| 244 Views

Bagi-bagi Kue Kekuasaan di Balik IUP untuk Ormas?

Oleh : Sherly Agustina, M.Ag.
Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik

Sah, Presiden Joko Widodo telah menandatangani dan menerbitkan aturan yang membolehkan organisasi masyarakat (ormas ) keagamaan untuk memiliki izin mengelola tambang. Isi aturan tersebut yaitu menyetujui pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan. Bahkan, pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan disebut sebagai pemberian WIUPK prioritas. 

Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. PP No. 25 tahun 2024 ditetapkan Joko Widodo pada 30 Mei dan berlaku efektif pada tanggal diundangkan. WIUPK yang diberikan kepada ormas keagamaan merupakan wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Aturan khusus WIUPK secara Prioritas kepada ormas keagamaan tersebut spesifik tercantum pada Pasal 83A PP No.25 tahun 2024. (Cnbcindonesia.com, 30-05-2024)

Akan tetapi, aturan tersebut dikritisi oleh berbagai pihak karena dinilai bermotif politik, dapat memicu konflik horizontal, hingga memperburuk kerusakan lingkungan akibat tambang. JATAM mendesak pemerintah mencabut aturan tersebut, ormas-ormas keagamaan pun diminta berpikir ulang untuk menerima tawaran pemerintah. Mengingat banyak korban tambang justru jemaah mereka. 

JATAM dan AMAN sama-sama menilai bahwa substansi soal izin tambang bagi ormas keagamaan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dijelaskan dalam UU tersebut, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diprioritaskan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Apabila BUMN dan BUMD tidak berminat, baru kemudian penawaran dapat diberikan kepada swasta melalui proses lelang. Mengacu pada UU Minerba, ormas keagamaan tidak termasuk sebagai pihak yang dapat menerima penawaran prioritas. (BBC.com, 01-06-2024)

Ada 'Kepentingan' di Balik Kebijakan

Terjadi pro-kontra dari berbagai pihak diterbitkannya aturan ini, apa yang disampaikan oleh Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman bukan tanpa alasan bahwa diterbitkannya aturan ini khawatir memicu konflik horizontal antara ormas keagamaan dengn masyarakat adat. Pasalnya, selama ini banyak kelompok masyarakat adat telah berkonflik dengan tambang dan proyek investasi. Mereka berhadapan dengan perusahaan dan aparat untuk mempertahankan tanah yang telah lama mereka diami yang tumpang tindih dengan izin konsesi tambang. Sementara selama ini, belum ada pengakuan negara atas tanah-tanah adat yang mereka diami.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar mengatakan, hal ini dinilai tidak sejalan dengan marwah ormas-ormas keagamaan yang seharusnya memperjuangkan ketidakadilan yang dialami masyarakat. Melky mempertanyakan, ketika sebuah ormas keagamaan jadi pemegang konsesi, lalu operasional tambangnya menggusur pemukiman, menghancurkan kawasan hutan, merampas tanah warga, melakukan kekerasan dan kriminalisasi, apakah ormas-ormas tersebut mau menjadi bagian dari praktik kekerasan seperti ini?

Andaikan ormas tersebut memiliki alibi bahwa ini untuk kebaikan umat, bisa jadi kebaikan itu hanya untuk sebagian umat saja. Namun, ada umat lain dan lingkungan yang faktanya selama ini juga dikorbankan. Melky menduga bahwa “bagi-bagi konsesi tambang” ini sebagai upaya “menjinakkan” ormas-ormas keagamaan agar tidak resisten terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Di sisi lain, Ketua Umum PGI Gomar Gultom mengingatkan agar ormas keagamaan tidak mengesampingkan tugas dan fungsi utamanya dalam membina umat, serta tidak terkooptasi oleh mekanisme pasar. Utamanya, jangan sampai ormas keagamaan tersandera kepentingan hingga  kehilangan daya kritis dan suara profetiknya. 

Terlepas dari pro-kontra, tampaknya kebijakan apa pun yang ditetapkan oleh pemerintah tak bisa diganggu gugat walau ada kepentingan politik dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang ada berputar di antara kepentingan elit politik dan para pengusaha. Selain bagi-bagi kue kekuasaan, banyak cara yang digunakan rezim untuk membungkam rakyat lewat ormas keagamaan dan semisalnya. Intinya, jangan sampai kepentingan pengusaha dan penguasa terganggu oleh perkara yang dianggap 'remeh'. 

Beginilah wajah buruk kapitalisme, pertimbangan utama dari setiap kebijakan bukan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, kepentingan dan kesejahteraan para korporat. Bagaimana tidak, para pejabat yang bisa duduk di kursi panas berkat 'bantuan' para korporat yang tidak gratis. Tepatlah sebuah ungkapan, 'No free lunch'. 'Tidak ada makan siang gratis', semua ada imbalannya. 'Ada udang di balik batu'. Sudah menjadi konsumsi publik bahwa biaya demokrasi di negara ini sangat mahal. 

Lalu, Bagaimana pengelolan tambang di dalam Islam? Bagaimana pula seharusnya peran ormas di dalam Islam? 

Pandangan Islam

Mengenai sumber daya alam, Rasulullah saw. bersabda, "Umat Islam berserikat atas tiga hal, yaitu air, ladang, dan api dan atas ketiganya diharamkan harganya.” (HR Ahmad).

Dari hadis tersebut jelas, SDA termasuk kekayaan milik umum. Artinya, negara wajib mengelola SDA dan haram menyerahkan pengelolaan kepada pihak lain (pengusaha, ormas, atau rakyat). Negara wajib memanfaatkan pengelolaan SDA semata untuk kemakmuran dan kesejahteraan  rakyat. Karena tugas negara ialah me-riayah (mengurusi) kebutuhan umat. Islam mengharamkan negara berlepas tangan dari kepentingan rakyat. Jika itu terjadi, akan ada kelompok yang senantiasa mengingatkan. Inilah sebenarnya tugas kelompok, baik dalam bentuk organisasi masyarakat atau partai politik. Keduanya memiliki peran penting berjuang demi rakyat bukan korporat.

Tentang keberadaan suatu kelompok, Allah Swt. berfirman dalam surah Ali Imran ayat 104, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Ayat di atas menunjukkan bahwa tugas kutlah atau kelompok (politik) ada tiga, yaitu menyeru kepada kebajikan (Islam), melakukan yang makruf, dan mencegah yang mungkar. Aktivitas di luar tiga hal itu bukanlah sesuatu yang utama sehingga ormas harusnya tidak menerima konsesi pengelolaan SDA dari pemerintah atas dalih apa pun. 

Betapa jelas, tegas, dan rinci aturan dalam Islam. Islam menjamin kesejahteraan rakyat sehingga tak ada celah bagi rakyat dan ormas bermain 'nakal' apalagi mengemis 'kue kekuasaan'. Keimanan dan ketakwaan yang terus dipelihara membuat rakyat memiliki rasa takut kepada Allah, sadar bahwa apa yang dilakukan di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Tidakkah rindu aturan Islam kembali diterapkan di muka bumi? Allahua'lam bishawab.


Share this article via

103 Shares

0 Comment