| 310 Views
Aspirasi Berujung Kriminalisasi, Islam Solusi Hakiki

Oleh : Rini Fajri Yanti
Aktivis Muslimah
Belakangan ini Kampus Universitas Riau sedang viral, karena rektornya melaporkan seorang mahasiswa ke Polda Riau dengan dugaan pelanggaran UU ITE. Kasus ini benar-benar membuat kaget masyarakat Unri (Univeristas Riau), terkhusus para mahasiswa, akibatnya banyak menuai komentar negatif di sosial media.
Khariq Anhar dilaporkan karena mengkritik terkait kebijakan UKT (Uang Kuliah Tunggal) dan IPI (Iuran Pembangunan Institusi ) di Unri. Kritikan ini diunggah dalam bentuk video di akun Aliansi Mahasiswa Penggugat. Khariq membuat video aksi meletakkan almamater seperti berjualan di depan logo Universitas Riau. Kemudian mengatakan bahwa rektor sebagai broker pendidikan Universitas Riau. Aksi inilah yang menyebabkan ia dilaporkan ke Polda. Meskipun saat ini laporan tersebut sudah dicabut oleh Rektor(TribunPekanbaru, 10/05/2024)
Kebijakan uang pangkal baru pertama kali diberlakukan kepadamahasiswa baru jalur mandiri tahun 2024. Adapun kebijakan uang pangkal itu tertuang dalam Surat Keputusan Rektor Nomor 496/UN19/KPT/2024 tentang Penetapan Besaran Iuran Pengembangan Institusi pada Program Studi di Lingkungan Universitas Riau Tahun 2024. Besaran uang pangkal tersebut dari yang tertinggi Rp 115 juta untuk Program Studi Pendidikan Dokter, dan terendah Rp 10 juta untuk 6 prodi, di antaranya Bimbingan Konseling dan Teknologi Industri Pertanian (Tempo.co, 08/05/2024)
Kritik terhadap penguasa kampus terkait kebijakannya, sejatinya hal yang lumrah dilakukan oleh masyarakat kampus, terlebih mahasiswasebagai bentuk aspirasi mereka. Namun saat ini aktifitas tersebutdikriminalisasi akibat UU yang berlaku di negeri ini.
Pendidikan Mahal Buah Kapitalisme
Kritik Khariq terkait UKT menunjukkan bahwa masyarakat resah dengan mahalnya biaya pendidikan di negeri ini. Biaya UKT yang semakin tinggi membuat masyarakat kelas menengah dan miskin menjerit. Alih-alih orang tua berharap anaknya bisa melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, justru terhenti akibat biaya UKT yang makin tinggi.
Padahal pendidikan adalah kebutuhan dan hak bagi setiap individu rakyat dalam sebuah negara, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Seharusnya negara berkewajiban menyediakan pendidikan dengan mudah, sehingga setiap individu bisa mengakses jenjang pendidikan dari mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi tanpa pusing memikirkan biaya. Bukan hanya pembiayaan yang sangat terjangkau oleh semua kalangan, tetapi juga fasilitas yang terbaik dan berkualitas. Bukan sebaliknya, pendidikan disediakan oleh swasta atau diserahkan pembiayaannya kepada rakyat dengan biaya tinggi yang jelas memberatkan, di tengah kondisi kehidupan yang semakin sulit.
Namun dengan penerapan sistem kapitalis-sekularisme hari ini, yang sejatinya menjadi asas negara, nampaknya mustahil menyediakan pelayanan pendidikan yang demikian oleh negara. Di sistem ini, negara tidak bertindak sebagai pelayan rakyat, tetapi memposisikandiri sebagai penjual kepada rakyatnya. Hal ini dibuktikan dengan pembiayaan yang tinggi dalam berbagai sektor termasuk pendidikan.Negara juga berlepas tangan akan kewajibannya untuk mencerdaskankehidupan bangsa.
Selain itu, menyampaikan pendapat atau kritik juga seharusnya diberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat. Sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, bahwa berpendapat adalah hak setiap rakyat. Namun saat ini, aktifitas tersebut jika menyasar kepada pemangku jabatan sebagai pembuat dan penerap kebijakan seolah haram dilakukan, akibat sudah disahkannya UU ITE. Bukan kali pertama kasus pelaporan seseorang atas nama pencemaran nama baik melalui sosial media atau membuat konten dakwah islam. Sehingga kasus ini menambah deretan panjang pembungkaman terhadap rakyat yang ingin menyuarakan pendapatnya. UU ITE nyatanya menjadi tempat berlindung bagi sistem hari ini agar kebijakan-kebijakannya bisa berjalan lancar tanpa kritik.
Islam Menjamin Pendidikan dan Pendapat bagi Masyarakat
Pendidikan adalah jaminan oleh negara terhadap seluruh individu rakyatnya. Negara berfungsi sebagai pelayan atau pengurus rakyat, sehingga negaralah yang menyediakan pendidikan tersebut. Hal ini sejalan dengan perintah Allah SWT untuk menuntut ilmu bagi setiap muslim. Oleh sebab itu, negara wajib memberikannya dengan kualitas terbaik dan terjangkau, bahkan gratis. Sehingga semua orang baik kaya ataupun miskin bisa mendapatkannya.
Semua pelayanan tersebut dilakukan oleh negara karena memang sudah menjadi tanggung jawab negara sebagai pengurus rakyatnya. Pembiayaan untuk pendidikan diambil dari badan negara baitul maal(kas negara) pos kepemilikan umum. Pos kepemilikan umum ini bersumber dari pengelolaan kekayaan sumber daya alam negara yang langsung dikelola oleh negara, seperti pertambangan, minyak bumi, laut, hutan dan lain-lain. Tidak diberikan kepada swasta dan asing seperti saat ini.
Pelayanan demikian dimulai sejak masa Rasulullah SAW, dimana beliau menetapkan kepada para tawanan perang Badar untuk mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Menurut hukum Islam, barang tebusan itu merupakan hak baitul maal. Hingga pada masa Khilafah Utsmaniyah, Sultan Muhammad Al-Fatih (1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Kemudian Sultan memberikan beasiswa kepada setiap siswa setiap bulannya. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa. Setiap asrama dilengkapi dengan ruang makan dan ruang tidur. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang ahli di bidangnya.
Begitu pula dalam hal berpendapat, ini berkaitan dengan muhasabah kepada penguasa atau pemangku jabatan. Aktifitas muhasabah kepada penguasa hukumnya wajib. Rasulullah SAW bersabda,
Artinya: "Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim." (HR Abu Daud)
Sebagai penguasa bisa saja melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya mengurus negara dan rakyat dengan syariat Islam. Amirul Mukminin Umar bin Khattab pernah mendapat kritik oleh rakyatnya. Sebagaimana dimuat dalam kitab Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu karya Prof. Wahbah Zuhaily. Beliau dikritik oleh seorang pemuda,َ
“Seorang laki-laki berkata pada Umar ra.: “Bertaqwalah! Wahai Umar. “Lalu pemuda lain menyahut: “Layakkah ungkapan itu ditujukan pada seorang Amirul Mukminin (Pemerintah)?. Dengan bijak Umar menjawab: “Tidak ada kebaikan pada diri kalian apabila kalian tidak mengatakannya (kalimat taqwa) dan tidak pula ada kebaikan dalam diriku apabila aku tidak mau mendengarnya (dari kalian).”
Negara juga memfasilitasi rakyatnya menyampaikan pendapat dalamsebuah struktur negara yaitu Majelis Umat, sehingga terbuka selebar-lebarnya kepada rakyat aktifitas tersebut. Semua ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan sistem islam secara kaffah dalam semua aspek kepengurusan negaranya.
Wallahu a'lam bishawab