| 31 Views

Rasa Malu: Nafsu yang Terkikis dalam Realita Hari Ini

Oleh : Eli Ermawati 
Pembelajar

Di tengah gemerlap dunia digital dan era kebebasan berekspresi, satu sifat mulia yang dulu dijaga erat dalam diri seorang Muslim perlahan mulai memudar, yaitu rasa malu (al-haya'). Fakta hari ini sungguh mengkhawatirkan: banyak orang yang tidak lagi memiliki rasa malu terhadap perbuatan maksiat, bahkan dengan bangga mempertontonkannya di media sosial. Mirisnya, sebagian mengklaim bahwa mereka hanya bersikap jujur pada diri sendiri atau tidak munafik. Kalimat seperti "yang penting aku gak munafik", "inilah aku", atau "lebih baik terbuka daripada pura-pura baik" menjadi tameng untuk membenarkan perilaku yang sebenarnya bertentangan dengan syariat.

Fenomena ini sangat terlihat di platform seperti TikTok, di mana banyak remaja termasuk yang mengenakan hijab berjoget-joget mengikuti tren lagu-lagu yang tidak pantas, dengan gerakan tubuh yang jauh dari kesan menjaga kehormatan. Tidak sedikit dari mereka yang terang-terangan memamerkan auratnya, seolah-olah tidak lagi merasa malu atau bersalah. Padahal, berjoget di depan kamera untuk tontonan publik, terutama dalam konteks yang membuka aurat atau menggoda, adalah bentuk nyata dari tercabutnya rasa malu yang seharusnya dimiliki seorang Muslim. Media sosial yang seharusnya bisa menjadi sarana menyebarkan kebaikan justru menjadi ladang terbukanya maksiat secara berjamaah.

Perempuan yang memperlihatkan auratnya kini malah merasa percaya diri dan menganggapnya sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Pacaran bukan hanya dilakukan diam-diam, tapi malah diumbar ke publik seolah menjadi hal yang lumrah. Bahkan, dalam beberapa konten media sosial, ajakan bermaksiat dikemas dengan humor dan gaya hidup kekinian yang membuat generasi muda lupa bahwa mereka sedang diajak jauh dari jalan yang diridhai Allah.

Ironisnya, di sisi lain ada pula fenomena yang bertolak belakang yaitu orang-orang berilmu atau yang sedang belajar agama justru merasa malu untuk melakukan kebaikan. Malu menyampaikan ilmu karena takut salah. Malu berdakwah karena merasa belum pantas. Bahkan ada rasa minder ketika hendak mengajak teman kepada kebenaran, karena yang diajak dianggap lebih senior, lebih terkenal, atau lebih pintar. Atau merasa malu karena takut dibilang sok pintar so suci. Rasa malu ini justru menghambat tersebarnya kebaikan. Padahal jika ditelaah lebih dalam, rasa malu yang seperti ini bukanlah bentuk dari haya' yang dianjurkan, melainkan nafsiyah yang perlu diluruskan.

Rasa malu dalam Islam bukan sekadar perasaan tidak enak hati atau takut dipermalukan. Haya’ adalah bagian dari iman. Rasulullah Saw. bersabda, "Iman itu memiliki lebih dari enam puluh cabang. Dan rasa malu adalah bagian dari iman." (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, rasa malu yang benar adalah malu yang muncul karena takut kepada Allah, malu berbuat dosa, malu tidak menunaikan kewajiban, dan malu jika melanggar syariat-Nya.

Salah satu figur mulia yang menunjukkan bagaimana seharusnya rasa malu ditempatkan adalah sahabat Utsman bin Affan ra. Rasulullah sendiri pernah bersabda, "Tidakkah aku merasa malu terhadap seseorang yang para malaikat pun malu kepadanya?" (HR. Muslim). Utsman adalah sosok yang sangat pemalu, namun justru karena sifat itulah ia menjadi hamba Allah yang begitu menjaga diri dari maksiat dan semangat dalam amal. Ini menunjukkan bahwa rasa malu tidak menghambat keberanian dalam kebaikan, melainkan menjadi tameng dari keburukan.

Maka, penting bagi kita hari ini untuk merevitalisasi pemahaman tentang malu sebagai bagian dari nafsiyah Islamiyah. Nafsu dalam Islam bukan hanya hawa nafsu syahwat, tetapi juga termasuk dorongan psikologis seperti rasa malu, takut, cinta, dan lainnya yang harus diikat dengan akidah Islam. Rasa malu yang Islami adalah yang mendorong kita menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan yang membuat kita takut berbuat baik karena penilaian manusia.

Solusinya jelas, kita harus menghidupkan kembali rasa malu yang sesuai dengan syariat. Pertama, dengan memperbaiki pemahaman bahwa haya’ adalah bentuk ketakwaan, bukan kelemahan. Kedua, membiasakan diri untuk merasa malu jika berbuat dosa, walaupun hanya dalam kesendirian. Ketiga, mendidik generasi muda dengan role model yang tepat, seperti Rasulullah dan para sahabat yang memiliki sifat malu namun tetap berani memperjuangkan kebenaran. Dan terakhir, menciptakan lingkungan sosial yang menormalisasi kebaikan dan menjadikan maksiat sebagai sesuatu yang memalukan, bukan sebaliknya.

Media sosial seharusnya menjadi sarana dakwah dan penyebar kebaikan, bukan panggung maksiat. Kita butuh lebih banyak orang yang tidak malu untuk berdakwah yang tetap menyampaikan kebenaran walau masih berproses menjadi lebih baik. Karena sejatinya, dakwah itu bukan karena kita sudah sempurna, tetapi karena kita peduli dan mencintai sesama.

Jangan sampai kita menjadi bagian dari orang-orang yang tidak lagi punya rasa malu. Karena ketika haya’ sudah hilang, maka tidak ada lagi batas antara kebaikan dan keburukan. Sebagaimana sabda Rasulullah, "Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka berbuatlah sesukamu." (HR. Bukhari). Ini bukan ajakan untuk bebas, melainkan peringatan bahwa hilangnya malu adalah awal kehancuran moral dan iman.

Oleh karenanya, mari kita jaga rasa malu ini. Bukan untuk membatasi diri dari berani menyampaikan kebenaran, tapi untuk menjadikan kita pribadi yang sadar akan pengawasan Allah, sehingga takut bermaksiat, dan semangat dalam kebaikan. Karena sesungguhnya, rasa malu itu bukan penghalang untuk bertumbuh, tapi penjaga agar kita tidak jatuh.

Wallahu'alam.


Share this article via

25 Shares

0 Comment