| 254 Views
Tanggung Jawab Negara Memberi Kenyamanan Saat Berkendara

Oleh: Alin Aldini
Aktivis Muslimah
Kecelakaan bus Trans Putera Fajar yang terjadi di Ciater, Subang, Jawa Barat seakan seperti fenomena gunung es, hanya satu di antara banyaknya kasus kecelakaan bahkan di awal 2024 ini, yang sebelumnya juga terjadi di Cicalengka, Jawa Barat yaitu kecelakaan kereta api.
Masalah ini tentu tidak bisa menyalahkan satu pihak, sekalipun ada kekecewaan pengguna layanan bus baik siswa maupun guru, juga duka mendalam yang dialami oleh orang tua siswa. Tercatat sebanyak 11 orang meninggal dunia akibat peristiwa itu. Korban terdiri dari sembilan orang siswa SMK Lingga Kencana, Depok, Jawa Barat, seorang guru dan seorang warga sekitar kejadian. Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Subang Maxi mengatakan total korban, termasuk yang luka, dalam kejadian itu sebanyak 60 orang (cnnindonesia.com, 12/5/2024).
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan bahwa bus pariwisata yang ditumpangi rombongan pelajar SMK Lingga Kencana Depok yang mengalami kecelakaan di kawasan Ciater, Subang, Jawa Barat, pada Sabtu (11/5/2024) petang, diduga tidak memiliki izin angkutan. Pasalnya, Ketika dilakukan pengecekan pada aplikasi Mitra Darat, status lulus uji berkala dari Bus Trans Putera Fajar bernomor polisi AD 7524 OG tersebut, telah kadaluwarsa sejak 6 Desember 2023.
Ini semua terjadi karena tidak adanya political will dari penguasa untuk mengurusi rakyat. Dan negara belum optimal memberikan kenyamanan bagi rakyat sebagai pengguna jalan raya yang merupakan sarana umum. Pemerintah sejatinya bertanggung jawab dalam menyediakan infrastruktur jalan yang memadai demi keselamatan dan kenyamanan saat berkendara.
Namun yang terjadi pemerintah berlepas tangan dan menyerahkan urusan tersebut kepada investor swasta (operator/korporasi perusahan). Seharusnya hal-hal demikian menjadi tanggung jawab negara, bukan koorporat apalagi kolektif yang sering dibebankan pada individu per individu seperti dalam bentuk asuransi.
Hal ini terjadi karena tak lepas dari penerapan aturan kapitalisme sekuler yang diterapkan negara. Sistem ini lebih mengutamakan kepentingan para pengusaha. Pasalnya, pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, jembatan, dan infrastruktur lainnya lebih diarahkan kepada kepentingan para pengusaha. Agar mobilisasi dan akses bisnis bisa berjalan lancer, terbukti setiap jalan tol berdekatan dengan bandara atau perumahan perumahan elit. Sementara akses jalan atau pun jembatan yang dibutuhkan rakyat kecil kerap ditunda pembangunannya.
Bahkan, pembangunan infrastruktur tidak mandiri dibiayai negara, tapi bekerja sama dengan pihak swasta. Jika urusan rakyat diserahkan kepada swasta, maka orientasinya lebih kepada bisnis demi mencari keuntungan, sehingga rakyat yang dirugikan karena keselamatan rakyat menjadi taruhannya.
Padahal, Islam sangat menghargai nyawa bukan hanya dari kasus peperangan, kejahatan/pembunuhan atau kelaparan saja tapi juga dari kecelakaan, itu pun menjadi tanggung jawab yang besar yang hanya bisa dipikul oleh negara bahkan dalam cakupan global. Jika bukan khilafah sistem pemerintahannya, negara mana yang mampu mewujudkan integritas transportasi memadai laik jalan?
Sebagaimana sabda Rasul SAW, “Imam (Khalifah) itu laksana penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Oleh karenanya, keselamatan atau keamanan dan kenyamanan dalam berkendara dijamin oleh penguasa sebagai pembuat juga penegak hukum, jadi ketika siapa saja yang melanggar aturannya yang berasal dari syara maka akan ada sanksi tegas mulai dari mengecek kelengkapan badan dan mesin transportasinya apakah masih laik jalan, memastikan kapan seharusnya diuji secara berkala, sampai kesehatan pengemudinya (bukan hanya SIM).
Kematian memanglah sudah menjadi takdir atau qadla dari Allah SWT yang seharusnya diterima dengan lapang dada, tapi setiap kemungkinan atau sebab dari kejadian tersebut tetap dihisab/ dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Agar tidak terjadi kecelakaan yang mejatuhkan korban nyawa sebaiknya sangat diperlukan evaluasi (muhasabah/ koreksi) penguasa supaya tidak berlepas tangan terhadap kecelakan yang bisa saja kembali berulang bahkan bertambah.[]