| 15 Views
Saatnya Menyudahi Standar Kemiskinan Global

Oleh : Dewi yuliani
Perbedaan jomplang standar kemiskinan national dan Dunia. Penyebabnya adalah perbedaan standar pengukuran. Seseorang bisa dikategorikan tidak miskin secara nasional, tetapi masuk dalam kategori miskin ekstrem secara global Oleh karena itu butuh data yang akurat terhadap realitas kemiskinan di lapangan.
Berita dikutib dari Jakarta - Bank Dunia (World Bank) melaporkan 60,3% atau sekitar 171,91 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin. Jumlah ini tercatat mengalami penurunan dari 61,8% pada 2023, dan 62,6% pada 2022 lalu. Pengelompokan penduduk miskin yang digunakan World Bank tersebut didasari dari acuan garis kemiskinan untuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas atau upper middle income dengan standar sebesar $ 6,85 PPP (Purchasing Power Parity) per kapita per hari. Perhitungan ini berbeda dengan yang dilakukan secara resmi di Indonesia yang menggunakan garis kemiskinan nasional sebesar $ 2,15 PPP per kapita per hari.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti pun buka suara merespons laporan tersebut. Menurutnya data yang dipaparkan Bank Dunia tidak bisa dipukul rata untuk menentukan tingkat kemiskinan suatu negara. Bahkan, Bank Dunia yang mendeklarasikan hal tersebut. Amalia menilai masing-masing negara itu harus bisa memiliki national poverty line atau garis kemiskinan di negara masing-masing yang diukur sesuai dengan keunikan, maupun karakteristik dari negara tersebut.
Perbedaan standar kemiskinan karena dampak dari penerapan sistem Kapitalisme dalam tata kelola ekonomi dan sosial. Dengan standar rendah, negara bisa mengklaim sukses mengurangi kemiskinan padahal itu hanya manipulasi angka untuk menarik investasi, bukti dari Kapitalisme kegagal menyejahterahkan rakyatnya.
Namun demikian, atas dalih yang disampaikan oleh pemerintah, sekecil apa pun angka kemiskinan semestinya tidak dibiarkan, apalagi sampai berlarut-larut. Jika kita hendak jujur, angka yang dirilis Bank Dunia setidaknya lebih masuk akal karena tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia memang tidak begitu baik.Kita bisa melihat buktinya dari maraknya PHK massal belakangan ini. Juga banyaknya warga menengah ke bawah yang terjerat gurita judol demi mengejar iming-iming pendapatan besar. Belum lagi jerat pinjol yang berdampak pada meningkatnya masalah kesehatan mental hingga tidak jarang memicu tindakan bunuh diri.
Lain BPS lain Bank Dunia, sudah saatnya kita menyudahi perbedaan standar kemiskinan di negeri kita. Terjadinya kemiskinan di Indonesia, padahal negeri ini kaya SDA, jelas di baliknya ada faktor absennya penguasa dalam rangka mencukupi kebutuhan rakyat. Penanggulangan kemiskinan tidak cukup dengan sekadar penyaluran bantuan sosial.
Lebih dari itu, masyarakat Indonesia membutuhkan jaminan politik sahih untuk mengurus urusan mereka, baik itu pada level individu, keluarga, masyarakat, maupun negara. Rekam jejak kapitalisme yang senantiasa membuahkan derita menegaskan bahwa kapitalisme sudah saatnya dibuang dan diganti dengan sistem yang lebih baik sekaligus sahih, yakni sistem Islam dalam naungan Khilafah.
Dengan akidah Islam sebagai landasan kepemimpinan dan peraturan kehidupan, Khilafah akan menempatkan diri sebagai pengurus rakyatnya. Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin distribusi harta secara merata individu per individu sesuai dengan kebutuhan mereka. Khilafah tidak akan berkompromi dengan para kapitalis, menjadi antek asing, dan menggadaikan kekayaan alam demi kepentingan diri penguasa dan golongannya.
Sistem Ekonomi Islam adalah solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu adalah tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi. Rasulullah ﷺ bersabda:
Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Didalam sistem Islam hak setiap warga, miskin ataupun kaya. Negara wajib menyediakannya secara gratis dan merata untuk membentuk manusia berilmu dan bertakwa dan berketrampilan tinggi. Khilafah memiliki sumber dana yang mumpuni untuk mewujudkannya. Dana pendidikan diambil dari Baitul Mal, khususnya pos fai', kharaj, dan kepemilikan umum. Negara mengelola langsung pendidikan tanpa campur tangan swasta.
Negara Islam juga menjamin tersedianya lapangan kerja bagi rakyat, khususnya bagi para laki-laki dewasa sehingga mereka bisa mencari nafkah untuk keluarganya. Pada saat yang sama, Islam telah mengatur bahwa hukum bekerja bagi kaum perempuan adalah mubah boleh. Dengan kata lain, boleh pula jika perempuan menghendaki untuk tidak bekerja. Syariat Islam telah menjamin jalur nafkah bagi kaum perempuan sehingga mereka tidak terpaksa bekerja demi bisa memiliki harta. Realitas bekerja bagi perempuan di dalam sistem Islam berbeda dengan versi kapitalisme.
Sungguh pengentasan kemiskinan bisa diwujudkan dalam penerapan syariat Islam kafah melalui tegaknya Khilafah. Rakyat akan mendapatkan kesejahteraan dan perlindungan yang tidak hanya untuk kaum muslim, tetapi juga nonmuslim. Dengan sistem dan kepemimpinan Islam, kebutuhan dasar rakyat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan terpenuhi secara individu per individu.
Wallahualam bissawab.