| 83 Views

Dinasti Politik dalam Demokrasi

Oleh : Alin Aldini, S.S.
Aktivis Muslimah

Tiba-tiba jadi presiden, tiba-tiba jadi ketua umum partai, semua bisa terjadi tiba-tiba asal ada duit atau sokongan dana dari donatur/korporasi yang mempunyai modal untuk memberinya kursi atau jabatan. Itulah yang terjadi saat ini, hukum bisa diubah sesuai dengan keinginan orang yang mempunyai pengaruh. 

Contohnya, MA mengabulkan hak uji materi (HUM) yang dimohonkan oleh Ketum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana terhadap atas Pasal 4 ayat 1 huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Awalnya, isi dari pasal tersebut berbunyi: “Berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak penetapan pasangan calon.”

Setelah putusan MA No 23P/HUM/2024 maka isinya menjadi: “Berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.”

Dari kasus di atas, plesetan Mahkamah Adik (MA) dan Mahkamah Kakak (MK) pun terjadi di sosial media, buntut dari putusan MK yang berhasil memuluskan langkah Gibran putra Jokowi mencalonkan diri dalam pilpres 2024. Aji mumpung memangku jabatan kekuasaan, anak-putra mantu juga diboyong ke singgasana, menggunakan kereta kencana dinasti politik demokrasi. 

Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat realitasnya tidak demikian. Kepala negara atau penguasa yang seharusnya bisa menyejahterakan rakyat, malah sibuk mensejahterakan keluarganya saja. Tentu dalam hal ini, kekayaan di bumi bisa dikuasai hanya untuk keluarga penguasa, tidak untuk rakyat. Maka kemampuan (kepemimpinan berpikir) pada diri penguasa patut dipertanyakan, apakah mumpuni dan mampu menjabat kekuasaan atau tidak?

Kedinastian memang pernah terjadi di masa Islam diterapkan sebagai sistem kehidupan politik pada abad pertengahan, namun pada praktiknya tidak sedikit juga yang turun/lengser, baik itu wafat sampai terjadi kudeta atau banyaknya pemberontakan di beberapa wilayah. Hingga akhirnya, penguasa terpilihlah yang memang sanggup dan mampu memimpin umat sebagai kepala negara, begitulah salah satu syarat khalifah/pemimpin negara yaitu mampu selain harus laki-laki, Muslim, baligh (cukup umur dan matang fisik), berakal, merdeka, dan adil.

Seorang calon pemimpin atau khalifah akan dilihat rekam jejaknya (track record) selama ia hidup sehingga jelas apakah termasuk memenuhi syarat mampu dan adil atau fasik dan hanya pencitraan. Sementara itu bagi kepala daerah akan dipilih/dilantik langsung oleh khalifah, yang mana calon-calonnya diusung langsung oleh rakyat melalui Majelis Umat dan/atau majelis wilayah setingkat kabupaten/kota, bukan oleh partai apalagi oligarki yang punya modal paling besar.

Selain itu, keutamaan seorang pemimpin memiliki keberanian dan sikap wara' (hati-hati) dalam membuat kebijakan, karena setiap apa yang dilakukannya berdampak pada hajat hidup orang banyak, terlebih lagi akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Apakah penguasa hari ini tidak takut akan azab-Nya?

Saksi di hari akhir tidak bisa mendatangkan sanak keluarga dan kaum kerabat, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat 'Abasa ayat 37 yang artinya, "Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya."

Hasan al-Bashri pernah berpesan, “Aku khawatir kalau-kalau Allah mengutus malaikat-Nya kepadamu lalu menurunkanmu dari singgasanamu, lalu mengeluarkanmu dari luasnya istanamu menuju sempitnya lubang kuburmu, lantas tidak ada yang dapat menyelamatkanmu kecuali amalmu."

Lalu kekuasaan mana yang mampu menolong di hari akhir kelak jika bukan kekuasaan yang diberikan pada rakyat yang memiliki kepemimpinan berpikir Islam dengan demokrasi yang terus dibodoh-bodohi dengan rusaknya supremasi hukum karena bukan bersumber dari sang Khaliq yaitu Allah SWT?[]


Share this article via

61 Shares

0 Comment