| 120 Views

Sistem Ekonomi Kapitalisme Versus Sistem Ekonomi Islam

Oleh : Siti Martiana

Pemerintah memberikan kado awal tahun 2025 kepada rakyat berupa penetapan kenaikan pajak PPN dari 11% menjadi 12%. Tidak hanya itu, pemerintah juga telah menetapkan tambahan pungutan atas pajak kendaraan bermotor yang disebut opsi pajak sebesar 66% dari nilai pokok pajak. 

Kebijakan kenaikan tarif dan tambahan atas pajak bagi rakyat jelas akan berdampak buruk bagi kesejahteraan rakyat. Terlebih saat ini ekonomi Indonesia sedang memburuk, daya beli masyarakat menurun, banyak industri tutup, terjadi PHK massal, pengangguran meningkat. Kebijakan yang tidak tepat akan mengantarkan pada efek domino kenaikan harga, krisis ekonomi dan kepercayaan, serta terpuruknya adalah krisis multidimensi.

Demi meredam dampak kenaikan ini, pemerintah mencanangkan sejumlah stimulus ekonomi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan sejumlah jaring pengaman yang akan diberikan oleh pemerintah untuk sementara, di antaranya: 

Pertama, bantuan pangan berupa beras kemasan 10 kg selama 12 bulan kepada 16 juta keluarga penerima manfaat.

Kedua, diskon 50% tarif listrik selama dua bulan untuk daya terpasang 450 VA sampai 2.200 VA. Diskon ini berlaku bagi 81,4 juta pelanggan listrik PLN, terdiri dari 24,6 juta pelanggan listrik 450 watt; 38 juta pelanggan 900 watt; 14,1 juta pelanggan 1.300 watt; dan 4,6 juta pelanggan 2.200 watt.

Ketiga, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) diberikan akses kemudahan jaminan kehilangan pekerjaan dan bagi pelaku UMKM atau industri mendapat kompensasi PPh final 0,5% dari omzet sampai dengan 2025.

Keempat, percepatan program bansos, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang menyasar 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang semula dijadwalkan pada akhir triwulan I dipercepat menjadi awal 2025. Lalu sembako untuk 18,8 juta KPM yang disalurkan setiap bulan juga akan direalisasikan awal 2025. Pun dengan bantuan makan bergizi gratis untuk 36.000 penyandang disabilitas dan 101.000 lansia juga dipercepat pada awal 2025.

Selain itu Pemerintah mengonfirmasi bahwa kebijakan pajak 12% hanya untuk barang mewah dan pemerintah akan memberikan subsidi pada beberapa kebutuhan pokok, seperti listrik. Faktanya, kebijakan pajak tidak luput dari barang kebutuhan masyarakat, seperti beras, sabun, deterjen, pulsa, dan lainnya. Selain itu, subsidi sifatnya terbatas waktu dan penerima tidak akan mampu menyelesaikan problem perekonomian jangka panjang. 

Pemerintah melalui menterinya juga menyampaikan bahwa PPN kita masih jauh di bawah negara lain yang sampai 15%. Nyatanya, besaran PPN Indonesia menjadi tertinggi di negara-negara ASEAN dengan tingkat ekonomi yang tidak lebih baik jika dibandingkan dengan negara tetangga (Singapura) yang hanya menetapkan pajak PPN 8%.

Kebijakan pajak merupakan konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi yang berasaskan materialistik menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan utama yang diandalkan dan menjadi tumpuan kelangsungan negara. Pada saat neraca APBN terus defisit dan utang menggunung, biaya operasional negara yang bengkak karena struktur yang gemuk dan tidak efisien menjadikan jalan satu-satunya yang dipandang bisa mendatangkan dana adalah pajak atau pungutan wajib yang ditarik dari uang rakyat.

Pajak juga menjadi sumber pendanaan yang banyak jenis dan pilihannya. Atas nama undang-undang, penguasa dengan mudah mengumpulkan dana meski harus membebani rakyatnya. Bagaimana tidak? Sebenarnya sangat mudah bagi penguasa untuk membatalkan kebijakan yang sudah ditetapkan sebelumnya jika memang memiliki rasa peduli pada rakyatnya. Namun, betapa banyak undang-undang yang dibuat dan diamandemen untuk kepentingan golongan tertentu seperti investor dan para pemilik modal.

Lantas, mengapa begitu sulit membatalkan ketetapan pajak yang sudah diputuskan oleh undang-undang dan penguasa sebelumnya sekadar untuk bukti kepedulian pada rakyatnya? Di sinilah letak perbedaan sistem ekonomi kapitalisme versus sistem ekonomi Islam.

Ekonomi Syariah Islam

Sistem ekonomi syariah (Islam) mewajibkan penguasa (khalifah) bertanggung jawab atas pengelolaan urusan rakyatnya dengan melaksanakan syariat pada seluruh aspek kehidupan manusia. Syara mewajibkan penguasa untuk memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi rakyatnya berupa terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan dengan mekanisme tidak langsung, serta jaminan pemenuhan kebutuhan masyarakat berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan dengan sumber dana dari pengelolaan kepemilikan umum (seluruh SDA).

APBN Khilafah memiliki struktur pemasukan dan pengeluaran harta berdasarkan pada pengaturan syariat. Tidak ada pemasukan ataupun pengeluaran satu sen pun tanpa adanya izin syariat. Sedangkan pajak dalam sistem ekonomi Islam adalah pemasukan yang menjadi pilihan terakhir negara dan hanya berlaku pada orang-orang kaya. Sifatnya juga tidak permanen dan hanya saat dibutuhkan dikarenakan kekosongan keuangan negara.

Negara Khilafah memiliki sumber pemasukan yang berasal dari baitulmal. Dalam kitab An-Nizham al-Iqtishady fi Al-Islam yang ditulis oleh Taqiyuddin an-Nabhani, dijelaskan bahwa sumber pemasukan tetap baitulmal adalah fai, ganimah, anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta zakat. Hanya saja, harta zakat diletakkan di bagian khusus baitulmal serta tidak diberikan selain untuk delapan ashnaf (golongan) yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan tidak sedikit pun dari harta zakat tersebut boleh diberikan kepada selain delapan ashnaf tersebut, baik untuk urusan negara maupun urusan umat.

Begitu pula pemasukan harta dari hak milik umum, juga diletakkan di bagian khusus baitulmal dan tidak boleh dicampuradukkan dengan yang lain sebab harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslim yang diberikan oleh khalifah sesuai dengan kemaslahatan kaum muslim yang menjadi pandangan dan ijtihadnya berdasarkan hukum syarak.

Sedangkan harta-harta lain yang merupakan hak baitulmal diletakkan di baitulmal dengan harta lain, serta dibelanjakan untuk urusan negara dan urusan umat, serta delapan ahsnaf dan apa saja yang menjadi pandangan negara. Apabila harta-harta ini cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat maka cukup dengan harta tersebut. Apabila tidak, negara harus mewajibkan pajak (dharibah) untuk menunaikan tuntutan dari pelayanan urusan umat.

Bagaimana cara memungut pajak tersebut dari kaum muslim? Semuanya itu dipungut dari sisa nafkah (kebutuhan hidup) dari harta orang kaya, menurut ketentuan syarak. Harta orang kaya tersebut adalah harta yang merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan primer (basic needs) serta kebutuhan sekunder yang makruf.

Adapun tata cara kewajiban pajak ini dilaksanakan sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syarak kepada kaum muslim. Apabila kegiatan tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kaum muslim, lalu kegiatan tersebut membutuhkan biaya maka negara boleh mewajibkan pajak kepada orang-orang kaya agar negara dapat melaksanakan tugas tersebut.

Atas dasar inilah, negara boleh menarik pajak dalam keadaan sebagai berikut:

1. Untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran wajib bagi baitulmal untuk para fakir miskin, ibnusabil, serta untuk melaksanakan kewajiban jihad.

2. Untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran wajib bagi baitulmal untuk kompensasi, semisal pengeluaran untuk gaji pegawai negeri, tentara, dan sebagainya.

3. Untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran wajib bagi baitulmal untuk kemaslahatan dan kemanfaatan tertentu, bukan untuk kompensasi apa pun, semisal pembukaan jalan, penggalian air, pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit, serta urusan-urusan lain yang dianggap sebagai masalah yang urgen dan umat akan menderita tanpa kehadirannya.

4. Untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran wajib bagi baitulmal karena suatu keterpaksaan, semisal ada paceklik, angin topan, gempa bumi, serangan musuh, atau apa saja yang menimpa kaum muslim.

5. Untuk melunasi utang negara dalam rangka melaksanakan kewajiban negara terhadap kaum muslim, yaitu hal-hal yang termasuk dalam salah satu dari keempat keadaan di atas, atau yang menjadi cabang dari keadaan-keadaan tersebut, serta keadaan apa pun yang telah diwajibkan oleh syarak atas kaum muslim.

Dengan demikian, pajak diambil hanya ketika kas negara (baitulmal) benar-benar kosong dan digunakan untuk pengeluaran wajib dari baitulmal. Penarikan pajak (dharibah) dalam Islam bersifat temporal, bukan menjadi agenda rutin seperti halnya pajak di sistem kapitalisme.

Demikianlah, Islam memberikan gambaran kepemimpinan yang amanah adalah mengurus dan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat, meringankan beban mereka, dan membantu mereka jika mengalami kesulitan ekonomi. Negara Khilafah memiliki skema pemasukan yang diambil dari banyak sektor. Dalam sistem Islam kafah, pajak tidak menjadi sektor atau pilihan utama sebagai sumber pemasukan negara. Kepemimpinan dan sistem Islam kafah akan melahirkan kebijakan yang mengutamakan kepentingan dan kemaslahatan rakyat.


Share this article via

35 Shares

0 Comment