| 71 Views

Tambahan Suplemen Mampukah Mengentaskan Stunting?

Oleh : Ariefdhianty Vibie
Pegiat Literasi Bandung

Stunting masih menjadi masalah genting di negara ini, termasuk di Kota Bandung sendiri. Walaupun secara data angka stunting sudah turun menjadi 16,3% pada tahun 2023 dibandingkan tahun 2022 yaitu sebesar 19,4%, tetapi demi mengejar target sebesar 14% pada tahun ini, pemerintah Kota Bandung terus mengupayakan untuk menekan angka stunting. Salah satu program untuk menurunkan angka stunting adalah dengan program MMS yang diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan RI.

Pada 17 Oktober lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia resmi meluncurkan program nasional Multiple Micronutrient Supplement (MMS) untuk ibu hamil di Kota Bandung.

Program MMS bertujuan untuk menekan angka kematian ibu (AKI) dengan mencegah anemia, serta menurunkan risiko kelahiran prematur, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), dan stunting. MMS merupakan suplemen multivitamin yang mengandung lebih banyak zat gizi mikro dibandingkan tablet tambah darah (TTD) konvensional. Suplemen ini mencakup 13 zat gizi, seperti zat besi, asam folat, vitamin, dan mineral, yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil. Pemberian MMS diharapkan mampu mengurangi prevalensi anemia pada ibu hamil yang masih cukup tinggi, yakni 27 persen.

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, mengonsumsi MMS selama 180 hari atau 6 bulan masa kehamilan dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak. "Kalau kita ingin anak kita sehat dan pintar, minum MMS selama kehamilan insya Allah bisa mencapainya," ujarnya saat peluncuran di halaman SMA Negeri 27 Kota Bandung, Kamis 17 Oktober 2024.

Sejalan dengan Menteri Kesehatan, Pj Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin, menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat mengenai kesehatan ibu dan anak. "MMS adalah tambahan untuk memenuhi kebutuhan gizi, tetapi tetap harus diimbangi dengan pola makan bergizi. Kami berharap program ini membawa perubahan signifikan terhadap kualitas kesehatan di Jawa Barat," katanya (situs resmi Kota Bandung, 17/10/2024).

Pemberian suplemen semacam MMS, mungkin bisa menjadi alternatif tambahan bagi ibu hamil dan anak yang kekurangan gizi. Namun bisakah menjadi solusi terhadap krisis gizi yang dihadapi oleh masyarakat saat ini?

Sebenarnya sudah berjalan beberapa upaya dari pemerintah untuk mencegah stunting. Di antara upaya tersebut, yaitu: (1) peningkatan gizi anak melalui program pemberian makanan tambahan (PMT); (2) peningkatan gizi ibu hamil. Upaya ini dilakukan dengan pemeriksaan kehamilan dan pemberian makan tambahan bagi ibu hamil; (3) mendorong pemberian ASI eksklusif; (4) pemantauan tumbuh kembang balita. Realisasinya dilakukan dengan melengkapi alat pengukur berat badan dan tinggi badan di seluruh desa; (5) vaksinasi lengkap anak melalui program imunisasi; (6) sanitasi berbasis lingkungan; dan (7) pembangunan infrastruktur air minum.

Hanya saja, ketujuh upaya ini tidak akan tampak berpengaruh jika akar masalah munculnya stunting tidak dituntaskan. Stunting adalah masalah kegagalan pertumbuhan akibat nutrisi yang tidak cukup atau kurang pada anak. Periode krusial pemenuhan nutrisi pada anak dimulai dari masa kehamilan sampai anak usia 24 bulan.

Masalah stunting disebabkan oleh faktor multidimensi yang terutama terjadi akibat gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun oleh balita. Selain gizi buruk, lingkungan balita dibesarkan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi faktor penentu seorang balita berpotensi terkena stunting atau tidak.

Setidaknya terdapat empat faktor penyebab stunting selain gizi buruk. Pertama, praktik pengasuhan kurang baik. Kedua, terbatasnya layanan kesehatan selama masa kehamilan ibu. Ketiga, kurangnya akses keluarga ke makanan bergizi. Keempat, terbatasnya akses ke air bersih dan sanitasi.

Oleh karena itu, sebelum bicara penurunan stunting, kita harus mencermati akar munculnya gizi buruk, sanitasi buruk, infrastruktur kesehatan yang kurang memadai, pendidikan atau literasi rendah, dan sebagainya.

Meski antara kemiskinan dan stunting tidak selalu berkorelasi, kondisi ekonomi keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan lebih rentan dan beresiko mengalami stunting. Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan pemenuhan gizi dan nutrisi seimbang bagi ibu dan bayi dengan harga terjangkau, akses dan layanan kesehatan, serta sanitasi yang layak dan air bersih.

Ditambah peran negara yang berjalan lambat dan kurang serius, apalagi jika program pencegahan stunting dibumbui dengan penyalahgunaan anggaran. Semisal, pemberian makanan tambahan yang mestinya mengandung sumber protein penting bagi pertumbuhan badan, hanya terwakili dengan pemberian biskuit dan susu dalam kegiatan posyandu.

Pencegahan stunting dapat dilakukan melalui penyelesaian multidimensi. Negara harus mengupayakan seluruh sumber daya, aparat, lembaga, dana, fasilitas, dll. untuk mengentaskan stunting. Tidak hanya menggelontorkan dana, negara juga harus memberikan edukasi terkait gizi pada masyarakat. Negara juga harus memfasilitasi masyarakat agar bisa mengonsumsi makanan bergizi.

Selain itu, hal-hal yang terkait stunting juga harus dibenahi. Misalnya, kesejahteraan masyarakat dan stabilitas harga bahan pangan. Faktanya, kemiskinan masih menjadi masalah pelik di Indonesia. Angka kemiskinan ekstrem juga masih tinggi. PHK terjadi di mana-mana sehingga berdampak pada tingginya angka pengangguran. Selain itu, harga daging sapi, ayam, telur, dan ikan juga masih tinggi sehingga konsumsi protein hewani masyarakat menjadi rendah.

Oleh karena itu, untuk menekan stunting butuh perubahan mendasar dari aspek jaminan negara terhadap kebutuhan dasar rakyat. Sayangnya, negara yang menerapkan ideologi kapitalisme seperti Indonesia tidak memberikan jaminan ini. Akhirnya, penanganan stunting sekadar kejar tayang target WHO, juga pencitraan rezim yang berkuasa, dan bahkan menjadi “lumbung padi” bagi para tikus berdasi alias para koruptor.

Persoalan stunting akan sulit dituntaskan selama tata kelola negeri ini masih berlandaskan demokrasi kapitalistik yang menjadi sarang subur koruptor.

Masalah stunting bukan hanya menjadi beban keluarga, melainkan merupakan tanggung jawab negara sebagai pelayan rakyat yang bertugas menjamin dan memenuhi kebutuhan mereka secara optimal. Semua itu bisa terwujud dengan paradigma kepemimpinan dan sistem yang mengikuti aturan Maha Pencipta, yaitu Islam kaffah.

Politik ekonomi Islam menjamin pemenuhan semua kebutuhan primer tiap orang secara menyeluruh, serta kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup tertentu.

Seluruh kebutuhan dasar rakyat menjadi tanggung jawab negara. Negara akan memastikan setiap kepala keluarga mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak. Jika ada kepala keluarga yang tidak sanggup bekerja karena sakit atau cacat, misalnya, sedangkan kerabat mereka pun tidak mampu menanggungnya, keluarga tersebut tergolong keluarga yang akan disantuni oleh negara. Negaralah yang akan memenuhi seluruh kebutuhan keluarga tersebut, termasuk pangan bergizi, hingga keluarga tersebut bisa keluar dari kesengsaraannya.

Sebagai hasilnya, terwujudlah generasi emas cemerlang sebagai generasi unggul yang merupakan generasi terbaik, sebagaimana digambarkan dalam QS Ali Imran: 110, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.”

Namun, semua itu hanya akan terwujud dalam negara yang menerapkan pemerintahan Islam kaffah sesuai metode kenabian.

Wallahu’alam bisshawab


Share this article via

52 Shares

0 Comment