| 27 Views
Dari Fantasi Bejat Menuju Tatanan Bermartabat

Oleh : Atiqoh Shamila
Grup Facebook bernama 'Fantasi Sedarah' menjadi sorotan warganet. Keberadaannya menghebohkan media sosial hingga menarik perhatian publik secara luas. Beberapa percakapan dalam grup tersebut terindikasi mengarah pada praktik inses atau hubungan seks sedarah. Setelah kontennya viral, barulah Kementerian Komunikasi dan Digital mengambil langkah dengan memblokir grup tersebut (Republika; 17/05/2025)
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengutuk keras eksisnya grup Facebook yang menormalisasi tindakan asusila tersebut, inses jelas sangat membahayakan perempuan dan anak bahkan tatanan keluarga. KemenPPPA berkolaborasi dengan Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPA-PPO) Polri untuk dapat segera mengusut akun medsos Facebook tersebut. Tidak cukup dengan mengusut dan memblokir tapi harus diberi hukuman yang menjerakan bagi pelaku atau admin grup tersebut.
Tidak ada kata yang lebih pantas selain “sangat menjijikkan dan tidak manusiawi” terhadap fenomena inses di tengah masyarakat kita hari ini. Padahal kita terkenal sebagai negara yang religius. Realita keji ini menggambarkan adanya pengabaian terhadap aturan agama maupun masyarakat. Masyarakat hidup bebas tanpa aturan, nafsu bejat dibiarkan liar menabrak semua norma kehidupan, kepuasaan individu menjadi tujuan utama tanpa pertimbangan moral, jika kondisinya seperti ini apa bedanya dengan binatang? Tatanan keluarga porak poranda, silsilah keluarga kacau balau bahkan sistem keluarga muslim hancur.
Jika dicermati lebih dalam, inilah efek diterapkannya sistem kehidupan sekuler kapitalisme, sistem yang menjauhkan manusia dari agama. Ketiadaan agama menyebabkan manusia dikuasai hawa nafsunya, akalnya pun tunduk pada nafsu liarnya yang menyesatkan, rusak dan merusak. Bahkan sistem kapitalisme yang sepaket dengan liberalisme menjadikan rusaknya sendi-sendi kemuliaan manusia.
Peran negara yang seharusnya menjadi pelindung dan pendukung institusi keluarga, namun dalam praktiknya justru berkontribusi pada kerusakan atau pelemahan keluarga. Ada beberapa kebijakan negara yang secara langsung maupun tidak langsung merusak institusi keluarga. Misal, kebijakan ekonomi yang mendorong kedua orangtua bekerja penuh waktu demi mencukupi kebutuhan hidup sehingga waktu bersama anak-anak menjadi terbatas, ikatan emosional yang lemah dan minimnya pendidikan karakter di rumah.
Sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini pun sekuler, menanamkan nilai-nilai individu, kebebasan yang mutlak pada anak-anak tanpa mendasarinya dengan keimanan yang kokoh. Outputnya, generasi yang hanya terasah keilmuannya namun tumpul adab dan etikanya karena agama tidak menjadi patokan dalam bertingkah laku. Yang terjadi kemudian, anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang jauh dari nilai moral dan spiritual.
Dalam kasus ini negara tidak berperan menjaga sendi kehidupan keluarga. Buktinya, negara tidak menyediakan perlindungan ekonomi yang cukup bagi keluarga, seperti kebijkan upah layak, jaminan sosial, atau insentif yang mencukupi untuk seluruh warga negara yang tidak mampu. Selain itu, negara juga tidak membatasi konten-konten yang tidak pantas dan merusak di media sosial dan internet. Mudahnya mengakses konten porno menjadi celah yang dapat menginspirasi siapapun untuk berperilaku yang tidak senonoh.
Satu-satunya solusi dari masalah yang sangat pelik ini, hanya Islam. Islam adalah jalan hidup shahih, yang mengatur semua urusan manusia dan menjadikan rakyat sebagai pelaksana hukum syara. Islam mewajibkan negara untuk mengurus rakyat dalam semua aspek kehidupan termasuk menjaga keutuhan keluarga dan norma-norma keluarga dalam sistem sosial sesuai dengan Islam.
Islam tegas menghukumi setiap perbuatan yang melanggar aturan syara’. Maka dalam Islam perilaku inses sebagai satu keharaman yang wajib dijauhi. Negara menyiapkan berbagai langkah pencegahan termasuk membangun kekuatan iman dan takwa, dan menutup semua celah terjadinya keburukan ini. Sehingga tidak ada peluang sedikit pun terjadinya normalisasi maksiat karena individunya mempunyai tameng keimanan yang kokoh. Di samping itu, adanya amar makruf nahi munkar menjadi lapisan kedua dalam menjaga kemuliaan manusia.
Dalam Sistem Islam, diterapkan sanksi yang tegas sebagai bentuk hukuman terhadap pelaku maksiat. Sanksi ini bukan semata-mata bertujuan untuk menghukum, melainkan memiliki beberapa hikmah penting. Pertama, sanksi tersebut berfungsi sebagai pencegah (zawajir), yakni mencegah masyarakat secara umum dari melakukan perbuatan serupa. Ketika seseorang mengetahui bahwa perbuatan maksiat akan dihadapkan pada konsekuensi tegas dan nyata, ia akan berpikir dua kali sebelum melanggarnya. Ini menciptakan efek jera yang kuat dan membentuk lingkungan sosial yang lebih bersih dari kemaksiatan.
Kedua, sanksi tersebut juga bersifat sebagai penebus dosa (jawabir) bagi pelaku maksiat. Artinya, dengan dijatuhkannya hukuman sesuai syariat, pelaku tidak akan lagi dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan hukum Islam sejatinya adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya—agar mereka tidak menanggung siksa yang lebih pedih di akhirat kelak.
Selain itu, penerapan sanksi yang tegas juga mencerminkan keadilan dalam sistem Islam. Hukum diberlakukan kepada siapa pun tanpa pandang bulu—tidak seperti dalam sistem sekuler yang sering kali memihak kepentingan golongan tertentu. Dalam Islam, seorang pemimpin pun tidak kebal dari hukum jika ia melanggar syariat. Hal ini pernah ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, jika orang mulia di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya. Namun jika orang lemah yang mencuri, mereka menegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, penegakan sanksi dalam sistem Islam tidak hanya menjaga ketertiban dan moral masyarakat, tetapi juga menjadi bagian dari proses pembinaan individu, perlindungan sosial, dan penerapan keadilan sejati dalam kehidupan.
Demikian pula, kesucian keluarga akan terjaga jika sistem Islam diterapkan. Kebijakan media pun akan melarang dan memberantas bibit-bibit perilaku buruk agar umat jauh dari pelanggaran hukum syara. Dengan ini, perilaku inses akan dapat diberantas hingga ke akarnya sehingga kembali tercipta ruang yang aman dan nyaman bagi anak dan perempuan dalam keluarganya.