| 474 Views
Seremonial Hari Guru, Antara Kompleksitas Persoalan Guru VS Kualitas Siswa

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim
Baru-baru ini kita telah melewati momentum Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November setiap tahunnya. Peringatan hari guru dimaknai sebagai wadah untuk mengapresiasi jasa dan kerja keras guru yang dirayakan khususnya oleh para murid dan guru di sekolah. Namun faktanya, perayaan ini tidak lebih hanya sekedar seremonial belaka. Pasalnya, hari ini ada banyak persoalan yang terjadi pada guru, mulai dari gaji yang tidak layak, guru yang hanya dianggap sebagai pekerja, hingga maraknya kriminalisasi guru yang menunjukkan guru tidak memiliki jaminan perlindungan. Ada banyak pula guru yang melakukan perbuatan kontraproduktif terhadap profesinya, seperti menjadi pelaku bullying, kekerasan fisik dan seksual, hingga terlibat judi online.
Berbagai persoalan tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa guru hanyalah menjadi korban dari sistem yang rusak ini. Sistem apakah itu? Tentu saja tidak lain dan tidak bukan sistem kehidupan yang sedang eksis dalam sistem sekularisme-kapitalisme yang diterapkan saat ini. Dalam sistem ini, yang menjadi penguasa yang sebenarnya adalah para pemilik modal atau kapitalis, sehingga orientasi hidup dalam sistem ini tertuju hanya pada materi semata, termasuk seremonial yang kita saksikan kebanyakan bersifat materi.
Hal ini sangat bisa dirasakan dalam sistem pendidikan saat ini. Salah satu contohnya ialah guru yang tidak dipandang sebagai pendidik melainkan sebagai faktor produksi yang menyiapkan murid-murid menjadi pekerja bagi industri. Orientasi pendidikan seperti ini niscaya akan menghilangkan nilai ruhiyiah dalam bidang pendidikan.
Hal ini menjadi sebuah kewajaran ketika baik guru atau murid sama-sama berpotensi menjadi pelaku bullying. Kehidupan kapitalisme yang menihilkan peran agama membuat kehidupan guru semakin terjerat kemiskinan. Guru digaji tidak layak, sementara beban kehidupan semakin mahal akibat monopoli dan liberalisasi kebutuhan masyarakat oleh para kapital. Akhirnya, para guru harus berhadapan dengan kehidupan yang keras. Demi menyambung hidup, para guru terpaksa terlibat judol, terlilit utang, hingga mencari pekerjaan tambahan. Jelas saja kondisi ini tentu akan berpengaruh pada pelaksanaan tugasnya mendidik generasi. Dengan demikian, selama sistem sekularisme-kapitalisme eksis, selama itulah kesejahteraan, penghormatan, dan perlindungan terhadap profesi guru tidak akan pernah tercapai.
Lalu bagaiman Islam memberikan treatment untuk profesi mulia ini? Apakah sama halnya dengan sistem sekularisme-kapitalisme? Tentu jawabannya tidak. Sangat berbeda dengan sistem sekuler dalam memposisikan guru. Sistem Islam yang diterapkan secara praktis oleh negara dibawah kepemimpinan Islam, memiliki aturan tertentu terkait guru.
Islam sangat menghormati ilmu dan pengajarnya, maka seorang guru di dalam sistem Islam akan mendapatkan jaminan perlindungan terhadapnya, serta peningkatan kualitas ilmunya. Hal ini sebagai wujud kebijakan negara yang menghormati profesi guru. Islam membuat kebijakan yang mengatur peningkatan kualitas ilmu para guru, seperti pemberian secara gratis berbagai fasilitas pendidikan, pelatihan, diskusi ilmiah, penelitian, buku dan sarana prasarana penunjang lainnya sehingga kualitas guru bisa dipertanggungjawabkan.
Terkait kualifikasi seorang guru, Islam menetapkan kriteria yang tinggi bagi seorang guru. Para guru haruslah orang-orang yang bertakwa, berakhlak mulia, memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni, disiplin, profesional, dan memiliki kemampuan mendidik. Kualifikasi tersebut akan menjadi bahan seleksi negara untuk menscreening para calon guru sebelum mereka dinyatakan layak mengajar.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda tentang profil guru, “Jadilah pendidik yang penyantun, ahli fikih, dan ulama. Disebut pendidik apabila seseorang mendidik manusia dengan memberikan ilmu sedikit-sedikit yang lama-lama menjadi banyak” (Hadits Riwayat Bukhari). Dengan demikian, kebijakan-kebijakan negara dibawah sistem Islam terkait penghormatan profesi guru, akan memastikan bahwa para guru dalam negara adalah orang-orang yang layak untuk menjadi pendidik, bukan orang-orang yang menyandang status guru namun perbuatannya mencederai profesinya yang mulia seperti melakukan bullying, kekerasan fisik dan seksual hingga terlibat judol.
Tak hanya kebijakan tersebut, demi terwujudnya peran guru yang mencerdaskan generasi secara optimal, Islam juga memiliki mekanisme yang tertib dan teratur dalam memperlakukan guru, diantaranya yakni memberikan gaji yang besar. Dalam kitab An-Nafaqat wa Idaratuha fid Daulatil Abbasiyyah, Dr. Rudhaifullah Yahya Az-Zahrani menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik umum mencapai 2000 dinar. Sedangkan gaji untuk periwayat hadis dan ahli fikih mencapai 4000 dinar. Apabila gaji dikonversi dengan mata uang rupiah, kurang lebih gaji guru saat itu mencapai 12,75 miliar rupiah per tahun. Sementara pengajar hadis dan fikih mencapai 25,5 miliar rupiah per tahun, dengan asumsi harga 1 gram emas murni Rp1.500.000. Bahkan Az-Zahrani juga menyebutkan bahwa makin tinggi tingkat keilmuan seorang ulama, maka gajinya pun akan makin besar.
Imam Al-Waqidi, ulama ahli Al-Qur’an dan hadis paling populer pada masanya, mendapatkan gaji tahunan mencapai 40.000 dinar atau setara 255 miliar rupiah. Jumlah gaji tersebut tentu sangat fantastis dan sangat cukup untuk menjamin kesejahteraan guru tersebut. Jika guru sejahtera, maka guru akan bisa fokus dan optimal mengajar. Mereka tidak harus sampai kekurangan gaji hingga mencari pekerjaan sampingan demi menutupi kebutuhan. Terlebih di dalam Islam, kebutuhan dasar publik seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan disediakan gratis juga berkualitas. Maka gaji para guru bisa dikatakan lebih dari cukup jika hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka dan keluarga.
Selain memberikan gaji besar, negara juga akan memberikan jaminan keamanan kepada guru ketika mereka melaksanakan tugas, sehingga tidak akan terjadi kasus kriminalisasi atau bullying kepada guru, sebab syariat memerintahkan murid-murid untuk ta'dzim kepada guru dengan menunjukkan akhlak mulia dan adab yang luhur. Murid dan guru juga akan paham konsep ini, karena Islam memerintahkan keluarga sebagai tempat pendidikan syariat pertama kepada anak-anak.
Maka bisa kita bayangkan dan rasakan, betapa berkahnya kehidupan para guru apabila profesi mereka diatur oleh sistem Islam yang diterapkan oleh negara dibawah kepemimpinan Islam.Tentu saja, semua ini hanya akan terwujud ketika kita kembali menerapkan aturan Tuhan yakni syariat Islam di sistem pendidikan khususnya dan juga negara pada umumnya secara menyeluruh (kaffah). Tidakkah kita merindukan hal ini seperti yang telah diterapkan pada masa kejayaan Islam?