| 220 Views

Aroma Kapitalisasi di Balik Pemadaman Listrik

Oleh : Syifa, SE

Bulan lalu, terjadi pemadaman listrik secara bergantian hampir di seluruh wilayah Pualu Sumatra. Hal ini tentu meninggalkan tanya, sebab terjadi di wilayah yang kelebihan cadangan listrik. Kejadian tersebut terjadi selama kurang lebih 24 jam, yakni sejak tanggal 4 hingga 5 Juni 2024, mulai dari Aceh hingga Lampung. Bergantian dengan durasi yang berbeda, mulai dari 10 jam bahkan ada yang mencapai 24 jam. 

Diketahui bahwa kejadian tersebut disebabkan karena adanya gangguan pada jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 275 kV Linggau-Lahat. Sistem transmisi tersebut merupakan jaringan interkoneksi yang terhubung dengan sejumlah wilayah di Sumatra. Masalah ini mengakibatkan terganggunya tidak kurang dari 29.000 gardu distribusi yang memasok listrik pelanggan (bisnis.com, 6/6/2024). 

Cadangan Daya Listrik di Sumatra

Eric Rossi Priyo Nugroho sebagai pihak General Manager PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Sumatra Barat sempat mengatakan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan sementara belum dapat diketahui pasti penyebab padamnya aliran listrik tersebut. Meski begitu, kejadian seperti ini jika dikatakan terjadi karena kekurangan cadangan listrik, harus digali kembali fakta sebenarnya. Mengapa? Karena jika dilihat berdasarkan data PLN per Desember 2023, Sumatra memiliki sistem kelistrikan cadangan daya yang sangat besar dengan _reserve margin_ sebesar 41%. Reserve margin merupakan cadangan daya pada sistem ketenagalistrikan terhadap beban puncak.

Ada atau tidaknya pasokan listrik itu ditentukan oleh besar kecilnya _reserve margin_. Idealnya reserve margin yang optimal berada di kisaran 24-35%. Dengan cadangan yang mencapai 41% menunjukkan telah melampaui kondisi ideal. Artinya mustahil terjadi pemadaman dalam rentang waktu yang lama. 

Sikap Abai Menimbulkan Masalah yang Serius

Dari pemadaman listrik yang terjadi telah menyebabkan berbagai urusan publik dan kebutuhan rakyat terbengkalai dan terganggu. Di sisi lain, kondisi ini justru dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk berlomba-lomba membaca peluang investasi. Alih-alih pihak PLN bergerak cepat mencari dan menyelesaikan masalah agar tidak berlarut-larut, justru yang terjadi adalah kesan pengabaian dalam memberikan solusi.

Padahal kalau kita melihat efek dari padamnya listrik ini sangat serius. Di dunia kesehatan, pasien yang hendak melakukan operasi misalnya, kelancaran arus listrik menjadi salah satu penentu sukses tidaknya operasi tersebut. Atau contoh-contoh lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 

Sekali lagi, adanya pengabaian pada masalah ini menjadi tanda tanya besar. Mengingat wilayah Sumatra adalah salah satu wilayah yang seharusnya memiliki cadangan listrik lebih dari yang dibutuhkan. Kelebihan itu berefek pada mustahil adanya pemadaman massal seperti ini. Pun jika ada kendala jaringan, maka sudah seharusnya pula ada mitigasi yang jelas untuk menghindari dampaknya ke masyarakat.

Karpet Merah bagi Para Kapitalis

Salah satu daerah di Sumatra bagian tengah yakni Riau memiliki potensi SDA yang melimpah. Ditambah lagi Riau terpilih sebagai daerah dengan potensi investasi menjanjikan pada tahun 2024. Hal ini membuka mata kita bahwa Riau menjadi incaran para kapitalis atau investor sebagai lahan subur investasi mereka. Riau dengan penghasil CPO terbesar di Indonesia yakni sebanyak 20%, terkenal dengan pengelolaan minyak kelapa sawitnya, rencana hilirisasi dan pertambangan, menjadi alasan kuat kaum kapitalis memberi perhatian penuh pada Riau di balik persoalan listrik ini.

Padamnya listrik secara massal dalam rentang waktu yang lama memberikan penegasan bahwa PLN bekerja kurang profesional dan antisipatif, bahkan cenderung menyepelekan hal ini. Terlihat dari lambatnya mitigasi yang dilakukan. Sedangkan pada saat yang sama PLN tengah meluncurkan program "Road to PLN Investment Day 2024". Agenda ini bertujuan untuk membangun kolaborasi bisnis yang melibatkan berbagai elemen pemangku kepentingan. Mulai dari sektor pemerintah, pebisnis, akademisi, perbankan hingga investor (dalam dan luar negeri). Agenda ini juga merupakan upaya membangun kolaborasi agar akselarasi transisi energi air bersih di tanah air cepat dieksekusi.

Adanya kerjasama dengan pihak asing seakan-akan memberi isyarat bahwa kemampuan daya saing anak bangsa kalah telak dengan SDM dari luar. Sehingga _mindset_ ini menjadi tanda tanya berikutnya dari perkataan atau slogan pemerintah setiap kali membahas soal kreatif dan inovatif. Seolah urusan kelistrikan di Sumatra membutuhkan investor (swasta lokal atau asing) padahal wilayah tersebut memiliki cadangan listrik yang berlebih. 

Alhasil kita melihat padamnya listrik ini bukan hanya persoalan teknis semata. Melainkan ini adalah persoalan mendasar yaitu pengelolaan listrik yang salah dan keliru. Pengendalian atau penguasaan bahan cadangan listrik dikendalikan oleh para kapitalis di daerah tersebut. Hal ini akhirnya membuat rakyat sengsara. Sehingga klaim bahwa cadangan listrik yang kurang nyatanya keliru. Karena sebenarnya cukup, bahkan lebih dan bisa optimal untuk melayani dan mencukupi kebutuhan rakyat jika dikelola dengan benar. 

Listrik Milik Rakyat (Umat)

Di antara carut marut pengelolaan ekonomi dalam sistem kapitalisme adalah hilangnya pengaturan kepemilikan, dan justru yang terjadi malah kacau balaunya kepemilikan, bahkan dianut pula konsep 'kebebasan kepemilikan'. Yang mana selama ada modal, maka semua hal bisa saja dimiliki. 

Akibatnya, pengelolaan listrik menjadi tidak jelas. Alokasi pemanfaatannya senantiasa salah sasaran dan pihak yang dimenangkan adalah kembali lagi kepada para kapitalis (pemilik modal). 

Perlu diketahui bahwa listrik itu bagian dari sumber daya milik umum. Untuk itu pihak yang bertanggung jawab mengelolanya adalah negara, bukan individu seperti swasta apalagi investor asing. Amat rugi jika pengelolaan ini diserahkan kepada asing. Padahal kita tahu posisi asing itu adalah musuh kita (baca: umat Islam). Dalam Islam jangankan diajak bekerjasama, sekadar menjadi teman dekat saja dilarang. 

Dalam Islam, posisi listrik masuk dalam kategori kepemilikan umum sesuai dengan yang disabdakan oleh Rasulullah saw., "Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api." (HR. Ibnu Majah). 

Dalam hadits ini terdapat penegasan bahwa berserikatnya manusia yakni karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (masyarakat). Apabila komoditas dengan karakter seperti ini dikuasai oleh individu tertentu, maka rakyat akan berselisih dan terjadi masalah dalam mendapatkannya. Kemudian makna api yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah seluruh SDA yang bisa menghasilkan energi, seperti minyak bumi, batubara, gas alam dan termasuk listrik. 

Oleh karena itu, listrik dengan statusnya sebagai barang yang dibutuhkan publik merupakan barang milik umum. Maka dalam pengelolaannya haram diserahkan ke swasta asing maupun swasta lokal (individu manapun). Hanya saja penguasa dalam sistem kapitalisme tidak mementingkan hal ini dalam mengelola harta milik umum. Karena seperti yang telah dijelaskan di awal, mereka mencampuradukkan kepemilikan. Ditambah timbangan dalam sistem kapitalisme ialah untung rugi, yang dikejar adalah keuntungan dan teraihnya kepentingan mereka. 

Sedangkan dalam sistem Islam, penguasa adalah pihak yang mengelola, bukan pemilik SDA. Pos pemasukan dan pengeluaran dari sumber kepemilikan umum ini pun menempati pos tersendiri di baitulmal. Seluruh anggaran sepenuhnya untuk kepentingan umat atau rakyat. Praktek ini hanya akan terlaksana ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai daulah khilafah Islamiyyah. Wallahualam.


Share this article via

50 Shares

0 Comment