| 170 Views
Tapera : Solusikah Bagi Perumahan Rakyat?

Oleh : Alfiah, S.Si
Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin ini pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisi rakyat hari ini. Dipalak dengan sejumlah iuran yang dinarasikan akan memberi solusi bagi berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Seperti yang ramai diberitakan bahwa pemerintah baru-baru ini mewajibkan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) kepada para pekerja tidak hanya PNS, terapi juga pekerja swasta dan mandiri.
Program Tapera (Tabungsn Perumahan Rakyat) sontak saja menuai berbagai hujatan, kritik dan penolakan dari masyarakat. Betapa tidak, pasalnya pekerja swasta dipaksa untuk ikut menjadi peserta Tapera. Tapera sendiri dibentuk pada tahun 2016 melalui UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Sebelumnya, PNS yang diwajibkan menjadi peserta program ini, tetapi sekarang justru pekerja swasta dan mandiri masuk dalam kepesertaan.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera. Pemerintah menetapkan iuran sebesar 3 persen yang dibayarkan secara gotong royong yakni 2,5 persen oleh pekerja dan 0,5 persen oleh pemberi kerja. Tentu saja pengusaha tidak mau menanggung resiko kerugian atas pemotongan ini sehingga yang akan mereka lakukan adalah dengan menaikkan harga barang. Ujung-ujungnya tentu rakyat yang akan menanggung bebannya dengan kenaikan harga barang.
Program Tapera ini jelas membebani rakyat. Untuk itulah sejumlah pekerja swasta dan pekerja mandiri atau informal menilai program Tapera akan menjadi beban baru dalam kehidupan mereka. Selama ini penghasilan mereka sangat pas-pasan khususnya pekerja mandiri dan berpenghasilan rendah. Apalagi pemerintah bakal mengoperasikan Tapera untuk pekerja mandiri dan informal selambat-lambatnya pada 2027. Itu berarti penarik ojek online, kurir, pelaku UMKM, pemilik warung, satpam, pekerja bangunan dan pekerja mandiri lain turut diwajibkan dalam program ini.
Ekonomi Eisha Magfiruha dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menyatakan bahwa Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) akan berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. Tentu ini akan merugikan pengusaha sendiri. Eisha menyampaikan iuran Tapera dapat mempengaruhi daya beli masyarakat. Penurunan konsumsi masyarakat tentu memiliki implikasi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Harus diakui bahwa kewajiban Tapera akan menambah beban ekonomi masyarakat. Pasalnya sebelum adanya tabungan wajib ini, sejumlah iuran seperti jaminan sosial ketenagakerjaan, pajak, dan potongan lain telah banyak menyunat penghasilan rakyat.
Kehidupan dalam sistem kapitalisme saat ini memang cukup sulit. Untuk memenuhi kebutuhan pokok saja rakyat memutar otak untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Apalagi sistem ekonomi kapitalis meniscayakan mahalnya harga kebutuhan pokok, pelayanan pendidikan maupun kesehatan. Negara saat ini abai terhadap peran utamanya sebagai pengurus rakyat. Adanya program Tapera ini membongkar jati diri sebenarnya dari negara, yaitu hanya sebagai pihak penyedia perumahan tanpa mempedulikan apakah rakyat mampu mengakses rumah layak huni atau tidak.
Sementara dalam proyek pembangunan KPR (Kredit Perumahan Rakyat), negara selalu mengandalkan swasta yang tentu akan memberi keuntungan cukup besar bagi para pengembang. Karena itu kebijakan Tapera yang dipaksakan ini diduga kuat merupakan regulasi yang pro korporasi karena dana yang terkumpul pada akhirnya akan diserahkan kepada korporasi. Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan negara sebagai pelayan korporat bukan pelayan rakyat.
Berbeda jika sistem Islam diterapkan. Dalam sistem Islam, negara akan menjamin terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat yang hidup dalam sistem ini. Dalam Islam pemimpin diposisikan sebagai penggembala dan pelayan rakyat. Tugasnya adalah mengurus seluruh urusan rakyat bukan mengeruk keuntungan dari rakyat.
Khilafah menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok setiap warga mulai sandang, papan, pangan dengan mekanisme yang telah ditetapkan syariat. Sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat, Maka semestinya penyelenggaraan perumahan rakyat menjadi tanggung jawab negara tanpa kompensasi apapun, seperti iuran wajib. Untuk memampukan rakyat memiliki rumah, negara akan memastikan terbukanya lapangan kerja yang luas bagi rakyatnya. Mengingat tingkat pendapatan rakyat berbeda-beda sesuai kapasitasnya sehingga ada saja rakyat miskin yang sulit membeli rumah maka negara hadir sebagai penjamin pemenuhan kebutuhan pokok ini.
Dalam menjalankan tanggung jawabnya negara dalam sistem Islam tidak berperan sebagai regulator apalagi sampai mengalihkan tanggung jawab kepada pihak swasta atau korporasi. Untuk pembiayaan perumahan rakyat yang tidak mampu akan diambil dana dari Baitul Mal. Sumber-sumber pemasukan dan pengeluaran Baitul Mal sepenuhnya berdasarkan ketentuan syariat artinya pemerintah tidak menggunakan anggaran berbasis kinerja apapun alasannya apalagi sampai mengkomersilkan perumahan
Sistem Islam juga menjamin bagi rakyat miskin yang sudah memiliki rumah, namun tidak layak huni maka negara akan melakukan renovasi secara langsung dan segera sehingga hasilnya bisa langsung dirasakan oleh rakyat miskin. Negara juga tidak boleh menyerahkan dana pembangunan perumahan rakyat miskin kepada operator properti. Negara akan langsung membangun rumah untuk rakyat miskin. Bahkan negara boleh memberikan tanah miliknya secara gratis untuk dibangun rumah selama bertujuan untuk kemaslahatan. Demikianlah jaminan terpenuhinya perumahan bagi rakyat yang hanya akan terwujud dalam sistem Islam, yakni Khilafah.
Wahai pemimpin negeri ini takutlah akan doa Rasulullah SAW: “Ya Allah, barangsiapa yang mengurusi urusan umatku kemudian dia merepotkan umatku maka susahkanlah dia.” (HR. Muslim: 1828).Wallahu a'lam bi ash shawab.