| 23 Views
Drama Pagar Laut Bukti Kuatnya Cengkeraman Korporasi

Oleh : Ratna Sari
RAPAT antara Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk membahas persoalan pagar laut dan sejumlah isu kelautan harus segera ditindaklanjuti secara konkrit. Agar masalahnya tidak semakin berlarut-larut.
Langkah KKP yang melakukan respons terhadap pagar laut karena tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) belum memuaskan publik. Apalagi pihak KKP mengakui pihaknya masih punya kelemahan dalam pengawasan ruang laut. Begitu pun sanksi yang akan diberikan kepada pihak yang mengkapling wilayah laut hanya berupa sanksi administrasi berupa denda yang murah.
Mafia pagar laut yang marak di berbagai daerah kini mencuatkan paradoks. Sumber daya kelautan, pesisir dan pulau kecil kini bisa dikelola seenaknya tanpa campur tangan pemerintah daerah bahkan tanpa partisipasi penduduk lokal.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi sumberdaya kelautan yang mencapai 3.000 triliun rupiah per tahun belum terkelola dengan baik. UU Nomor. 11/2020 tentang Cipta Kerja mereduksi perizinan dan kemudahan investor.
Kasus pagar laut di berbagai tempat ini sejatinya sudah jelas ada pelanggaran hukum, namun tidak segera ditindaklanjuti dan dibawa dalam aspek pidana. Bahkan nampak adanya beberapa pihak yang dijadikan kambing hitam, namun otaknya tidak tersentuh oleh hukum. Para pejabat pun sibuk bersilat lidah dan berlepas tangan.
Kasus ini, sebagaimana juga kasus penjualan area pesisir laut di berbagai pulau menunjukkan kuatnya korporasi dalam lingkaran kekuasaan, atau yang disebut dengan istilah korporatokrasi.
Negara kalah dengan para korporat yang memiliki banyak uang. Bahkan aparat/pegawai negara menjadi fasilitator kejahatan terhadap rakyat, bekerja sama melanggar hukum. Membawa kemudaratan buat rakyat dan mengancam kedaulatan negara.
Prinsip liberalisme dalam ekonomi kapitalisme membuka peluang terjadinya korporatokrasi, munculnya aturan yang berpihak pada oligarki.
Negara seharusnya berfungsi sebagai raa'in dan Jannah bagi rakyat. Semua ini akan terwujud ketika aturan bersumber pada hukum Syara', dan bukan akal manusia.
Kawasan yang merupakan milik umum, termasuk kawasan laut, terbuka untuk dimanfaatkan oleh siapa saja. Ini persis sebagaimana Mina yang diizinkan oleh Nabi saw. bagi siapa saja yang datang ke sana untuk menunaikan ibadah haji. Sabda Rasulullah saw.: Mina adalah tempat singgah bagi siapa saja yang datang lebih dulu (HR at-Tirmidzi).
Karena itu, pembatasan akses masyarakat terhadap kawasan milik umum, seperti laut, adalah haram. "Apalagi jika hal tersebut mengakibatkan kemudaratan atau kerugian bagi masyarakat. Kaum Muslim, apalagi penguasa, berkewajiban untuk mencegah kemudaratan atau kerugian apapun yang menimpa rakyat.
Salah satu penyebab konflik lahan, termasuk kawasan perairan, di negeri ini adalah karena ketidakjelasan perlindungan terhadap kepemilikan lahan. Akibatnya, kerap terjadi kasus penyerobotan lahan warga; baik oleh warga lainnya, oleh perusahaan, ataupun oleh negara.
Islam memiliki sistem ekonomi Islam dengan konsep kepemilikan lengkap dengan aturan pengelolaannya. Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas bagi pelanggar hukum. Semua sama di hadapan hukum. Dengan prinsip kedaulatan di tangan syara';maka korporatokrasi dapat dicegah. Apalagi Islam menetapkan penguasa wajib menjalankan aturan Islam saja, dan haram menyentuh harta rakyat atau memfasilitasi pihak lain mengambil harta miliki rakyat.