yang sangat banyak. Berapapun lulusan dari dunia pendidikan, akan terserap dalam industri. Akibatnya, tidak ada pengangguran dalam Khilafah, kecuali mereka yang fisiknya lemah dan dinafkahi oleh kerabat atau negara.

Industrialisasi ini dimulai dengan mengembalikan harta milik umum, seperti pertambangan, yang sebelumnya dikuasai oleh swasta kapitalis, menjadi milik rakyat dengan negara sebagai pengelolanya. Dengan demikian, seluruh rakyat dapat merasakan manfaatnya dan turut serta dalam proses industrinya.


Share this article via

70 Shares

0 Comment