| 109 Views

Tingkat Kepuasan Berdasar Survei, Apa Kabar Realitasnya?

Oleh : Sartinah
Pegiat Literasi

Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo mendekati detik-detik akhir. Selama 10 tahun kepemimpinannya, berbagai terobosan dilakukan guna membangun Indonesia. Sebuah survei mengungkap bahwa masyarakat menyatakan kepuasan atas kinerja pemerintahan Jokowi selama 10 tahun ini. Kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah bahkan mencapai 75 persen berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia.

Capaian tersebut pun diapresiasi oleh Deputi Protokol dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana. Yusuf menyebut, keberhasilan tersebut merupakan cerminan dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi. Selain itu, tingkat kepuasan tersebut merupakan bukti bahwa upaya keras pemerintah di berbagai bidang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Contohnya adalah infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dll. (tempo.co, 4-10-2024)

Jika melihat data dari survei tersebut, tampaknya masa 10 tahun kepemimpinan Jokowi disebut berhasil. Namun, bagaimana realitas riil di lapangan? Apakah rakyat benar-benar puas dengan berbagai kebijakan pemerintah?

Antara Survei dan Realitas

Mengukur kepuasan masyarakat nyatanya tidak bisa disandarkan pada hasil survei semata. Jika melihat lebih jauh antara survei dan riil kepuasan masyarakat, akan kita dapati kesenjangan yang menganga lebar. Sebelumnya, pemerintah menyebut bahwa salah satu bukti kepuasan masyarakat adalah infrastruktur yang diklaim manfaatnya benar-benar dirasakan rakyat.

Namun, perlu diingat bahwa persoalan rakyat negeri ini tidak hanya tentang infrastruktur. Karena itu, kepuasan seluruh masyarakat tidak akan terwujud hanya dengan dibangunnya infrastruktur ribuan kilometer. Sejatinya ada banyak persoalan lain yang menjerat masyarakat dan negeri ini.

Lihat saja suara-suara kritis dan ketidakpuasan masyarakat terus menggema di berbagai media sosial. Ini artinya, banyak orang yang tidak melakukan survei, tetapi tidak puas terhadap kinerja pemerintah.  seharusnya tidak hanya melihat tingkat kepuasan dari suara mayoritas. Suara minoritas pun tetap wajib diperhatikan karena mereka juga bagian dari rakyat Indonesia.

Jika mau melihat kondisi riil hari ini, kata puas tampaknya masih jauh dari benak rakyat. Pemerintah sejatinya masih menghadapi banyak persoalan di tengah masyarakat. Sebut saja tentang kemiskinan yang masih menjadi problem klasik di negeri ini. Pemerintah mengeklaim bahwa kemiskinan turun. Sayangnya, itu hanyalah angka-angka di atas kertas.

Jika mau melihat kondisi riil di lapangan, jumlah penduduk yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya jelas lebih banyak. Menghitung kemiskinan berdasarkan jumlah pendapatan per kapita memang mampu menurunkan angka kemiskinan. Sayangnya, itu hanya hitung-hitungan di atas kertas. Jika menghitung angka kemiskinan dari banyaknya rakyat yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya, niscaya orang miskin makin banyak.

Itu baru satu persoalan. Belum lagi tentang pendidikan, kesehatan, keamanan, pembatasan subsidi BBM, kenaikan PPN, kebijakan negara yang lebih berpihak pada oligarki (seperti UU Ciptaker), dan segudang persoalan lainnya yang memicu ketidakpuasan masyarakat.

Di sisi lain, infrastruktur yang diklaim bermanfaat bagi rakyat juga perlu dikritisi. Faktanya, hanya sebagian masyarakat yang benar-benar menikmati pembangunan infrastruktur, sementara sebagian lainnya tidak mendapatkan manfaat sama sekali.

Inilah wujud kegagalan negara sesungguhnya. Penguasa hanya menutupi kegagalan tersebut dengan berbagai pencitraan seperti memberi berbagai bantuan kepada masyarakat. Lepasnya tanggung jawab kepemimpinan menjadi hal lumrah dalam sistem kapitalisme.

Kepemimpinan dalam Islam

Karut-marutnya pengurusan rakyat dalam siatem kapitalisme jelas berbeda dengan pengurusan dalam Islam. Dalam Islam, kepemimpinan bukan sekadar memimpin rakyat dengan berbagai kebijakan. Namun, kepemimpinan dalam Islam sangat menonjol dimensi ruhiahnya. Hal ini karena seorang penguasa adalah khalifah yang tidak hanya mengurus urusan rakyat, tetapi juga menegakkan syariat Allah secara sempurna.

Penguasa adalah pengurus rakyat sekaligus penjaga umat. Kewajiban seorang penguasa adalah melayani rakyat dan memenuhi seluruh hak-hak syar'i mereka. Selain itu, kepemimpinan dalam Islam bukanlah suatu hal yang bisa dianggap ringan. Pasalnya, kepemimpinan adalah amanah yang berat di dunia juga di akhirat. Karena itu, tidak semua orang memiliki kemampuan menjadi penguasa.

Allah Swt. mewajibkan seorang penguasa menjalankan amanah sebaik-baiknya sebagaimana tertuang dalam surah Al-Anfal ayat 27: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui."

Kehati-hatian seorang pemimpin dalam menjaga amanah pernah ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a. saat itu. Umar bahkan rela memanggul gandum demi memenuhi kebutuhan seorang janda. Hal serupa juga dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mematikan lampu ketika anaknya datang untuk urusan keluarga.

Khatimah

Demikianlah gambaran kepemimpinan hakiki dalam Islam. Dengan pengurusan maksimal berlandaskan syariat Islam, maka kesejahteraan dan kepuasan rakyat akan tercapai. Namun, semua itu hanya akan terwujud jika Islam dijadikan landasan dalam kehidupan bernegara.
Wallahualam bissawab.


Share this article via

55 Shares

0 Comment