| 178 Views

Bisakah Rakyat sejahtera Tanpa Pajak?

Oleh : Asham Ummu Laila
Relawan Opini Kec. Lainea, Konawe Selatan

Pro dan kontra terus mencuat terkait rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang dijadwalkan berlaku mulai januari 2025. 

Kebijakan ini memicu beragam pendapat di tengah masyarakat dan pelaku usaha mengenai dampaknya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional (Beritasatu.com, 21/12/2024).

Sejalan dengan itu, menteri koordinator bidang perekonomian Airlangga Hartanto menyebutkan program prioritas presiden Prabowo Subianto, yakni  makan bergizi gratis merupakan salah satu alasan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen resmi berlaku mulai tanggal 1 januari. Menurut Airlangga kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen dari 11 menjadi 12 persen tersebut dinilai dapat meningkatkan pendapatan negara sehingga mendukung program prioritas  pemerintahan Prabowo pada bidang pangan dan energi (Beritas.com,16/12/2024).

Sementara oleh sebgian besar masyarakat kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% dianggap sebagai “kado pahit” termasuk para pedagang, konsumen, hingga para ahli ekonomi. Karena menjadi beban baru yang dikhawatirkan akan menekan daya beli masyarakat dan memperparah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi. Sebab sudah dipastikan hal itu akan membawah pengaruh terhardap harga barang dan jasa sehingga akan mengurangi daya beli konsumen disisi lain para pelaku usaha riter besar pun  khawatir terhadap penurunan penjualan  yang bisa saja terjadi.

Meskipun kenaikan tarif PPN akan diterapkan secara selektif pada barang dan jasa yang tergolong mewah, namun sejatinya kebijkan tersebut  tetap saja memberatkan rakyat. Bahkan meski dijalankan program  bansos dan subsidi PLN , rakyat tetap saja masih merasakan pengaruhnya sebab kenaikan pajak dalam sistem kapitlisme tidak hanya berpengaruh pada pihak yang dikenai pajak tetapi akan menimbulkan efek domino kepada semua kalangan, termasuk rakyat kecil. Sebab para pengusaha yang terkena pajak itu akan menaikan harga jual barang yang diproduksinya dengan alasan biaya produksi naik.

Sistem eknomi liberal yang diadopsi oleh sistem kapitalisme, pajak dianggap sebagai bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara untuk mendapatkan kestabilan ekonomi dan bisnis di samping itu pajak juga dianggap mampu menyesuaikan pengeluaran dan pendapatan negara. Karena itu wajar jika dalam sistem kapitalisme salah satu tumpuan ekonominya adalah pajak dan PPN merupakan salah satu sumber penerimaan pajak terbesar dalam APBN Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jendral Pajak dan laporan kementrian keuangan, PPN menyumbang sekitar 30-35 % total penerimaan pajak Indonesia pada tahun 2023.

Padahal negeri ini kaya akan sumber daya alam yang melimpah. jika dikelola dengan baik dan benar oleh negara, pastinya pembiayaan APBN akan lebih dari cukup begitupun dengan pemenuhan kebutuhan dan kepentingan rakyat pasti akan terpenuhi dengan baik, tanpa harus terus-terusan menaikan pajak. Hanya persoalannya negeri ini lebih mempercayakan pengolahan sumber daya alam (SDA) kepada pihak investor asing maupun lokal sehingga keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pihak-pihak tertentu saja. Alih-alih memberi kemudahan pada rakyat kecil, yang ada kehidupan rakyat kecil semakin memprihatinkan.

Pungutan pajak saat ini, sangat berbeda faktanya dengan pajak dalam sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ekonmi Islam, pajak hanya diterapkan secara insidental, yaitu hanya ketika kas negara membutuhkan backup keuangan. Sehingga, pajak bukan pungutan yang bersifat abadi. Ketika kas negara dalam kondisi normal, pajak harus dihentikan. Pajak juga hanya diwajibkan untuk muslim, laki-laki dan yang kaya.

Berbeda dengan fakta hari ini, semua orang (kaya ataupun miskin) wajib membayar pajak dan berlaku seumur hidup. Penguatan keuangan tunduk pada ketentuan syariat, yakni pengelolaan keuangan (penerimaan dan belanjaannya) harus sesuai dengan syariat. Sebagaimana firman Allah Swt “dan barang siapa berpaling dari peringatanku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS.Thaha:124).

Pajak dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, tidak pula menghalangi orang kaya atau menambah pendapatan negara. Dalam Islam tidak ada penetapan pajak tidak langsung, PPN pajak barang mewah,pajak hiburan, pajak jual beli dan berbagai jenis pajak lainnya. Dalam sistem ekonomi Islam bukanlah sumber tetap dan utama pendapatan negara, bahkan bisa dikatan bahwa pajak hanyalah alternatif terakhir ketika kondisi keuangan negara dalam keadaan genting.

Adapun sumber pendapatan utama negara menjadi hak kaum muslim dan masuk ke baitulmaal ada sembilan bagian yang merupakan pendapatan tetap negara ada atau tidaknya kebutuhan yakni: fai (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, usyur harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang  harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, serta harta orang murtad.

Dalam Islam tidak begitu saja pemerintah dibolehkan memungut pajak terhadap rakyatnya yang muslim. karena dikhawatirkan bertentangan dengan hukum syarah, karena ada beberapa kategori bisa wajib diambil, makruh atau banhkan haram. Oleh karena itu, harus ada alasan syar’i yang melandasi pemungutan pajak. Dan sejarah telah membuktikan kesejateraan senantiasa meliputi kehidupan umat (rakyat) ketika diberlakukan sistem ekonomi Islam yang didukung oleh penerapan sistem Islam secara menyeluruh (kaffah) dalam kehidupan.

Wallahu”alam bishawab


Share this article via

63 Shares

0 Comment