| 303 Views

Sekolah Negeri Tidak Punya Gedung, Bukti Pemerintah Abai Terhadap Pendidikan

Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd
Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi

Enam tahun sudah SMPN 60 Bandung berdiri. Namun, sejak didirikan, sekolah tersebut tak memiliki bangunan sekolah sendiri. Hingga kini sebagian siswanya harus belajar di luar kelas demi mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM).

Selain lesehan dengan beralaskan terpal plastik berwarna biru di teras ruangan luar kelas, para siswa juga kerap belajar di bawah pohon rindang atau disingkat DPR.

Sejak tahun 2018, siswa SMPN 60 Bandung harus menumpang di bangunan SDN 192 Ciburuy, Kecamatan Regol, Kota Bandung. Hal itu dilakukan karena SMPN 60 Bandung belum memiliki bangunan.

Karena siswa SMPN 60 Bandung memiliki 9 rombongan belajar (rombel) dan di SD tersebut hanya ada 7 ruangan kelas yang dapat menampung siswa, maka dua kelas harus belajar di luar ruangan.

Tak hanya ruangan kelas, ruang kepala sekolah, ruang guru dan tata usaha (TU) juga dijadikan satu. Selain gunakan fasilitas kelas, lapangan milik SDN 192 Ciburuy juga digunakan siswa SMPN 60 Bandung. detik.com, 28/9/2024

Berdasarkan penjelasan Humas SMPN 60 Bandung Rita Nurbaini, jumlah siswa ada 270 anak yang terdiri dari 9 rombongan belajar (rombel), sedangkan ruang kelas hanya ada 7 sehingga 2 rombel lainnya harus mengikuti KBM di luar kelas dengan duduk lesehan.  Karena menumpang gedung milik SDN 192 Ciburuy, Regol, Kota Bandung, para siswa dan guru SMPN 60 Bandung harus berpuas diri memanfaatkan sarana yang ada. Kursi dan meja bantuan dari Disdik Kota Bandung yang tersimpan di teras sekolah tidak digunakan lantaran tidak punya gedung sendiri.

Rita mengaku sudah mengajukan permohonan gedung kepada Dinas Pendidikan Kota Bandung. Namun, hingga saat ini belum mengetahui pasti perkembangan permohonan permintaan tersebut.
Rita sebut saat ini ada sekitar 270 siswa SMPN 60 Bandung yang terbagi pada dua rombel untuk kelas 7, empat kelas untuk kelas 8 dan kelas 9 tiga. detik.com, 27/9/2024

Sungguh persoalan pendidikan semakin hari semakin kompleks, salah satunya masalah sarana dan prasarana. Bukan hanya tidak punya gedung sendiri, masih banyak sekolah-sekolah negeri yang rusak dan minim fasilitas. Berdasarkan data Kemendikbudristek, pada 2022 terdapat 21.983 sekolah yang kondisinya rusak dan butuh perbaikan. Salah satu penyebab kerusakan tersebut ialah kurangnya anggaran dari pemerintah untuk merenovasi dan memperbaiki sarana dan prasarana sekolah.

Sekolah adalah tempat generasi menimba ilmu. Sudah sepatutnya negara menyediakan segala fasilitas dan layanan pendidikan yang memadai di setiap sekolah hingga pelosok negeri. Jika penyediaan sarana dan prasarana sekolah saja tidak terpenuhi dengan baik, bagaimana mungkin kita dapat mencetak dan membentuk generasi unggul dan berkualitas dengan fasilitas minim dan ala kadarnya?

Pendidikan adalah salah satu bidang penting dalam menentukan masa depan bangsa. Selain itu, pendidikan pada dasarnya merupakan kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Sayangnya, pengelolaan pendidikan di bawah sistem kapitalisme menjadikan negara tidak berpihak penuh kepada rakyat. Hal ini semakin tampak jelas ketika sekolah berdiri karena kebutuhan rakyat, namun negara tidak memfasilitasi ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan proses belajar mengajar.

Sistem kapitalisme liberal telah menghasilkan negara yang bermasalah secara ekonomi, sehingga anggaran pendidikan minim. Otomatis pembangunan infrastruktur sekolah pun terhambat, hal tersebut ditambah dengan buruknya birokrasi karena otonomi daerah.

Dalam sistem kapitalisme, negara yakni pemerintah pusat lepas tanggung jawab dalam urusan pendidikan. Sebab negara kapitalisme jauh dari fungsi raa'in (pengurus). Urusan pendidikan cenderung diserahkan kepada pihak swasta yang menyebabkan perencanaan pendidikan tidak matang, banyak sekali persoalan yang lambat penanganannya, bahkan tidak tertangani. Ada sekolah tanpa bangunan hingga sekolah rusak di daerah yang menunggu respon pemerintah pusat, namun tidak kunjung diselesaikan.

Parahnya lagi, sistem ini telah melahirkan praktek pengelolaan anggaran yang korup karena jauh dari nilai-nilai agama (sekulerisme). Akibatnya alokasi dana pendidikan yang asalnya sedikit, tidak dapat terserap sempurna. Selain itu, tanggung jawab terhadap kewajiban penyelenggaraan pendidikan juga lemah. Birokrasi pun tidak tegak sesuai kebutuhan, yang ada malah berbuah penelantaran dan pembiaran.

Berbeda dengan pengelolaan pendidikan di bawah Negara Islam yakni Khilafah. Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu bidang strategis untuk membangun peradaban yang maju dan mulia. Pendidikan juga merupakan kebutuhan pokok rakyat yang wajib disediakan negara dengan anggaran yang bersifat mutlak.

Negara dalam Islam berperan sebagaimana raa'in (pengurus) rakyat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam;
"Imam (Khilafah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertangungjawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Bukhari)

Hadis tersebut menuntut negara mengurus rakyatnya dengan baik termasuk menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikannya dengan kualitas terbaik. Infrastruktur pendidikan dalam Khilafah harus memadai, negara memiliki big data kependudukan yang akan dimanfaatkan dengan baik oleh negara untuk perencanaan pembangunan, termasuk pembangunan institusi pendidikan. Dari big data tersebut negara akan mengetahui berapa jumlah rakyatnya yang memerlukan pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi.

Negara juga akan memetakan penyebaran rakyat yang membutuhkan sekolah, sehingga negara Bisa menghitung kebutuhan sekolah yang akan dibangun hingga pelosok. Dalam membangun infrastruktur pendidikan, negara wajib menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, perpustakaan, buku-buku pelajaran, internet, teknologi yang mendukung kegiatan belajar mengajar dan sebagainya.

Semua jenjang pendidikan harus memiliki fasilitas pendidikan yang sama, agar semua peserta didik di setiap wilayah dapat menikmati fasilitas pendidikan yang berkualitas. Semua itu menjadi tanggung jawab negara sebagai pengurus rakyat. Seluruh pembiayaan tersebut menjadi tanggung jawab negara bukan peserta didik.

Negara tidak boleh menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis yang dikomersialisasikan. Seluruh pembiayaan pendidikan dalam Khilafah diambil dari Baitul Mal, yakni dari pos faai dan khoraj dan pos kepemilikan umum. Di bawah penerapan sistem politik ekonomi Islam, negara Khilafah mampu memenuhi kebutuhan anggaran pendidikan. Apalagi pembiayaan tersebut bersifat mutlak, artinya jika pembiayaan dari 2 poster tersebut tidak mencukupi maka negara akan melakukan mekanisme berikutnya yang dibolehkan oleh syariat dan bersifat temporer.

Negara tidak akan menunda pembangunan infrastruktur pendidikan hanya karena kekurangan anggaran. Sebab hal ini akan membuat sebagian rakyat tidak bisa bersekolah atau bersekolah dengan fasilitas seadanya. Selain itu Khilafah juga akan menyediakan tenaga pengajar profesional dan memberikan gaji yang layak bagi mereka.

Inilah sistem pendidikan Islam yang bisa diakses secara gratis oleh siapapun, kayak atau miskin, muslim atau non muslim dengan sarana prasarana terbaik dan unggul. Hanya Khilafah yang mampu mewujudkan sistem pendidikan seperti ini.

Wallahualam bissawab


Share this article via

24 Shares

0 Comment