| 158 Views
Benarkah Negara Serius Mencegah Stunting Melalui Program MBG?

Oleh : Ucy
Mahasiswa Umb
Presiden Prabowo Subianto akhirnya buka suara soal makan bergizi gratis (MBG) setelah program ini berjalan selama dua minggu sejak dimulai pada Senin, 6 Januari 2025. Pernyataan Prabowo ini disampaikan di tengah beragam kejadian mencuat terkait program unggulannya tersebut, mulai dari menu yang menuai pro dan kontra hingga fenomena keracunan karena makanan tidak diolah dengan baik.
Pemerintah berencana menambah anggaran program MBG agar menyasar lebih banyak penerima. Sebabnya, sejauh ini hanya sebagian anak yang sudah memperoleh MBG. Jumlah penerima ini akan ditambah secara bertahap, sesuai dengan kesiapan anggaran dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Prabowo pun mengucapkan permintaan maaf lantaran MBG belum menyasar semua kalangan.
Tidak Becus Mengurus Rakyat
Menyikapi keberlangsungan MBG berikut seluruh polemiknya, kita harus sadar bahwa program tersebut sudah cacat sejak lahir. Kita juga layak mengkritisi bahwa program tersebut tidak ubahnya sekadar menggugurkan “kewajiban” karena sudah kadung menjadi janji kampanye menjelang pilpres. Ini senada dengan kritik dari seorang mantan pejabat negara pada Desember 2024 terkait alokasi anggaran untuk program MBG yang hanya Rp10.000 per anak per porsi. Menurutnya, anggaran tersebut terlalu kecil mengingat harga bahan pokok yang makin meningkat.
Sayang, realisasi janji kampanye tersebut justru menegaskan bahwa pemerintah tidak becus mengurus rakyat, saking sudah terlalu lama penguasa “berlepas tangan” dari urusan rakyat secara riil. Sedangkan persoalan makanan untuk rakyat adalah kebijakan strategis yang pasti membutuhkan dana besar sekaligus kesiapan struktural dari para pejabat terkait. Namun, penguasa tampak begitu gagap saat pelaksanaan di lapangan.
Kebijakan MBG juga terlihat populis karena sering kali menyebutnya sebagai kepentingan rakyat, tetapi sejatinya mengandung kepentingan ekonomi bagi sekelompok orang saja. Ini sebagaimana terjadi dalam kasus keracunan menu MBG di Nunukan, Kalimantan Utara.
Banyak warganet yang menuding pihak SPPG sebagai vendor terlalu banyak mengambil keuntungan dalam program MBG untuk SD 03 dan SMAN 2 Nunukan Selatan. Perwakilan Badan Gizi Nasional (BGN) untuk Nunukan Selatan Aji Sanjaya mengatakan, SPPG atau vendor diberi batasan paling banyak mengambil keuntungan sebesar Rp2.000 per porsi. Dari anggaran Rp15.000 untuk porsi MBG, sebesar Rp5.000 dialokasikan untuk keuntungan, operasional, dan pajak. Dari Rp5.000 tersebut rinciannya Rp2.000 untuk keuntungan vendor, Rp2.000 untuk distribusi dan operasional, dan Rp1.000 untuk pembayaran pajak ke negara.
Adanya konsep “keuntungan” alias profit ini menegaskan bahwa vendor MBG adalah swasta. Realitas buruk ini masih belum termasuk tambal sulam soal sumber dana program MBG. Ketika APBN babak belur, dana zakat dari Baznas sempat dilirik untuk membiayai MBG, padahal peruntukan zakat itu ada ketentuan syar’i dan tidak boleh keluar dari ketentuan tersebut. Sedangkan peserta didik penerima MBG tidak semuanya terkategori secara syar’i sebagai mustahik zakat. Demikian pula dengan wacana penggunaan dana APBD hingga Rp5 triliun untuk membantu pembiayaan MBG di masing-masing daerah.
Namun, realitas tidak seindah rencana di atas kertas. Target kecukupan gizi MBG terbukti tidak tercapai dengan pengurangan jenis menu, seperti susu. Aspek sanitasi dan higiene dalam pengolahan makanannya terabaikan, terbukti dengan terjadinya kasus keracunan makanan di beberapa daerah. Jumlah peserta didik juga tidak sesuai sasaran, bahkan terjadi pembengkakan jumlah penerima, tetapi berdampak pada pengurangan porsi dan kecukupan gizi pada tiap porsinya agar lebih banyak anak yang mendapatkan bagian. Ini disebabkan oleh kurangnya dana pembiayaan MBG yang menjadi sumber masalah sejak awal.
Ini hanya secuil bukti ketakbecusan penguasa, bahkan ketakseriusan mengurus rakyat. Kebijakan MBG tidak menyentuh akar masalah dari banyaknya generasi yang belum terpenuhi kebutuhan gizinya, termasuk tingginya kasus stunting. Ini jauh sekali dari visi awalnya yang begitu bombastis. Pelaksanaan program MBG cenderung ala kadarnya. Alih-alih bisa mengatasi stunting, pada akhirnya para peserta didik penerima MBG yang justru menjadi korban.
Khilafah Menjamin Kebutuhan Gizi Generasi
Keberlangsungan sistem sekuler kapitalisme jelas berbeda 180 derajat dengan sistem Islam dalam mengelola urusan rakyat. Dalam merealisasikan program serupa MBG maupun payung besar pencegahan stunting, negara Islam (Khilafah) tidak akan sibuk hanya pada aspek teknis sebagaimana pembagian dan penyaluran produk MBG ke seluruh pelosok negeri.
Khilafah selaku negara berideologi Islam akan fokus pada aspek sistemis untuk menyelesaikan beragam urusan umat. Khilafah wajib untuk menjamin pemenuhan kebutuhan asasi (primer) rakyat yang berupa sandang, pangan, dan papan. Khilafah akan menempuh berbagai mekanisme agar distribusi harta kepada rakyat bisa terealisasi secara merata individu per individu.
Di dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah disebutkan bahwa dalam rangka menempuh kesejahteraan umum, Khilafah akan fokus pada aspek distribusi harta/kekayaan bagi seluruh individu rakyat. Hal ini memungkinkan peningkatan daya beli masyarakat dan berimplikasi pada iklim usaha yang kondusif di tengah masyarakat.
Khilafah juga merealisasikan amanah pengelolaan harta kepemilikan umum seperti pertambangan, hutan, laut, sungai, padang rumput, dan lainnya untuk dikembalikan dalam wujud kepentingan umum. Komersialisasi atas SDA milik umum adalah haram. Dengan begitu, rakyat tidak akan terkendala dengan inflasi pangan dan energi―seperti mahalnya harga bahan pangan maupun BBM dan elpiji―serta tingginya harga hunian (rumah) akibat monopoli oleh pengembang (developer) swasta. Sektor publik seperti pendidikan dan kesehatan juga akan Khilafah selenggarakan secara gratis sebagai wujud pelayanan kepada umat.
Khusus untuk pencegahan stunting, Khilafah menjamin bahan dan produk pangan yang beredar di dalam Khilafah adalah yang halal, tayib, dan berkualitas terbaik. Khilafah akan melibatkan para pakar dalam membuat kebijakan, baik terkait pemenuhan gizi, pencegahan stunting, maupun dalam mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Khilafah memiliki dana besar dari sumber yang beragam untuk mewujudkan semua kebijakannya dalam mengurus rakyat dengan pengurusan yang berkualitas terbaik.
Dari sisi harga, bahan dan produk pangan berkualitas dalam Khilafah tidak sulit dijangkau dan diakses oleh seluruh lapisan masyarakat karena daya beli mereka baik, stabil, dan distribusi bahan pangan tersebut merata ke berbagai wilayah. Dengan demikian, bisa menunjang kebutuhan dan peningkatan status gizi masyarakat, baik dari sisi zat gizi makro (makronutrien) maupun mikro (mikronutrien).
Pada aspek yang lain, Khilafah wajib menyediakan lapangan kerja yang luas serta membangun kedaulatan pangan di bawah koordinasi Departemen Kemaslahatan Umum. Departemen ini akan menjaga kualitas pangan di tengah masyarakat.
Gaji rakyat tidak akan tersedot habis hanya untuk biaya kebutuhan hidup karena kebutuhan publik sudah dijamin oleh negara. Gaji tersebut hanya untuk memenuhi kewajiban nafkah bagi keluarga yang menjadi tanggungan para suami/pencari nafkah. Nominal gaji yang diperoleh dari pekerjaan tersebut akan cukup untuk membeli makanan berkualitas sehingga kecukupan makan dan kebutuhan gizi keluarga bisa terpenuhi.
Selain itu, Khilafah juga memiliki kebijakan untuk memberikan harta kepada rakyatnya yang membutuhkan, baik itu berupa harta/uang maupun tanah, termasuk untuk keluarga yang para suami/ayah sebagai pencari nafkahnya dalam keadaan miskin, lemah, lanjut usia, sakit menahun, ataupun cacat fisik sehingga tidak mampu bekerja mencari nafkah.
Selanjutnya, urgen bagi Khilafah untuk merealisasikan berbagai langkah untuk bisa mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan sehingga rakyat bisa terhindar dari kerawanan pangan, bahkan kelaparan. Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan politik pangan menuju terwujudnya swasembada dan kemandirian pangan sehingga bisa meminimalkan impor bahan pangan.
Khilafah tidak bersikap anti terhadap impor pangan, tetapi impor bukanlah kebijakan utama untuk ketersediaan pangan di dalam negeri. Impor dilakukan hanya ketika kondisi terdesak―seperti musim paceklik atau bencana alam―dan dalam jangka waktu yang terbatas.
Dengan penerapan syariat Islam kafah oleh Khilafah, stunting bisa disolusi secara serius dan sistemis karena ditinjau dari berbagai aspek. Hal ini tidak seperti keberadaan program MBG yang sekadar menjadi “pemadam kebakaran” pada satu aspek saja, itu pun diwarnai berbagai polemik di sana-sini.
Wallahualam bissawab.