| 295 Views
RUU Penyiaran untuk Siapa?

Oleh : Nusroh
Aktivis Muslimah
Draft Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran menuai polemik di masyarakat. Sebab, pengaturan isinya dinilai mengambil wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya salah satunya penyelenggara platform digital penyiaran, yaitu kreator konten yang berkecimpung di media sosial seperti Youtube atau Youtuber, TikTok atau Tiktoker juga masuk dalam ranah UU Penyiaran ini.
Termasuk konten-konten yang didistribusikan melalui platform berbasis user generated content (UGC). Pengaturan tersebut dinilai overlapping dengan pengaturan undang-undang lain. Sebab saat ini pengaturan platform berbasis UGC seperti Youtube, Tik Tok dan sebagainya mengacu pada Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronika (UU ITE).
Adapun pasal yang dianggap membatasi kebebasan pers dan jurnalis adalah Pasal 34F ayat (2) menyatakan, penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pasal 8A huruf q memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Padahal selama ini kewenangan tersebut merupakan tugas Dewan Pers yang mengacu pada UU Pers.
Pasal 50 B ayat (2) huruf C yang menyatakan larangan atas “Penayangan Eksklusif Jurnalistik Investigasi”. Larangan ini dikhawatirkan dapat membatasi kebebasan kemerdekaan pers. Begitu juga Pasal 50 B ayat (2) huruf K yang mengatur larangan terkait tindak pencemaran nama baik dan siaran yang mengandung penghinaan. Pasal ini dianggap sebagai pasal karet dan akan membatasi kebebasan pers. Adapun bunyi pasal tersebut, “Penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme”.
Selain dari empat pasal yang disebutkan di atas, masih terdapat banyak pasal lagi yang dianggap kontroversial dan harus dikaji lebih dalam lagi. Dengan adanya revisi UU Penyiaran ini akan memberikan ancaman bagi konten kreator untuk berkarya ataupun pers untuk memberikan informasi yang sesuai dengan faktanya. Apakah ini salah satu program pemerintah untuk membungkam tim konten kreator dan pers terhadap apa yang sebenarnya terjadi atau menjadi filter informasi bagi masyarakat?
*Makna Kebebasan dalam Pandangan Masyarakat*
Penyiaran adalah salah satu sarana utama yang digunakan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat, setiap info berita harus memenuhi standar tertentu. Di sinilah undang-undang diperlukan untuk memilah benar dan tidaknya pendapat untuk kemaslahatan. Pers/media dan kebebasan adalah dua hal yang tidak terpisahkan, di negara demokrasi ini mendiskusikan kebebasan menjadi poin penting dan sekaligus menjadi hal yang tabu. Dengan kata lain membatasi kebebasan berpendapat itu sendiri.
Dua hal penting lainnya yang menjadi sorotan dalam diskusi wacana revisi UU Penyiaran ini adalah mendudukkan makna kebebasan dan mendudukkan kritik sebagai bagian dari tradisi masyarakat untuk memberikan sumbangsih bagi kemajuan bangsa. Masyarakat sekuler saat ini memandang perbedaan dari kacamata kebebasan seraya menafikan kerusakan sosial yang timbul dari perilaku bebas individu masyarakat. Misalkan konten perilaku sesama jenis dan pernikahan beda agama yang bebas menyiarkan kontennya di media sosial dengan dalih kebebasan hak asasi manusia.
Berdasarkan pasal 34F ayat (2) setiap penyiaran wajib melakukan verifikasi ke KPI akan tetapi banyak konten-konten yang merusak moral dan tidak mendidik lolos dan tersiar bebas. Sedangkan untuk konten religi yang banyak manfaatnya untuk umat diblokir karena beranggapan akan memecah kesatuan bangsa dan toleransi beragama. KPI mengatur konten kreator tetapi bagaimana dengan pejabat-pejabat yang mempertontonkan segala macam ketidakadilan berlangsung tanpa ada penyaringan. Dan juga dijadikan sebagai propaganda yaitu alat kekuasaan, misalnya pilpres dan kampanye untuk mencari massa.
*Media Dalam Kacamata Islam*
Dalam Islam baik dan buruk pemberitaan harus merujuk pada syari’at. Syari’at yang bersumber pada Al Qur’an, sunnah, ijma sahabat, dan kias sebagai tolok ukur manusia. Dengan sendirinya kebebasan yang ada di dalam negara sekuler ini tidak ada dalam Islam.
Rasulullah SAW bersabda “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Bukhari).
Sebagai pengurus umat, negara wajib mengatur peredaran informasi kepada masyarakat melalui media. Di dalam Islam terdapat Departemen Penerangan (Al-I’lam) yang bertugas mengatur informasi yang tersebar di masyarakat, departemen ini mengolah informasi shahih agar terbentuk masyarakat islami yang kuat dan kokoh, menghilangkan keburukan dan menonjolkan kebaikan. Media berfungsi sebagai sarana dakwah Islam yang menjelaskan keagungan Islam dan keadilannya.
Jika umat Islam ingin mendirikan media informasi tidak perlu izin khusus tapi hanya membutuhkan pemberitahuan kepada Departemen Penerangan. Seluruh konten penayangan menjadi tanggung jawab negara. Negara memberikan kebebasan dalam masalah konten dengan syarat tidak menyajikan konten yang melanggar syari’at. Pemberian izin ini didukung oleh pilar ketakwaan individu yang juga menjadi tanggung jawab negara Islam. Negara sangat fokus pada pembentukan ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan penegakan syari’at. Karena hal ini menjadi pilar penjaga bagi individu muslim dalam bertindak dan berucap.
Oleh karena itu kita tidak akan menemukan konten-konten yang bertentangan dengan syari’at seperti konten yang melanggar kebebasan perilaku dan melanggar etika dalam masyarakat. Informasi yang disampaikan selalu untuk kemaslahatan umat. Prinsip berpegang teguh pada syari’at tidak akan mengurangi kreativitas manusia. Sebaliknya jika pendapat manusia menjadi standar perbuatan maka akan menemukan pertentangan dan perbedaan yang berujung pada kekisruhan seperti yang terjadi pada saat ini.
Setiap individu mempunyai hak untuk berkreativitas, memberikan ide dan pemikiran untuk kemajuan peradaban melalui media-media sosial yang sekarang ini sedang berkembang. Peran media amat vital dalam dalam kehidupan bernegara, sebagai alat strategis dalam menciptakan harmonisasi ruang sosial masyarakat dan media tegak atas dasar prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Dan media juga sebagai penyiaran untuk menyebarkan dakwah, menyorot berbagai pelanggaran syari’at dan sebagai muhasabah diri dan masyarakat.[]