| 149 Views
Bagi-bagi Izin Tambang ke Ormas, Lebih Banyak Manfaat atau Mudaratnya?

Oleh : Miftahid Mustanir
Mahasiswa
Dikutip dari detikfinance (05/06/2024), Presiden Indonesia, Joko Widodo telah resmi memberikan izin untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan. Hal ini terlampir dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 yakni Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sehingga PP Nomor 25 Tahun 2024 ini mulai berlaku efektif pada Kamis, 30 Mei 2024.
Dalam lampiran PP tersebut ditambahkan satu pasal baru, yakni dalam Ayat 6 Pasal 83A yang berbunyi: "Penawaran WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak PP tersebut berlaku." Adapun ayat 1 yang dimaksud ialah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.
Perizinan ormas untuk mengelola tambang tersebut banyak menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagiannya mendukung dan menyetujui dan sebagiannya justru sangat menyayangkan hal ini. Sebab hal ini diasumsikan bahwa ini semata-mata untuk menaikkan citra pemerintah saja. Lantas apa yang harus kita lakukan sebagai masyarakat untuk menyikapi hal ini? Dan bagaimana syariat Islam memandang hal tersebut? _So, find the answer by reading this article until finish, guys!_
Pro Kontra Perizinan Tambang bagi Ormas
Keputusan yang resmi disahkan oleh Presiden Indonesia tersebut tentu saja mengejutkan masyarakat bahkan menuai banyak kontra. Sebagian pihak mengacungi jempol dalam bentuk mengapresiasi kebijakan ini sebagai bentuk pemberdayaan ekonomi ormas keagamaan dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun, sebagian justru merasa khawatir terhadap kemampuan ormas keagamaan dalam mengelola tambang secara profesional serta mampu bertanggung jawab terhadap dampak negatif yang akan timbul di lingkungan dan sosial.
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Ummat Islam (DPP PUI), Raizal Arifin, menyambut baik kebijakan tersebut. Ia mengatakan bahwa hasil usaha tambang dapat meningkatkan kualitas di lingkungan PUI. Lebih lanjut, Raizal Arifin juga mengatakan bahwa sebagai salah satu ormas yang berdiri sejak 1917, PUI dapat memanfaatkan kesempatan emas ini untuk memajukan kesejahteraan umat. Ini dilakukan agar kualitas hidup semakin meningkat (detik.com, 4/6/2024).
Berbeda halnya dengan PUI, Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015, Din Syamsuddin meminta menyarankan dengan tegas kepada Muhammadiyah agar menolak tawaran pemerintah. Menurutnya, pemberian konsesi dan hak pengelolaan tambang bagi ormas keagamaan ini lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang maslahat. Din sangat berharap bahwa Muhammadiyah tidak terlibat menjadi bagian dari masalah ini. Selain itu, Din Syamsuddin juga menilai bahwa pemberian izin pengelolaan tambang bagi ormas keagamaan dapat berpotensi menjadi sumber korupsi besar-besaran. Ia menilai bahwa jika izin pengelolaan tersebut sengaja dilakukan untuk mengambil hati ormas (Media Indonesia, 4/6/2024).
Tanggapan lain dari Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho menjelaskan bahwa Pasal 83A PP 25/2024 dan Pasal 195B ayat (2), kedua pasal tersebut bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2020 yakni tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). "Sehingga kami mendesak Bapak Presiden Jokowi untuk segera mencabut PP Nomor 25 Tahun 2024 sebab pasal-pasalnya sangat bertentangan dan bertolak belakang dengan UU Minerba,” ujarnya dalam keterangan persnya. Lebih lanjut, Aryanto Nugroho juga mengatakan bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU Minerba yang memberikan mandat kepada pemerintah untuk memberikan prioritas pemberian IUPK kepada ormas. Hal ini jelas-jelas merupakan pelanggaran hukum terhadap UU Minerba secara terang-terangan (tempo.co, 3/6/2024).
Izin Pertambangan bagi Ormas Menambah Buruk Kondisi!
Meskipun PP Nomor 25 Tahun 2024 telah diresmikan namun eksistensinya justru membuat kondisi semakin buruk dan sangat membahayakan bagi semua pihak. Bagaimana tidak, PP Nomor 25 Tahun 2024 yang dimaksud ternyata bertolak belakang dengan UU Minerba, yaitu UU 3/2020 terkait Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan jelas mengatakan bahwa izin IUPK hanya diberikan dan berlaku untuk BUMN dan BUMD saja. Adapun jika kedua badan ini tidak bisa menjalankannya maka akan ditawarkan atau dialihkan kepada pihak swasta. Sehingga, seperti kita ketahui bersama bahwa ormas keagamaan tidak termasuk dari pihak-pihak yang disebutkan di atas dikarenakan ormas bukanlah suatu lembaga yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas dalam mengelola penambangan. Dan Ormas keagamaan tidak punya teknologi untuk eksplorasi tambang.
Kalaupun ormas keagamaan mulai melakukan pengelolaan tambang ini, maka yang diuntungkan hanyalah pihak pengusaha saja. Belum lagi biaya eksplorasi yang tidak sedikit. Sehingga ormas keagamaan diharuskan untuk bersibuk mencari sponsor (investor). Maka dapat dipastikan arah perjuangan ormas keagamaan akan berubah haluan. Pada dasarnya ormas keagamaan bertugas sebagai pelindung rakyat, berjuang untuk kesejahteraan rakyat serta menjadi pengingat bagi penguasa jika salah menetapkan keputusan dan kebijakan yang dapat merugikan rakyat. Sehingga ketika ormas keagamaan diberikan bagian dan hak untuk mengelola tambang, mereka akan bersibuk diri mengurusi hal ini dan tidak lagi fokus bahkan memperhatikan tugas utamanya. Selain itu, sebagian tambang berada di kawasan masyarakat adat, maka besar kemungkinan adanya potensi munculnya gesekan antara ormas dengan masyarakat adat. Tentu hal ini sangat berbahaya jika sampai terjadi, masyarakat akan kehilangan pelindungnya.
Dari kebijakan PP Nomor 25 Tahun 2024 ini harusnya semakin membuka mata kita lebar-lebar bahwa sesungguhnya negara berperan sebagai fasilitator saja. Sehingga dari kebijakan ini menunjukkan bahwa negara justru berlepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai penguasa yang bertugas mengurusi urusan dan kebutuhan rakyatnya. Negara justru memberikan fasilitas dan hak untuk mengelola tambang kepada ormas keagamaan tanpa melihat volume tambang dan besar kecil konsekuensinya. Praktik seperti ini hanya ada dalam negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalistik sebagai pedoman dalam setiap kebijakan yang diambil. Walhasil, negara tidak menjadikan agama sebagai landasan dalam membuat aturan. Sehingga segala kebijakan hanya fokus untuk meraih materi dan keuntungan semata tanpa mempertimbangkan aspek halal haram bahkan dampak negatif yang akan menimpa bangsa dan negara. Dapat kita simpulkan bahwa kebijakan ini justru menimbulkan banyak mudarat, tidak ada kebaikan yang didapat jika kita benar-benar membuka mata dan berpikir kritis.
Pandangan Islam Terhadap Pertambangan
Sebagai seorang muslim yang beriman, sudah sepatutnya kita memandang segala problematika hidup terkhusus masalah kebijakan PP Nomor 25 Tahun 2024 ini dengan kacamata Islam. Islam merupakan ideologi dengan seperangkat aturan yang memiliki solusi jitu dalam menyelesaikan segala permasalahan hidup berdasarkan syariat Islam. Telah jelas disebutkan dalam salah satu dalil yakni, "Umat Islam berserikat atas tiga hal, yaitu air, ladang dan api. Atas ketiganya diharamkan harganya.” (HR. Ahmad). Makna dalam hadist ini bahwa SDA seperti tambang termasuk kekayaan milik umum. Sehingga, negara wajib mengelola SDA atau tambang tersebut dan haram menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain (pengusaha, ormas atau rakyat).
Dalam Islam negara wajib mengelola serta memanfaatkan hasil SDA semata-mata untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Disebabkan bahwa negara memiliki tugas utama sebagai periayah segala kebutuhan umatnya. Sehingga Islam mengharamkan secara mutlak ketika negara berlepas diri dari tanggung jawabnya terlebih menyerahkan tugasnya kepada pihak-pihak lain seperti individu, kelompok atau ormas tertentu. Namun jika itu terjadi, maka ada sekelompok orang atau organisasi masyarakat dan partai politik Islam yang akan mengingatkannya. Inilah yang menjadi tugas utama dari organisasi masyarakat atau partai politik Islam yakni muhasabah lil hukkam. Keduanya memiliki fungsi dan peran yang sama dalam mewujudkan Islam rahmatan lil alamin dan berjuang untuk kesejahteraan serta keharmonisan kehidupan umat.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Selaras juga dengan bunyi firman-Nya dalam QS. Ali Imran ayat 104, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim adalah kewajiban. Maka dari itu tugas dari partai politik Islam yakni menyerukan kepada kebaikan yang selalu berlandaskan pada syariat Islam. Berlomba-lomba melakukan yang makruf dan mencegah kepada yang mungkar. Sehingga pemberian hak bagi ormas keagamaan untuk mengelola tambang bukanlah tugas utama yang harus mereka jalani. Yang ada justru akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan dikarenakan bertentangan dengan syariat Islam. Wallahualam.