| 80 Views
Bansos dan Subsidi untuk Atasi Derita Kenaikan PPN, Bermanfaatkah?

Oleh : Salma Hajviani
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai diberlakukan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya memperkuat perekonomian nasional melalui peningkatan penerimaan pajak.
Namun, kebijakan ini menuai beragam respons dari masyarakat. Sebagian kalangan menganggap kebijakan ini memberatkan, terutama bagi kelompok menengah ke bawah yang akan merasakan dampak kenaikan harga barang dan jasa. Di sisi lain, ada juga yang mendukung kebijakan tersebut sebagai langkah pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara guna membiayai berbagai program pembangunan.
Demi mengurangi dampak kenaikan PPN ini pemerintah menetapkan beberapa program, Diantaranya :
Pertama, Pemerintah tetap memperhatikan pelindungan bagi pekerja atau buruh, khususnya mereka yang bekerja di sektor padat karya dan yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK). (Merdeka.com 21/12/24)
Kedua, Pemerintah sedang mempersiapkan data dan skema untuk penyaluran bantuan sosial (bansos) kepada kelas menengah yang terdampak oleh kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjelang tahun 2025, dengan tujuan agar bantuan tersebut bisa tepat sasaran. Menko Pemmas, Muhaimin Iskandar, menekankan perlunya bantuan bagi kelas menengah untuk mencegah mereka terjerumus ke dalam kemiskinan akibat kenaikan PPN, sementara Menteri Sosial Saefullah Yusuf (Gus Ipul) menyatakan bahwa pemerintah akan bekerja berdasarkan data yang sedang disiapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). (Katadata.co.id 2/12/24)
Ketiga, Pemerintah memutuskan untuk memberikan diskon listrik sebesar 50 persen selama 2 bulan untuk kelompok menengah ke bawah dengan daya 450 volt ampere (VA) hingga 2.200 VA. Diskon ini diberikan untuk meredam dampak dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. (Viva.co.id 16/12/24)
Keempat, Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas listrik dan air. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pada 2025 pemerintah membebaskan PPN atas listrik dan air dengan nilai Rp 14,1 triliun. (Cnbcindonesia.com 16/12/24)
Beberapa kebijakan program tersebut yang dibuat pemerintah sejatinya tidak akan efektif mengurangi beban ekonomi yang ditanggung masyarakat.
Pasalnya, kebijakan tersebut untuk mengurangi dampak kenaikan PPN 12% hanya berlaku dalam jangka pendek, semisal diskon listrik yang berlaku 2 bulan pertama saja. Begitu pula dengan bansos yang mungkin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Setelahnya, semua kembali ke tatanan semula. Rakyat menanggung beban ekonomi yang berat akibat kenaikan PPN 12%.
Kebijakan pemerintah saat ini menaikkan PPN 12% lalu memunculkan solusi bansos serta subsidi di tengah penolakan rakyat bisa disebut sebagai kebijakan populis otoriter, yakni kebijakan yang disukai masyarakat karena seolah-olah berpihak kepada rakyat kebanyakan, bukan pada elite ataupun pemerintahan. Namun, kebijakan tersebut sebenarnya justru mengakomodasi kepentingan para elite, terutama kaum pemodal (kapitalis).
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonominya karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Pajak menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara. Kebutuhan pokok rakyatnya pun dikenai pajak yang seharusnya dijamin oleh negara malah “dipalak” oleh negara.
Alhasil, jika kebijakan ini diterapkan ini merupakan bentuk kezaliman yang nyata dari penguasa atas rakyatnya.
Sistem Islam melalui Khilafah memiliki mekanisme untuk mengelola perekonomian tanpa membebani rakyat dengan pajak. Sumber pemasukan negara berasal dari harta milik umum, zakat, dan aset negara lainnya yang dikelola sesuai syariat. Harta milik umum, seperti tambang, minyak, dan sumber daya alam lainnya, wajib dikelola oleh negara demi kemaslahatan rakyat.
Dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme. Pajak bukanlah sumber tetap pendapatan baitulmal (kas Khilafah). Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya. (“Muqaddimah Ad-Dustur”, Nizham al-Iqtishadi fil Islam).
Syekh Atha’ Abu Rusytah menegaskan bahwa dalam Islam, pajak tidak diambil, kecuali pada kondisi yang wajib memenuhi dua syarat. Pertama, hal itu diwajibkan atas baitulmal dan kaum muslim sesuai dengan dalil-dalil syarak yang sharih (jelas). Kedua, tidak ada harta di baitulmal yang mencukupi untuk kebutuhan itu. Dalam kondisi ini saja boleh mengambil pajak untuk memenuhi kebutuhan tanpa tambahan, diambil dari kelebihan harta orang-orang kaya, yaitu dari kelebihan untuk kebutuhan pangan, papan, dan sandang orang kaya itu beserta keluarganya, pembantunya, dan apa yang ia kendarai untuk menunaikan kebutuhannya dan sesuai kewajaran di masyarakat
Firman-Nya, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan.’” (QS Al-Baqarah: 219).
Sudah sepatutnya para penentu kebijakan berhati-hati terhadap peringatan Rasulullah saw.
Rasul saw. bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia; siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada ia.” (HR Muslim dan Ahmad).
Dalam Islam, tanggung jawab penguasa terhadap rakyatnya merupakan hal yang sangat ditekankan. Penguasa memiliki kewajiban untuk berbuat baik, bersikap adil, dan memenuhi kebutuhan pokok rakyat.
Rasulullah Saw bersabda: "Imam (pemimpin) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist ini menegaskan bahwa seorang pemimpin bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, termasuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar mereka. Penguasa dalam Islam ialah pelayan bagi rakyat yang harus menjalankan amanah dengan penuh tanggung jawab, kasih sayang, dan keadilan.
Kepemimpinan sekuler kapitalisme saat ini sangat jauh dari gambaran kepemimpinan Islam. Islam telah menetapkan bahwa kepengurusan atas kemaslahatan serta kesejahteraan rakyat berada di pundak penguasa. Mereka wajib memenuhi dan menjamin kebutuhan rakyat. Inilah tugas pokok negara, yakni ri’ayah asy-syu’un al-ummah (mengurus berbagai keperluan umat).