| 19 Views

Anak Jadi Sasaran Judol, Kapitalis Menfasilitasi Kehancuran

Oleh: Ummu Mirza

Judi menjanjikan kemenangan,
Judi menjanjikan kekayaan,
Bohong kalaupun kau menang itu awal dari kekalahan,
Bohong kalaupun kau kaya itu awal dari kemiskinan.

Itulah cuplikan dari lagu bang haji Rhoma irama yang dapat menggambarkan keadaan hari ini. Kian hari aktivitas judi semakin merajalela meracuni pemikiran, kehidupan bahkan keimanan akibatnya orang malas dibuai harapan. 

Prihatin dengan keadaan  hari ini, judi online sudah menyasar anak-anak dan remaja. Perjudian online dilakukan secara daring melalui platform online seperti situs web atau aplikasi sehingga memudahkan penggunanya. Kemudahan itulah yang menjadikan daya rusak begitu hebat.

Sejalan dengan itu Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) memperkuat langkah pemberantasan judi online (judol) yang menyasar anak-anak. Aturan ini mewajibkan penyelenggara sistem elektronik (PSE) membatasi akses digital anak, melindungi data pribadi, serta ikut meningkatkan literasi digital.

Pengawasan ketat juga diterapkan agar PSE patuh terhadap ketentuan dalam PP Tunas. Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) per 8 Mei 2025 mencatat sekitar 197.054 anak usia 10–19 tahun terlibat dalam aktivitas judol, dengan nilai deposit mencapai Rp50,1 miliar pada triwulan I-2025.

Pemerintah juga mengimbau orang tua untuk aktif mengedukasi anak tentang bahaya judol, mendampingi aktivitas digital mereka, dan segera berkonsultasi ke psikolog atau KPAI jika menemukan tanda-tanda kecanduan.

Fenomena judi online yang menyasar anak-anak bukan kebetulan. Mudahnya akses, keuntungan yang menjanjikan dan promosi yang agresif menjadi daya tarik bagi anak terjerat judol. Selain itu karna dimainkan digawai seperti ponsel, permainan judol menjadi privat dan aman dari intaian aparat keamanan.

Kapitalisme dalang kekacauan yang ada, menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, meski harus merusak generasi muda. Industri ini memanfaatkan celah psikologis dan visual untuk menarik anak-anak maupun remaja. Inilah wajah asli kapitalisme yang rakus dan tidak mengenal batas moral.

Pemerintah tidak memiliki upaya serius dan sistematis dalam mencegah maupun mengatasi judi online. Pemutusan akses dilakukan setengah hati dan tebang pilih, sementara banyak situs tetap aktif. Karna hal ini anak dan remaja rentan terhadap judol dimana sifat ingin mencoba hal baru dan mencari identitas muncul. Belum lagi dampak negatif yang akan menimbulkan banyak kerugian.

Ini membuktikan bahwa demokrasi kapitalisme tidak memiliki solusi hakiki dalam menyelamatkan generasi muda dari kriminalitas.

Orang tua khususnya ibu punya peran sentral dalam membentengi anak dari kerusakan moral, termasuk jebakan judi online.

Keluarga Muslim akan melahirkan anak-anak yang kuat secara akidah dan tidak mudah bermaksiat. Namun ini akan sulit jika orang tua sendiri terbebani ekonomi dan tak sempat mendidik anak.

Sistem pendidikan Islam tidak hanya fokus pada akademik, tapi juga membentuk pola pikir dan sikap sesuai ajaran Islam. Anak dididik untuk menjadikan halal-haram sebagai standar dalam berperilaku, termasuk literasi digital sesuai Batasan syariat.

Negara dalam Islam (Khilafah) bertugas menjaga rakyat dari segala bentuk kerusakan, termasuk judi online. Negara mampu menutup akses secara menyeluruh dan mencegah konten-konten merusak lainnya. Digitalisasi akan diarahkan untuk kemaslahatan seperti meningkatkan kreativitas dan pengembangan diri.

Wallahu alam bisshawab


Share this article via

15 Shares

0 Comment