| 6 Views

Serangan Iran ke Israel Bukan Perang Total

Oleh : Ainul Mizan
Peneliti LANSKAP

Pada Sabtu pagi (14/6) ratusan rudal balistik dan drone menghujani Kota Tel Aviv, Israel. Sistem pertahanan udara Israel, Iron Dome terlihat sibuk mengatasinya. Meskipun begitu api yang membumbung tinggi tak ayal menjadi pemandangan Kota Tel Aviv.

Serangan Iran kali ini memang cukup serius. 29 orang terluka, dan 3 lainnya jadi korban meninggal. Tentunya menjadi ueforia kegembiraan di dunia Islam. Di tengah cueknya penguasa dunia Islam, khususnya Arab terhadap genosida Israel atas Gaza, Iran seolah mewakili gejolak kemarahan dunia Islam. Serangan Iran berkesan mewakili aspirasi keberpihakan pada penderitaan Palestina.

Realitas yang terjadi adalah serangan Iran tersebut merupakan serangan balasan terhadap Israel. Pasalnya pada Jumat (13/6), Israel melancarkan serangan ke wilayah Iran yang menyasar pusat pengembangan nuklirnya, Natanz. Hanya saja serangan Israel menghasilkan kerusakan terbatas, klaim Iran. Korban yang meninggal 78 orang, dan 341 lainnya terluka. Bahkan serangan Israel tersebut telah berhasil membunuh 7 perwira Iran dan ahli nuklirnya. Iran mensinyalir jika AS berada di balik serangan Israel.

Jadi serangan balasan Iran pada hari berikutnya itu hanya bersifat Face Saving. Iran ingin menyelamatkan mukanya di dunia Islam, khususnya. Iran ingin menunjukkan bahwa dirinya bisa melakukan pembelaan diri. Serangan Iran ke Israel bukan Perang Total. Sentimennya bukan jihad untuk membela Palestina dan melenyapkan entitas Zionis Israel, Sang Agresor. Oleh karena itu, meskipun serangan Iran juga menyasar pusat industri militer Israel, Kriya dan menghasilkan korban di pihak Israel, tidaklah sebanding dengan korban yang ditimbulkan oleh serangan Israel padanya. Apalagi bila dibandingkan dengan korban meninggal dari warga Gaza akibat genosida Israel, sangat tidak sebanding.

Yang disebut dengan perang total, meskipun awalnya sebagai serangan balasan atas Israel tentunya Iran harus mengerahkan seluruh kekuatan dan sumber dayanya. Tidak hanya mengerahkan ratusan rudal dan drone yang sebagian besarnya berhasil dihadang Iron Dome. Semua missilnya akan dikerahkan. Iran juga akan memobilisasi milisi sekutunya seperti Houthi di Yaman dan Hizbulloh di Libanon. Yang menjadi sasaran bukan hanya pusat militer Israel, tapi serangannya meluas ke semua wilayah Israel. Dengan kata lain, Iran juga harus siap melakukan perang terbuka dengan pelindung Zionis yakni Amerika Serikat.

Itu semua tidaklah terjadi. Iran belum siap melakukan perang terbuka dengan Israel maupun Amerika Serikat. Milisi sekutunya seperti Hizbullah telah mulai menyadari bahwa mereka hanya dipakai oleh Iran untuk meraih ambisi-ambisi Iran demi kepentingan Iran. Akhirnya Hizbulloh lebih memilih fokus di dalam negerinya. Sedangkan Houthi belumlah cukup untuk melakukan serangan kepada Israel. Di samping itu pada serangannya kali ini memang Iran hanya ingin mengembalikan citranya. Iran tidak ingin melibatkan unsur lain seperti milisi yang berpihak padanya.

Adapun dari pihak Amerika Serikat sendiri. Trump sudah mengetahui jika Israel akan menyerang Iran di pertengahan tahun 2025. Hal ini terungkap dari pengakuan Netanyahu jika Trump menyetujui serangan Israel ke Iran pada Jumat (13/6) tersebut. Bahkan AS memberikan bantuan ratusan missil pada Israel.

Sejak 12 Februari 2025, Trump sudah melakukan pertemuan dengan Iran terkait pengembangan proyek senjata nuklirnya. Trump ingin mengikat Iran dengan perjanjian poliferasi nuklir. Trump memberikan tenggat waktu hingga 61 hari ke depan. Artinya serangan berbalas antara Iran vs Israel merupakan drama yang disetting.

Upaya AS untuk mengurangi nuklir Iran sebagai bagian dari poliferasi nuklir. Tekanan ini begitu kuat dengan terbunuhnya 7 perwira Iran dan ahli nuklirnya. Artinya Iran sendiri tidaklah begitu serius untuk mempertahankan diri. Di sisi yang lain, AS memberikan kesempatan pada Iran untuk membela diri. Bila serangan Israel pada Jumat (13/6) memang menarget poin dan memberikan pesan agar Iran mengurangi pengembangan nuklirnya. Sedangkan dalam spektrum yang lebih luas, serangan balas-balasan antara Iran-Israel yang terjadi hingga beberapa hari tersebut menjadi upaya untuk mengalihkan perhatian dunia dari berbondong-bondongnya warga sebagian negeri Eropa yang ingin masuk menerobos Rafah demi memberikan bantuan pada Gaza. Tentunya penolakan militer Mesir untuk membuka Rafa dan mendeportasi mereka merupakan aib kemanusiaan yang paling memalukan di dunia.

Sesungguhnya keberadaan Iran dengan platformnya sebagai Republik Islam tidak akan serius memihak kepentingan Islam dan kaum muslimin. Republik Islam Iran yang dibentuk sejak 1979 oleh Ayatullah Khomeini berada di bawah lisensi Amerika Serikat (AS). Bahkan telah ada kesepakatan bahwa pemerintah Iran akan tunduk pada arahan AS. Sedangkan pemerintah Iran diberikan otonomi untuk mengatur rakyat dan negerinya. Dengan kata lain, serangan balas membalas antara Iran-Israel adalah serangan yang terjadi antara anak angkat vs anak haram dari AS yakni Zionis Israel.

Kapan serangan balas membalas Iran-Israel akan berhenti? Jawabannya ketika AS meminta keduanya untuk berhenti.

Sudah jelas kiranya bagi kita kaum muslimin. Para penguasa kaum muslimin saat ini tidak ada yang serius mengirimkan militernya guna membela Gaza dan al-Quds. Kalaupun ada serangan dari Iran misalnya untuk menyerang Israel tidak lebih dari pembelaan terhadap kepentingan nasionalnya sendiri. Para penguasa kaum muslimin hari ini masih terbelenggu oleh Nasionalisme sehingga tangan mereka terbelenggu untuk menolong Gaza dengan seluruh kekuatannya. AS telah berhasil mengkerdilkan jiwa para penguasa tersebut hanya sebatas bisa berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya. Dalam kancah internasional, mereka tidak boleh keluar dari garis kepentingan AS. Apalagi Trump telah mencanangkan program MAGA (Make America Great Again).

Di tengah diamnya para penguasa muslim tersebut, kaum muslimin harus segera menyadarinya. Kaum muslimin tidak bisa hanya berharap pada mereka. Realitasnya mereka tidak peduli. Mereka ikut arahan two state solution ala penjajah. Kaum muslimin harus mengambil solusi tuntas atas masalah Palestina berdasarkan Islam semata. Jihad dan Khilafah merupakan solusi tuntas berdasarkan Islam. Bila tidak ada penguasa dan militer muslim yang berani berjihad terhadap agresor Israel Zionis, maka pilihannya adalah umat Islam segera bergerak bersatu mengupayakan dengan serius untuk mengembalikan tegaknya al-Khilafah. Khilafah itulah negara yang akan menghimpun semua kekuatan umat Islam guna melenyapkan entitas Zionis Israel. Khilafah itulah yang sebanding untuk berhadapan langsung dengan Amerika Serikat. Walhasil, Amerika Serikat akan berupaya keras untuk menghalangi kembalinya Khilafah Islam.


Share this article via

0 Shares

0 Comment