| 13 Views
Sistem Kapitalis Sekuler Melahirkan Kesenjangan di Bidang Pendidikan

Oleh : Umi Silvi
Aktivis Dakwah
Peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei selalu membuka harapan baru bagi perbaikan pendidikan negeri. Program-program baru senantiasa ditawarkan oleh pemimpin negeri. Kali ini, presiden meluncurkan program pembangunan gedung sekolah dan bantuan untuk guru. Sejauh apa program tersebut dilaksanakan?
Kenyataannya, kondisi pendidikan di Indonesia masih suram. Banyak bangunan sekolah yang sudah tidak layak, tetapi masih saja digunakan. Sarana dan prasarana pendidikan juga jauh dari kata memadai. Belum lagi para guru, terutama honorer, mendapatkan gaji yang sangat rendah.
Kondisi tersebut tidak lepas dari kecilnya anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah. Efisiensi anggaran yang dilakukan presiden sangat bertolak belakang dengan kebutuhan rakyat, khususnya di bidang pendidikan. Mestinya, anggaran untuk pendidikan ditingkatkan mengingat begitu pentingnya peran pendidikan dalam kemajuan negeri.
Dalam peringatan Hardiknas, presiden meluncurkan berbagai program untuk perbaikan pendidikan di negeri ini, di antaranya pembangunan atau renovasi sekolah dan bantuan untuk guru. Selama ini, realitanya penyelenggaran pendidikan di Indonesia menemui banyak masalah, baik dari sisi sarana maupun prasarana. Banyak bangunan sekolah tidak layak. Gaji guru juga tidak layak, terutama guru honorer.
Banyak sekolah yang kondisi fisik bangunannya memprihatinkan. Menurut data statistik pusat (BPS), pada tahun ajaran 2023/2024, ruang kelas SD yang kondisinya baik hanya 40,76%, sedangkan 48,71% rusak ringan/sedang, dan 10,52% lainnya rusak berat. (Muslimahnews.net, 09 Mei 2025)
Selain mengalami kerusakan, banyak pula sekolah yang tidak memiliki fasilitas pendukung pendidikan, seperti perpustakaan, ketersediaan laboratorium, ruang komputer, akses internet, dan musala. Bahkan, fasilitas urgen seperti toilet jumlahnya minim, banyak sekolah yang hanya memiliki satu toilet.
Meskipun negara telah meluncurkan berbagai program yang diharapkan dapat membantu, seperti KIP, “sekolah gratis”, dan berbagai bantuan lainnya, kenyataannya tidak semua orang dapat menikmati layanan pendidikan tersebut. Terlebih lagi, program-program itu sering kali ditujukan hanya untuk kelompok tertentu dan jumlahnya terbatas. Selain itu, keberadaan layanan pendidikan juga tidak merata di berbagai daerah, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Badan Pusat Statistik tahun 2024 memberikan data bahwa rata-rata lama pendidikan atau sekolah anak Indonesia umur 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh capaian jenjang menengah pertama. Banyak anak belum melanjutkan ke tingkat sekolah yang lebih tinggi lagi. Artinya, anak-anak Indonesia pada umumnya hanya mengenyam sekolah sampai tingkat SMP saja. Sungguh miris kondisinya. Bagaimana mungkin kita bisa mewujudkan Indonesia Emas jika anak-anak negerinya tidak mampu mengenyam pendidikan yang memadai?
Sebagian besar warga Indonesia hanya menyelesaikan pendidikan tingkat dasar dan menengah pertama. Hanya sekitar 10,2% dari penduduk berusia 15 tahun ke atas yang memiliki ijazah dari institusi pendidikan tinggi, sementara lulusan SMA masih berada di angka yang lebih tinggi, yaitu 34,12%.
Selain secara jumlah tidak memadai, dana anggaran pendidikan banyak yang dikorupsi. Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2016 – 2021 menyebutkan bahwa korupsi di sektor pendidikan masuk dalam lima besar korupsi di Indonesia. ini berdampak pada buruknya bangunan sekolah, rendahnya kesejahteraan guru, serta rendahnya kualitas anak didik yang dihasilkan. Hal-hal tersebut merupakan potret buram pendidikan Indonesia.
Ketimpangan dalam akses pendidikan di Indonesia masih sangat signifikan. Daerah pedesaan, rumah tangga dengan kondisi ekonomi yang sulit, dan kelompok penyandang disabilitas menjadi yang paling terpinggirkan dalam hal pendidikan.
Rata-rata tingkat pendidikan di Indonesia hanya setara dengan SMP. Hal ini disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan, sehingga akses pendidikan sangat tergantung pada kondisi ekonomi seseorang.
Dengan tingginya angka kemiskinan, makin sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan fasilitas pendidikan, bahkan pendidikan dasar sekalipun.
Ini terlihat dari sisi ekonomi, seperti biaya pendidikan, maupun dari aspek sosial. Akibatnya, muncul kesenjangan-kesenjangan, di mana hanya sekelompok masyarakat dengan penghasilan lebih yang dapat menikmati pendidikan yang berkualitas.
Para pelajar diperlakukan sebagai pelanggan dalam sistem bisnis pendidikan. Perbedaan biaya sekolah yang bervariasi menyebabkan pendidikan yang diterima menjadi tidak merata. Semakin tinggi kemampuan peserta didik untuk membayar, semakin besar pula peluang mereka untuk mengakses institusi pendidikan yang bergengsi dengan fasilitas yang mewah.
Semua itu adalah dampak kebijakan yang berlandaskan kapitalisme, termasuk dalam bidang pendidikan. Dalam sistem kapitalisme, peran negara sangat sedikit, tidak akan mungkin membuat perbaikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Kapitalisasi pendidikan menyebabkan negara berlepas tangan dari penyelenggaraan pendidikan, mencukupkan apa yang sudah disediakan swasta. Sehingga, sarana prasarana yang disediakan pun minimalis sesuai anggaran yang ada.
Belum lagi persoalan anggaran. Sistem ekonomi kapitalis membuat negara kesulitan menyediakan anggaran, bahkan menjadikan utang sebagai jalan untuk mendapatkan anggaran pembangunan. Tingginya korupsi dalam bidang pendidikan makin membuat minimnya dana yang tersedia.
Pendidikan dalam kapitalisme dianggap sebagai komoditas ekonomi yang boleh diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan. Sehingga, penyelesaian masalah tidak didesain secara komprehensif, tetapi hanya tambal sulam saja.
Dalam sistem Islam, yakni Khilafah, pendidikan adalah hak setiap warga negara, miskin ataupun kaya. Negara wajib menyediakannya secara mudah, bahkan gratis dan merata untuk membentuk manusia cerdas, bertakwa, dan berketerampilan tinggi, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Hal ini karena pendidikan adalah pintu gerbang untuk mewujudkan peradaban yang unggul.
Khilafah memiliki banyak sumber dana yang mumpuni untuk mewujudkannya. Dana pendidikan didapatkan dari Baitul Mal, terutama pos kharaj, fai’ ditambah kepemilikan umum. Negara mengontrol agar hak pendidikan terpenuhi secara merata di seluruh penjuru negeri.
Sementara itu, infrastruktur publik dan fasilitas penunjang pendidikan merupakan kewajiban negara sebagai pengurus sehingga negara juga memastikan bahwa di setiap wilayah negeri terdapat sarana dan prasarana yang memadai agar hak pendidikan setiap anak dapat terpenuhi dengan baik. Maka, tidak heran jejak pendidikan pada masa peradaban Islam begitu gemilang serta dikenal sebagai pendidikan terbaik di pentas global.
Islam tidak akan membiarkan tumbuhnya peluang kebodohan disebabkan karena terbatasi biaya pendidikan. Oleh sebab itu, negara Khilafah menyediakan pendidikan bebas biaya untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi seluruh rakyat agar dapat mengenyam pendidikan sesuai bidang yang mereka minati.
Maka, sangat wajar penerapan sistem pendidikan Khilafah yang berlangsung selama belasan abad mampu menghasilkan ilmuwan dan cendekiawan yang ahli dalam beragam disiplin ilmu dan berbagai bidang. Semua itu hanya terwujud dalam sistem Islam kaffah, yaitu dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Mari bersama berjuang mewujudkannya.
Wallahu a’lam bis shawab.